Saya dapat melihat dan mengingatnya dengan jelas dan terang, saat saya masuk kedalam toko buku itu bersama seorang kawan sebelum reformasi politik terjadi di negeri ini, tahun 1998.
Kemampuan membangun struktur waktu itu pun menjelma serupa sebuah film-audio visual. Saya masuk kedalam ruang toko buku itu sewaktu puasa Ramadhan akhir, malam Iedul Fitri. Entah makhluk apa yang telah merasuki jiwa saya dan juga jiwa seorang kawan masuk kedalam sebuah toko buku tersebut.Â
Sementara banyak warga masyarakat-ummat Islam berduyun duyun memasuki toko Ramayana dan Matahari untuk membeli baju dan celana baru untuk dipakai di Hari Raya Iedul Fitri. Entah sudah yang keberapa kali saya memasuki Hari Raya Iedul Fitri. Demikian pula dengan ummat Islam di Indonesia khususnya, dan ummat Islam didunia pada umumnya.Â
AURAT PRIMITIFÂ
Pertanyaan pun muncul ke permukaan : Apa itu Iedul Fitri? Â Makna apa yang tersimpan didalamnya? Dan apa pula pengaruh Iedul Fitri dalam kehidupan kita ummat Islam di Indonesia selanjutnya? Apakah Iedul Fitri mampu memberikan pencerahan dalam kehidupan kita, Â baik dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi, hukum dan seterusnya?
Menurut Ahmad Sarwat, peneliti rumah fikih Indonesia, makna Ied bukan kembali, melainkan Hari Raya. Demikian pula dengan makna kata Fitri. Kata fitri bukan bermakna suci, melainkan makan atau makanan. Sehingga makna Iedul Fitri ialah Selamat Hari Raya Makan. Sejatinya pada hari itu ummat Islam diwajibkan makan dan haram hukumnya berpuasa. Berpuasa pada tanggal 1 Sayawal adalah haram dan berdosa jika dilakukan.Â
Terlepas dari definisi tersebut, adalah sangat menarik dan juga sangat penting untuk kita renungkan ialah mengenai suatu pesan dari Kanjeng Rasulullah saw : " Berapa banyak orang yang berpuasa di Bulan Ramadhan, namun hanya lapar dan haus yang didapatkannya".Â
Pertanyaan sederhana pun kembali lahir kepermukaan : Mengapa hal itu bisa terjadi? Dan menurut Kanjeng Rasul, mereka berpuasanya tidak dikarenakan iman dan ihtisab. Sebagaimana tercermin dalam salah satu pesannya : " Barang siapa berpuasa di bulan Ramadhan karena iman dan ihtisabnya niscaya akan dihapuskan dosa dosanya yang telah lalu" (HR. Bukhari dan Muslim).Â
Dengan kata lain, Diterima dan tidaknya orang orang yang berpuasa di Bulan Ramadhan akan tampak usai melaksanakannya (pasca puasa Ramadhan). Apakah kehidupannya mampu mencerminkan sebagai kehidupan orang orang yang beriman. Atau sebaliknya, mengembalikan dirinya pada kehidupan awal, primitif (suatu kehidupan yang lebih memuja dan mengabadikannya dirinya pada kehidupan jasmaniah).Â
Dan hal itu, relevan dengan pembentukan kata dasar fitri menjadi ifthar buka, berbuka-puasa