****
"Rin, menurut kamu....ini menurut pendapatmu lho, Rin. Bagaimana cara yang paling manis bagi seorang lelaki untuk menyatakan cinta pada seorang gadis ?"
Ririn terkejut, pertanyaan yang hadir saat mereka makan di sebuah kedai fastfood sebuah mall malam itu.
"Hehehe.........kenapa ? Lagi jatuh cinta, Pak ? Tembak langsung ajalah...." Jawab Ririn sekenanya.
Padahal dalam hati, Ririn bertanya-tanya. Siapa gadis itu ? Nadyakah?
"Kalau gitu, langsung ngomong aja ya, Rin ?" Hari masih begitu serius dengan pertanyaannya.
Ririn tertawa, "Begitu seriuskah masalahnya ? Ya, iyalah. Memang dengan cara apa lagi ? Seorang perempuan butuh kejelasan. Setidaknya sebuah pernyataan yang memang mewakili perasaanmu itu sekali terucap dari mulutmu."
"Ririn, Aku sayang kamu."
Ririn kaget, nyaris dia terlonjak. Ditatapnya Hari, yang menatapnya begitu rupa. Ririn salah tingkah, tak tahu bila sarannya tadi ternyata bagai senjata makan tuan.
"Rin, aku serius. Bertahun-tahun menjadi sahabatmu. Aku mulai merasa takut kehilanganmu. Benci bila ada lelaki mendekatimu."
Ririn terkesima, tapi masih diingatnya kata-kata Nadya malam itu. Nadya sahabatnya juga, sahabat mereka berdua. Sejak kecil dibesarkan hanya oleh seorang ibu. Ayahnya menderita gangguan mental sejak Nadya kanak-kanak. Pemalu, sering tidak percaya diri apalagi bila ada teman yang bertanya rumahnya dan ingin mampir. Seribu alasan berusaha disampaikan sebagai penolak agar mereka tidak mampir, sering kali akhirnya mereka berbelok ke rumah Ririn. Hanya Ririn yang tahu sebabnya. Nadya malu bila sampai teman-teman mereka melihat ayahnya, bahkan Hari pun tak pernah tahu.