Mohon tunggu...
Astuti -
Astuti - Mohon Tunggu... -

seorang perempuan biasa yang ingin berusaha selalu belajar.seorang ibu bekerja dengan 1 anak.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Lelaki dalam Hujan

11 Februari 2011   04:23 Diperbarui: 5 Juli 2015   20:39 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Duarrrrrrrrr.

Suara guntutr  menggelegar diikuti kilatan cahaya membelah langit malam.

Aku tergesa berjalan melintasi pelataran parkir kantor menuju pintu pagar keluar. Seperti biasa, aku menunggu metromini yang lewat di halte depan kantor menuju stasiun kereta api terdekat. Biasanya pada jam seperti ini suasana belum terlalu sepi karena belum juga terlalu larut. Tapi mendung yang begitu pekat diikuti hujan deras dan guntur menggelegar disertai petir membuat orang-orang kelihatan enggan  berada di jalan. Kalau tidak karena harus segera pulang rasanya aku pun enggan berada di luar dalam keadaan seperti itu.

Dengan langkah kaki yang lebih layak disebut berlari aku segera menuju halte dan berlindung disitu. Agak lama menunggu, tak ada satu pun metromini atau bajaj yang lewat. Hanya beberapa kendaraan pribadi  melintas dengan lampu yang sesekali memberi penerangan di malam yang gulita.

Duarrrrr..........

Saat kilatan cahaya selintas menerangi malam tampak olehku seorang lelaki di seberang jalan.

Huff, tiba-tiba nyaliku ciut. Ditepi jalan dalam suasana hujan deras dan gelap seorang diri. Sesosok lelaki dengan pakaian hitam dan mengenakan payung di seberang jalan jelas bukan pemandangan yang melegakan.

Selintas terlihat diapun memperhatikan aku. Aku mulai bergidik. Kupeluk erat tas yang aku bawa ke dalam dada. Berusaha tak kuperhatikan sosok di seberang jalan. Tapi saat lampu mobil yang lewat memberi selintas cahaya yang menerangi sosok gelap dari kejauhan itu mau tak mau terlihat olehku.

Huff.........

Lagi-lagi aku menghela nafas. Tak ada satupun kendaraan umum yang lewat. Sementara guntur dan petir berkali-kali sahut menyahut membelah langit malam.

Tiba-tiba sosok itu bergerak. Kakiku terasa kaku menancap di tempat aku berdiri. Kulihat sosok itu bergerak ke arah tepi jalan seperti akan menyeberang ke arahku. Tubuhku menegang.

Ya, sosok itu benar-benar menyeberang dan kini mulai menghampiriku. Terpikir olehku untuk kembali berjalan masuk ke areal kantor dan menunggu hujan reda. Tapi aku akan ketinggalan KRL yang terakhir berangkat menuju rumah. Bisa-bisa harus menginap di kantor. Oh, Tidak.

Semakin sosok itu mendekat, tubuhku tak bisa bergerak. Semakin jelas terlihat sosok lelaki bertubuh besar dan berambut panjang. Dengan kumis tebal yang melintang,  berjaket hitam mengenakan sandal gunung yang entah berwarna apa.

Aku mengalihkan pandangan ke arah lain berusaha tak menatapnya. Sesaat tiba  di sisiku, ditutupnya payung yang sejak tadi melindungi tubuhnya.

"Maaf, Mbak. Boleh numpang tanya?" Lelaki itu bersuara. Mau tak mau aku menoleh.

"Saya mau ke kampung melayu tapi tak tahu harus naik apa dan lewat jalan mana. Saya baru saja tiba dari Garut." Jelasnya dengan logat khas orang yang berasal dari ranah pasundan.

"Oh, Bapak menyeberang ke arah sana saja. Nanti disana ada halte busway yang menuju kampung melayu." Jawabku tetap dengan kewaspadaan yang tak berkurang.

"Hatur nuwun, Mbak." katanya ramah dan bergegas menuju arah yang kutunjuk.

Hufff........

Aku menghela nafas. Ternyata............

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun