Benda mati pun menjadi hidup ditangan mereka. "Dorrr! Begitu suara senapan yang terbuat dari bambu diarahkan kepada anak anak lainnya. Dan anak yang tertembak itu pun jatuh dan tergeletak. Benar benar pertunjukan teaterikal yang hidup malam itu, diperankan oleh anak anak jalanan, marginal.
Mereka anak anak jalanan begitu jujur, polos, dan juga terbuka dalam menjalani kehidupannya sebagai anak anak. Mereka tak mengetahui jika ibunya setiap malam mengalami kesulitan tidur untuk dapat memenuhi kehidupan mereka (anak anaknya) setiap harinya.Â
Mereka anak anak pun tak tahu kalau kemiskinan mereka itu diakibatkan ulah para segelintir elit partai politik yang menjual dirinya (kemiskinan rakyat) untuk mengumpulkan pundi pundi kekayaan dirinya dan keluarganya dalam politik dan kekuasaan.Â
Mereka pun tak mengetahui jika mereka memilih rumah yang sejahtera dan kaya akan sumber daya alamnya, yakni "Indonesia". Dan mereka anak anak jalanan pun tak mengetahui jika rumahnya sudah dihuni oleh segelintir elit partai politik dan oligarkis. Dan mereka pun tak tahu jika suatu hari nanti dirinya kelak akan kehilangan hak asasinya sebagai warga negara Indonesia.
Ketika anak anak langit di Indonesia kepengen pulang, namun mereka tak mengetahui dimana rumahnya. Rumah Indonesia kini bukan lagi milik anak anak Indonesia yang terpinggirkan dan juga bukan milik rakyat Indonesia mayoritas. Tetapi rumah Indonesia telah menjadi milik orang lain yang tak ada kaitannya dengan DNA Indonesia yang setumpah darah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H