Mohon tunggu...
Aswan Ahmad
Aswan Ahmad Mohon Tunggu... -

pernah menjadi wartawan harian Tribun Timur Makassar.saat ini masih terus belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menabung untuk Biaya Pemakaman

12 Oktober 2014   00:28 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:26 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14130231012046818294

[caption id="attachment_365662" align="aligncenter" width="300" caption="Nenek Bacce saat menjaga anak keluarganya yang ia jaga di Makassar"][/caption]

Makhluk yang bernyawa pasti akan mengalami mati.Dan tibanya kematian seseorang tidak disangka-sangka. Memang kematian merupakan ketetapan Allah SWT yang tidak bias ditawar lagi. Sekalipun manusia tidak mengetahui kedatangan mati, namun yang jelas semua mahluk bernyawa pasti mengalami mati. Allah SWT berfirman yang artinya “Tiap-tiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati” (QS.Ali ‘Imran 185).

Meski tidak tahu membaca Al Quran, namun Nenek Bacce juga paham dan yakin jika manusia akan menghadapi yang namanya kematian. Nenek Bacce yang lahir di kampung Sumalaya, Kecamatan Kajang Kabupaten Bulukumba Provinsi Sulawesi Selatan bahkan sudah menabung sejak beberapa tahun lalu untuk biaya pemakamannya jika ia meninggal.

Pada bulan Juni 2014 saya sempat menanyakan ke Nenek Bacce kenapa dia menabung untuk biaya pemakaman padahal ia memiliki anyak anak dan cucu yang bisa mengurusnya jika meninggal. Jawaban nenek berusia 80 tahun ini sangat sederhana. “Saya tidak ingin menyusahkan orang lain untuk mempersiapkan biaya pemakaman saya,” jelasnya.

Uang yang ia tabung diperoleh dari hasil panen cengkeh, coklat, dan padi. Jumlahnya juga tidak banyak sekitar Rp 3 juta sekali panen. Ia mengaku jumlah uang yang ia tabung tidak banyak. Kadang Rp 100 ribu, Rp 200 ribu atau Rp 300 ribu. Uang itu ia tabung di bank pemerintah melalui tetangganya, salah seorang guru SMA di kampungnya yang juga merupakan kerabatnya.

Karena buta huruf maka semua setorannya ia percayakan kepada kerabatnya untuk disetorkan ke bank.Selain dari hasil panen, Nenek Bacce juga memperoleh upah jika membantu orang lain memanen padi. Meski lahir di Kajang, kini ia menetap di kampung Sarajoko, Kelurahan Ballasaraja, Kabupaten Bulukumba sekitar 20 kilometer dari kampung kelahirannya.

Di kampungnya, Bacce juga dikenal sebagai dukun anak. Salah seorang tokoh pemuda di kampungnya, Ilham Sikki, menuturkan bahwa Nenek Bacce dikenal mampu menyembuhkan penyakit balita hanya dengan ramuan daun-daun pepohonan.

Profesi Nenek Bacce seagai dukun anak-anak juga mampu memberikan tambahan penghasilan. Meski tidak pernah mengenyam pendidkan formal, namun ia sangat peduli dengan pendidikan cucu-cucunya.

Ia berharap cucu-cucunya bisa mengenyam pendidikan hingga SMU. Maklum dari semua anaknya, tidak satu pun yang tamat SD. Nenek Bacce kini tinggal bersama anak perempuannya yang bernama Ramo.

Ramo menuturkan dirinya hanya sekolah di tingkat dasar sampai kelas tiga. Faktor ekonomi menurut Ramo yang membuat ia dan saudara-saudaranya tidak mampu melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi.

Nenek Bacce juga pernah tinggal di rumah keluarganya untuk membantu menjaga anak keluarganya di Makassar. Uang yang diberikan setiap bulan dari keluarganya pun ikut ditabung. Bahkan, dari uang itu ia juga kadang membantu biaya sekolah cucunya yang kini sekolah di Madrasah Tsanawiyah.

Bahkan, ketika hari Jumat, ia juga kerap menitip uang untuk dimasukkan ke kotak amal. Siapa sangka pemikiran Nenek Bacce untuk menabung sebagai persiapan biaya pemakaman juga dilakukan warga muslim Australia.

Seperti dilansir Merdeka.com Rabu 14 Januari 2009, biaya pemakaman yang mahal di Australia mendorong ratusan kepala keluarga Muslim Indonesia di Sidney dan sekitarnya menyisihkan 15 dolar Australia per bulan untuk tabungan pemakaman.

Pengumpulan uang tabungan yang dimaksudkan para keluarga muslim Indonesia untuk saling membantu pada saat kemalangan menimpa. Program yang dimulai sejak 29 Juli 2008 ini sudah diikuti 170 keluarga.

Salah seorang dosen Akuntansi Universitas Sriwjaya Palembang, Achmad Sudiro, yang pernah mengenyam pendidikan di Universitas Sidney, kegiatan ini sama dengan arisan kematian yang ada di RT-RT di daerah Plaju, Sumatera Selatan. Menurut Achmad, ditempat tinggalnya dia ikut arisan dengan membayar lima ribu rupiah per bulan.

Kisah nenek Bacce setidak memberi pelajaran bagi kita semua bahwa kematian itu harus dipersiapkan. Bukan hanya harus mempersiapkan amal atau pahala tetapi biaya pemakaman juga harus dipersiapkan tanpa harus menyusahkan orang lain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun