"Apalagi yang kamu mau sih, Rin ? Aku bersikap seperti itu menurutmu terlalu cepat. Lalu aku harus bagaimana ? Aku hanya mau kamu mengerti, aku mencintaimu. Dan kalau ini akan membuatmu bahagia aku akan berusaha melakukannya, tapi ternyata tidak seperti ini juga yang kamu kehendaki ?"
Tiba-tiba hari bicara dengan nada yang demikian tinggi dan menatap Ririn tajam. Lalu pergi meninggalkan Ririn yang terisak, merasa bersalah.
Sejak itu perang dingin dimulai, mereka tak pernah bertegur sapa lagi. Nadya pun tak pernah menyadari.
****
Tiga tahun berlalu, Ririn sudah disibukan dengan pekerjaannya di sebuah perusahaan. Ketika tiba-tiba menerima telepon mengejutkan sore itu. Hari.
"Aku mendapat nomor teleponmu dari Bunda, apakah aku mengganggu ?" Ririn menggeleng tak menyadari, bahwa suara itu ada di telepon genggamnya.
Akhirnya, cerita itu didengarnya. Saat Hari memutuskan untuk bekerja di sebuah instansi pemerintah dan mendapat penugasan jauh di luar kota, Nadya memutuskan hubungan mereka. Banyak ketidakcocokan dan Nadya merasa takkan sanggup mendampingi Hari sejauh itu. Hati Ririn hancur. Sahabat yang dibelanya justru telah menghancurkan hati orang yang dicintainya.
Hari mengabarkan akan segera menikah, dengan seorang perempuan yang dijodohkan oleh orang tuanya. Dia yang meminta orang tuanya untuk mencarikannya istri, tanpa pertimbangan menerimanya dan akan menikah.
Hati Ririn semakin hancur, rasanya baru kemarin dia bimbang berada di persimpangan jalan itu. Keinginan untuk merengkuh kebahagiannya sendiri harus disandingkan dengan kebahagiaan sahabatnya. Dan akhir dari keputusannya ternyata menghancurkan tidak hanya hatinya tapi juga hati orang yang dicintainya.
"Semoga kamu bahagia, Rin. Siapapun lelaki yang kelak mendampingimu."
Ririn terisak, "Maafkan aku, Har. Semoga kamu bahagia, apapun keputusan yang kamu pilih. Maafkan aku."