Fenomena kejahatan di Indonesia, kian memgkhawatirkan fenomenanya, lantaran tidak hanya dialukan oleh antar warga biasa-sipil, melainkan juga oleh aparat penegak hukum, Â kepolisian.Â
Sebut saja, kasus pembunuhan dirumah dinas sang jenderal berbintang dua, eks Kadiv Propam, Ferdi Sambo, di Duren Tiga, Jakarta Selatan. Terungkap, seorang Brigadir Jenderal, almarhum Joshua Hutabarat, tergelatak wafat bersimbah darah. Diduga pembunuhan itu dilakukan secara terencana, dan bukan spontanitas.Â
Kini, dugaan peristiwa pembunuhan berencana terhadap Brigadir Joshua Hutabarat, sedang bergulir di pengadilan negeri, Jakarta Selatan, untuk mengungkap bukti bukti menguatkan peristiwa (dugaa) pembunuhan berencana itu.Â
Tesa (jaksa penuntut umum) dan antitesa (penasehat hukum terdakwa) hukum pun tampak sengit diperlihatkan didalam ruang sidang pengadilan untuk menarik simpatik hakim dalam membuat keputusan : Menghukum para terdakwa, atau sebaliknya, membebaskan para terdakwa dari jeratan hukum.Â
Proses sidang kasus Duren Tiga itu, diharapkan dapat berjalan sesuai dengan keinginan jaksa muda tindak pidana umum, yakni Cepat, Murah, dan efisien. Namun demikian, setiap ruang tidaklah hampa dan kosong, termasuk diruang sidang pengadilan.Â
Beberapa dakwaan jaksa penuntut umum diketahui (telah) disanggah dan meminta kepada hakim untuk melakukan pembelaan diri (eksepsi). Bahkan salah seorang terdakwa menyatakan secara tegas, bahwa dirinya tidak mengerti memgenai isi dakwaan yang dibacakan oleh para jaksa penuntut umum terhadap dirinya.Â
SENJATA ISTANA
Ditengah sidang (dugaan) kasus pembunuhan berencana peristiwa Duren Tiga, yang akan memberikan hukuman mati dan penjara dua puluh tahun lamanya bagi terdakwa jika terbukti kasusnya, terungkap seorang perempuan berhijab, bergamis, bercadar, dan menggendong tas telah diamankan pihak oleh aparat keamanan, lantaran diketahui telah membawa senjata api untuk masuk kedalam ruangan sensitif.Â
BNPT, memberikan suatu pernyataan keruang publik, bahwa perempuan itu (diduga) adalah salah seorang, anggota atau pendukung Organisasi keagamaan radikal, Â HTI yang telah dibubarkan oleh pemerintah. Benarkah? Entahlah! Persoalannya (mungkin) publik sudah terlanjur tidak percaya dengan aparat penegak hukum, yang seringkali melakukan penyimpangan hukum dinegeri ini.Â
Dan publik mengalami kesulitan untuk menemukan wajah keadilan secara utuh di republik ini. "Kemanusiaan yang adil dan beradab, " begitu Pancasila membunyikannya, secara jelas dan tegas.Â