Mohon tunggu...
Aswin
Aswin Mohon Tunggu... Lainnya - Setiap waktu adalah kata

Berusaha menjadi penulis yang baik

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Aku Ingin Pulang

6 Oktober 2021   07:14 Diperbarui: 6 Oktober 2021   07:23 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image caption(foto: Pixabay/plang arah jalan)

Tagore, pernah menceritakan dalam tulisannya, mengenai seorang pertapa kembali ke pertapaannya, setelah dirinya bertemu dengan seorang anak kecil saat turun menuju arah pulang. Pertapa itu seakan melihat cermin pada diri anak kecil tersebut.

Ketika dirinya menatap mata anak kecil tersebut, terungkap kejujuran dan keterbukaannya, sehingga dirinya merasa malu dan memutuskan kembali ke pertapaannya untuk menyempurnakan kejujuran dan keterbukaan dirinya, sebelum kembali pulang kerumah.

Sulit. Bahkan sangat sulit memahami cerita yang ditulis oleh seorang sastrawan dan juga seorang spiritualis asal India tersebut. Jujur dan terbuka dalam menyikapi realitas kehidupan adalah suatu hal yang sangat tidak mudah dilakukan dan diwujudkan. 

Kejujuran adalah wadah hidup untuk menampung air suci yang turun dari langit. "Berbicaralah dengan hati, " demikian leluhur kita mengingatkan. Ketika kita mengalami kegelisahan hidup, maka sebaik baik tempat bertanya adalah 'Hati'. Sehingga tidak mengherankan jika Kanjeng Rasul saw, mengingatkan kepada ummatnya, supaya memanjatkan doa tentang "Ketetapan Hati"

ANAK ANAK LANGIT

Anak anak yang lahir dari rahim perempuan adalah fitrah. Mereka lahir ke bumi atas kehendaknya. Mereka telah mendapatkan ketetapan-Nya tentang rezeki, jodoh dan maut. Ketiga ketetapan-Nya itu berlaku : Tidak bisa diundur dan tidak bisa dimajukan oleh kita manusia. Kita manusia hanya bisa merubah apa yang kita bisa ubah (nasib). 

Sementara takdir adalah suatu ketetapan yang tidak bisa diubah. Sebagai contoh: Ilmu pengetahuan dan teknologi mampu menghadirkan penemuan penemuan yang luar biasa bagi kehidupan manusia. Namun ilmu dan teknologi, hingga sekarang belum mampu menghadirkan suatu penemuannya untuk dapat menghindarkan dirinya dari kematian. Dan bahkan untuk melawan kematian.

Dan malam di Jakarta. Jakarta, benar benar tak mengenal lelah, dan selalu menggeliat. Kegiatan ekonomi di Jakarta, tak pernah padam setiap waktunya, mulai dari pagi dinihari hingga kembali ke dinihari. Jakarta, benar benar abadi kehidupannya, seperti kehidupan di akhirat nanti, serupa kehidupan didalam surga dan neraka.

Malam itu, saya pun bernostalgia dengan malam di Jakarta. Mencari jejak jejak sejarah kehidupan didalamnya. Namun jejak jejak itu sebahagian besar telah tiada dan menghilang. Bioskop dan tempat belanja yang pernah jejaki sekian tahun lalu, telah berubah menjadi gedung baru, hotel, restoran dan apartemen. Dan saya pun mencari jejak lain, sewaktu saya masih anak anak menjajakan buku teka teki silang dari satu bis ke bis lainnya, disudut lampu merah jalan raya. 

Namun jejak itu pun tak diketemukan. Jalan raya itu kini memiliki lapisan jalan raya diatasnya. Dan dibawah jalan raya tersebut, kini telah berubah dan terdapat tanaman hijau disepanjang jalannya.

Saat saya mengalami kelelahan dan beristirahat di emperan jalan protokol. Saya memesan kopi yang buka disepanjang jalan tersebut. Sambil lesehan diatas spanduk bekas partai politik, seketika kedua fiksasi bola mata terarah kepada sejumlah bocah atau anak anak marginal. Mereka sedang bermain dengan ceria. 

Benda mati pun menjadi hidup ditangan mereka. "Dorrr! Begitu suara senapan yang terbuat dari bambu diarahkan kepada anak anak lainnya. Dan anak yang tertembak itu pun jatuh dan tergeletak. Benar benar pertunjukan teaterikal yang hidup malam itu, diperankan oleh anak anak jalanan, marginal.

Mereka anak anak jalanan begitu jujur, polos, dan juga terbuka dalam menjalani kehidupannya sebagai anak anak. Mereka tak mengetahui jika ibunya setiap malam mengalami kesulitan tidur untuk dapat memenuhi kehidupan mereka (anak anaknya) setiap harinya. 

Mereka anak anak pun tak tahu kalau kemiskinan mereka itu diakibatkan ulah para segelintir elit partai politik yang menjual dirinya (kemiskinan rakyat) untuk mengumpulkan pundi pundi kekayaan dirinya dan keluarganya dalam politik dan kekuasaan. 

Mereka pun tak mengetahui jika mereka memilih rumah yang sejahtera dan kaya akan sumber daya alamnya, yakni "Indonesia". Dan mereka anak anak jalanan pun tak mengetahui jika rumahnya sudah dihuni oleh segelintir elit partai politik dan oligarkis. Dan mereka pun tak tahu jika suatu hari nanti dirinya kelak akan kehilangan hak asasinya sebagai warga negara Indonesia.

Ketika anak anak langit di Indonesia kepengen pulang, namun mereka tak mengetahui dimana rumahnya. Rumah Indonesia kini bukan lagi milik anak anak Indonesia yang terpinggirkan dan juga bukan milik rakyat Indonesia mayoritas. Tetapi rumah Indonesia telah menjadi milik orang lain yang tak ada kaitannya dengan DNA Indonesia yang setumpah darah

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun