Mohon tunggu...
Astuti -
Astuti - Mohon Tunggu... -

seorang perempuan biasa yang ingin berusaha selalu belajar.seorang ibu bekerja dengan 1 anak.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Perjalanan IV

9 Mei 2011   07:17 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:55 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Kuintip wajah gadis yang membawa baki berisi minuman dengan kepala tetap menunduk. Bersama teman-temanku lebaran kali ini berkunjung ke rumah salah satu atasanku di kantor. Terpaksa kami tidak bisa mudik. Libur yang hanya beberapa hari juga penumpukan pekerjaan di bulan-bulan menjelang tutup buku memang tak bisa kami hindari. Tapi buatku, mudik bukanlah ritual wajib. Karena aku memang tak pernah tahu kemana aku harus mudik. Sesekali saja aku pulang ke masjid yang dulu pernah menjadi tempat tinggalku. Menengok Kyai Rohmat dan keluarganya juga Badar yang kini sudah berkeluarga. Sejak Ibuku meninggal, aku semakin enggan melangkahkan kakiku ke kota itu. Perih.

“Ayo diminum. Dicicipi kuenya.” Pak Yudi atasanku berbasa basi.
Kami hanya tersenyum dan mengangguk. Biasalah, pura-puara malu. Padahal sangat ingin. Tapi akhirnya Toni temanku  yang memulai mengambil gelasnya.
“Putrinya ya, Pak?” Tanya Toni.
“Yang mana? Oh, yang mengeluarkan minum tadi? Bukan. Dia keponakan saya. Ayahnya belum lama meninggal dunia. Lalu ibunya menitipkannya pada saya.” Jelas Pak Yudi.
“Anak saya kan masih kecil-kecil, Ton. Kenapa?Naksir ya?” Ledek Pak Yudi lagi.
Kami tertawa, tiba-tiba Toni menjawab.
“Bukan saya, Pak. Si Bowo nih kayaknya.”
Dan tawa teman-temanku pun meledak. Aku terkejut. Mereka benar-benar iseng. Mereka tahu selama ini aku tak pernah dekat dengan perempuan bahkan tak berani mendekati.
Saat kuliah, teman-temanku sudah mulai  berani “nembak” perempuan. Sementara aku? Tetap tak punya nyali.
“Ah, Ndak kok Pak.” Jawabku kikuk. Mataku melotot pada Toni. Mengancam.
Teman-temanku tertawa. Awas saja mereka, akan kubalas nanti di rumah.

Kami berenam menempati sebuah rumah bersama-sama. Untuk menghemat biaya sewa. Setelah beberapa bulan awal kami kos. Kami berhitung lebih hemat kalau menyewa sebuah rumah dengan berbagi biaya.
Mereka  berlima lah yang paling tahu diriku selama kami di Banda Aceh. Termasuk hanya aku diantara kami yang tak punya teman dekat perempuan. Bahkan tiga diantara temanku itu sudah bersiap menikah dan berencana membawa calon istrinya untuk hidup disini.

Tapi itu cerita beberapa tahun yang lalu.

Hingga kemudian jalan begitu terbuka lebar untukku. Entah bagaimana aku punya keberanian untuk meminang gadis itu. Melamar pada pamannya  yang juga atasanku. Dan kejutan untukku adalah gadis itu mengangguk setuju!
Pernikahan kami digelar di Medan, di rumah kakak tertuanya yang juga menjadi wali pernikahan kami. Hanya dua tahun kami menetap di Banda Aceh karena aku kemudian dipindahtugaskan ke Jakarta.

Hingga tahun ketiga pernikahan, kami belum juga dikaruniai keturunan.  Padahal kami tidak ada masalah menurut keterangan dokter. Aku sendiri pada awalnya tak terlalu menghiraukan. Rasanya rumah tanpa kanak-kanak pun sama saja untukku.

Hingga suatu hari, kutemui Laras tanpa sengaja di teras belakang dengan air mata terurai.
“Ada apa?” Tanyaku tak mengerti.
Laras terlihat kaget dan segera menghapus air matanya.
“Ndak ada apa-apa kok.” Katanya tertunduk.

Tiga tahun berumah tangga, memang kami jarang duduk berdua sekedar ngobrol. Nonton TV pun biasanya diam. Kadang Laras yang bercerita. Tentang masa kanak-kanaknya saat kami menonton acara yang berseting daerah-daerah di Sumatera. Atau tentang Almarhum ayahnya atau tentang kenakalan kakaknya saat kecil. Selebihnya aku hanya pendengar dan penyimak ceritanya.

Terkadang aku merasa aneh. Mengapa aku merasa menjadi sangat mirip dengan ayahku. Di rumah aku lebih memilih diam. Pulang dari kantor langsung mandi, makan malam, nonton televisi sebentar lalu tidur.
“Kalau ndak ada apa-apa lalu mengapa kau menangis?” Tanyaku.
“Sepi, Mas.” Jawabnya lirih.
Aku terdiam. Aku baru menyadari. Seharian di rumah hanya mengurus rumah tanpa kegiatan lain, ternyata dia kesepian.
“Ya, mau bagaimana lagi? Kata dokter kita hanya disuruh sabar kan?” Kataku.
Dia mengangguk., lalu berkata,” Kalau aku mencoba berdagang kecil-kecilan, boleh?”
Tatapannya seperti anak kecil yang menginginkan sesuatu. Begitu memohon padaku.
“Terserah kau sajalah” Kataku sambil berlalu masuk kedalam rumah.

****

Beberapa hari ini ada yang berubah padaku, itu pendapat Laras istriku. Katanya, aku jadi ceria, ceriwis dan kelihatan berseri-seri.  Aku hanya tersenyum menanggapi kata-katanya.

Tapi mungkin memang seperti itu. Karena entah mengapa aku merasa ada irama yang lain dalam jantungku. Seperti irama yang membuatku menjadi orang yang bersuara paling merdu bila bersenandung. Irama yang bisa membuat hujan menjadi begitu menggairahkan walau di pagi hari sekalipun. Irama yang membuat kopi pagiku serasa sangat nikmat. Ya, irama yang kurasa sejak Alin ada di ruangan, duduk di seberang meja di kantorku tepatnya.

Perempuan cantik keturunan Yogya-Belanda yang sangat anggun dimataku. Bola matanya yang bulat berbingkai bulu mata yang lentik dihias barisan alis indah. Berambut ikal sebahu dengan tubuh langsing semampai. Begitu sempurna dimataku.
Senyum cerahnya setiap pagi menghiasi hari-hariku belakangan ini. Perhatiannya pada ku tentang hal-hal kecil yang sering terlewatkan membuatku bahagia.

Baru kali ini aku merasakan hal seperti ini. Merasa bahwa setiap hari ada bunga indah yang bersemayam dalam hatiku. Merasakan bau harum yang selalu tercium di sepanjang perjalanan menuju kantor. Bahkan baru kali ini aku merasa harus menyemprotkan pengharum pada tubuhku agar perempuan itu tak mencium bau tak enak saat berdekatan denganku.
Alin bukanlah seorang gadis sendirian. Dia adalah seorang istri dan ibu dari tiga orang anak laki-laki. Suaminya seorang pengusaha yang sering bepergian antar kota antar pulau bahkan hingga ke negeri lain. Semua aku tahu dari cerita-ceritanya saat kami ngobrol di sela-sela makan siang.

Hingga akhirnya Alin menceritakan keluh kesah tentang rumah tangganya. Kesedihannya atas perlakuan suaminya yang membuatku iba. Dan kami pun semakin dekat.

Hingga suatu siang.

Entah bagaimana ceritanya, aku sudah berada di rumahnya yang sepi pada jam istirahat kantor. Makan siang bersamanya dan berlanjut ngobrol ditemani secangkir kopi nikmat buatannya. Dan semua berlanjut hingga tiba-tiba……….

Brak!

Pintu kamar didobrak dari luar. Istriku dan beberapa teman sudah berada disana menemui kami dalam keadaan yang seharusnya tak dilihat orang lain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun