Siang ini, Saya membaca beberapa tulisan disini yang kalau diperhatikan kok seperti kait mengkait (benar tidak ya, istilah yang saya pakai ini?).
Pertama membuka saya menemukan tulisan http://lifestyle.kompasiana.com/urban/2011/08/07/jenuh-menjadi-ibu-rumah-tangga-saja/
Tulisan apik menurut saya. Tapi tak berapa lama kemudian muncul tulisan terekomendasi yang baru http://fiksi.kompasiana.com/prosa/2011/08/08/suamiku-selingkuh-sudah-biasa/
Yang kemudian disambut tulisan untuk mengomentari komentar-komentar yang ada pada tulisan sebelumnya http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2011/08/08/berani-bercerai-dari-pasangan/
Dan yang menggelitik adalah tulisan di blog milik ibu Endah Raharjo di http://endahraharjo.blogspot.com/2011/06/mereka-pilih-menjanda.html.
Hemmm... mengapa hari ini tulisan bertema perempuan dan rumah tangga atau lebih tepatnya perempuan dan pilihan hidupnya seperti menjadi trending topics ?
Saya jadi teringat nasehat ibu saya dulu.
Dulu, saat kecil saya sempat melihat seorang nenek yang merupakan bibi dari ayah saya, hidup sendiri di usia senja. Tanpa suami dan tanpa anak. Menjawab pertanyaan saya mengapa beliau hidup sendiri, Ibu pun bercerita. Beberapa jam setelah akad nikah nenek saya itu, kakek saya harus berangkat berperang. Dulu Kakek saya itu salah satu anggota pasukan yang ibu saya sendiri tidak terlalu jelas mengetahui bertugas dimana. Hingga nenek saya berusia senja, kakek tak pernah kembali. Tapi beliau tetap setia dengan cintanya hingga di akhir hayat.
Berbeda dengan Almarhumah nenek saya, Ibu dari Almarhum ayah saya. Kakek saya meninggal dunia saat ayah saya dan adik-adiknya masih kanak-kanak. Hingga wafatnya di usia hampir sembilan puluh tahun, nenek saya tak pernah mau menikah lagi walau di usia muda hingga tuanya begitu banyak pinangan yang datang. Dibesarkannya anak-anaknya seorang diri. Dan yang lebih mengharukan beliau sudah mempersiapkan tanah makam disebelah makam kakek saya yang akhirnya dipergunakan saat beliau meninggal dunia.
Dan saat saya berbincang dengan Ibu, Beliau menyelipkan nasehat yang hingga kini masih saya ingat.
Intinya seperti ini, Kelak bila saya dewasa dan berumah tangga jadilah seorang perempuan yang tak hanya bisa membelanjakan uang suami. Tapi jadilah perempuan yang juga bisa membantu keuangan keluarga. Mengapa?
Pertama, bila kamu tahu rasanya bagaimana mendapatkan kamu pasti akan lebih hati-hati membelanjakan uang suamimu. Karena uang itu diperolehnya dengan kerja keras dan tak mudah.
Yang kedua, Kamu bisa memperoleh nikmat karena untuk kebutuhanmu sendiri misalnya membeli bedak tak perlu sampai menggunakan uang dari suamimu walaupun itu memang kewajibannya.
Tak harus menjadi perempuan yang bekerja. Di rumahpun dulu ibu saya bisa menghasilkan uang. Ibu saya berjualan kue-kue sederhana yang dijajakan di rumah. Kebetulan rumah kami dulu dekat dengan sekolah dasar. Jadi kami tak perlu jajan di jam istirahat sekolah, cukup pulang sebentar maka kami bisa makan makanan ringan. Dan ibu pun bisa menghasilkan uang.
Dan setelah dewasa saya mencoba mencerna semuanya. Bahkan disaat rumah tangga kakak saya di hantam badai dan akhirnya kandas. Saya menyaksikan kata-kata ibu saya benar. Kakak saya tetap bisa mandiri secara finansial dan kami sekeluarga memberinya dukungan untuk bangkit dan terus menata kembali hidup.
Jadi apapun pilihan hidup seorang perempuan, menjadi apapun itu maka semua akan kembali kepada perempuan itu sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H