Mohon tunggu...
Astro Doni
Astro Doni Mohon Tunggu... Lainnya - kausalitas dalam ruang dan waktu

menulis, memerdekakan!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bonus Demografi : Lansekap Kerumitan Kaum Urban

21 September 2016   23:52 Diperbarui: 21 September 2016   23:52 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[ilustrasi ramainya stasiun Depok. Sumber : http://core3.oomph.co.id/api_smart/index.php/shareit/detail/6783]

Hidup di kota dengan tipikal sub-urban, macam Depok memang cukup rumit. Saban hari bekerja di daerah Sudirman dan mengandalkan kereta untuk bepergian. Bila dilanda keterlambatan kereta dan ketidaknyaman lainnya (seperti pengumuman rutin di KRL), saya hanya bisa menghibur diri dan berguman dalam hati, ' ya, namanya juga tiga ribu mau minta cepat, dasar bodoh.'

Itulah kehidupan saya, dan ribuan orang lainnya yang setiap hari melaju demi membeli beras dan sebongkah berlian. Terdengar tidak asing? Hehe.. Menggunakan moda transportasi yang aman sekaligus jauh lebih handal dibandingkan dengan mobil atau motor, yaitu kereta.

Seringkali dalam lamunan saya menuju stasiun Sudirman, muncullah angan bila naik kereta tidak desak-desakan seperti sarden. Tapi bagaimana mungkin? Setiap karyawan yang bekerja di Jakarta sangat mustahil memiliki rumah di sekitaran Benhil, Pejompongan, apalagi di Menteng. Maka saya dan (sepertinya) semua orang berlomba-lomba memiliki rumah di daerah sub-urban. Bekasi, Tangerang, Depok, Bogor menjadi pilihan yang jauh lebih realistis dengan cicilan rumah yang terukur tentunya. Apa nampak seperti pengalaman Anda? Bodo amat.



DISPERSI LANSEKAP MENGIKUTI REL KERETA

http://gambar-rumah.com/attachments/bogor/
http://gambar-rumah.com/attachments/bogor/
[ilustrasi perumahan dekat rel kereta. Sumber : http://gambar-rumah.com/attachments/bogor]

Agaknya, memang nasiblah yang membuat kaum urban untuk memilih rumah dekat dengan rel kereta. Bukan hanya alasan waktu tempuh dan jarak yang 'dekat', tapi lebih karena memang itulah pilihan yang realistis sekaligus populer. Perumahan, sekaligus sarana-prasarana lain seperti rumah sakit, sekolah, pasar kemudian tumbuh berkembang bak cendawan di musim hujan. 

Ada gula ada semut, dimana ada permintaan maka ada pula penawaran. LIhatlah lansekap kota Depok berubah, mengikuti kemauan pasar, mengikuti kerumitan kaum urban, berserakan dan kurang tertata. Inilah salah satu kelemahan dari bonus demografi, planologi kota berubah dan berevolusi secara cepat, tanpa memperhitungkan rasio ruang terbuka hijau.

Idealnya ada batas untuk tiap kepadatan penduduk, tujuannya agar tercipta masyarakat yang madani. Lebih berbudaya dan hidup berkualitas. Tapi itu hanya sebuah utopia novel picisan. Faktanya sumber ekonomi terpusat di Jakarta dan generasi muda di kisaran usia 20-35 bertahan hidup dan berkompetisi memperebutkan kue rejeki itu.

megapolitan.kompas.com
megapolitan.kompas.com
[ilustrasi padatnya KRL tiap pagi. Sumber : https://assets.kompas.com/data/photo/2014/01/09]

KESADARAN KOMUNAL: PENCERAHAN BAGI POLICY MAKER

Rupanya hidup dalam suasana yang bising, penuh ketegangan dan tekanan di kota besar, membuat kita perlu berpikir ulang. Terutama tentang prioritas hidup dan kiek (kiat) dalam mensiasati hidup. Salah satu hal yang cukup menonjol adalah kesadaran membatasi jumlah anak dalam keluarga. Sebagai contoh, bila sebuah rumah tangga memiliki seorang anak plus cicilan rumah dan motor, maka mereka tentu harus memikirkan arus kas untuk kelangsungan hidup mereka. Setiap rumah tangga harus memiliki tabungan. Bukankah memiliki tabungan rumah tangga akan mengarah pada tabungan investasi produktif untuk membuka lapangan pekerjaan yang baru? Benar.

Jadi apakah membatasi anak adalah salah satu jawabannya? Suka atau tidak, itu adalah salah satu jawaban yang muncul karena realitas biaya yang besar di kota. Apa lagi? Kenaikan keanggotaan BPJS Kesehatan adalah contoh lainnya. Tentu ini menjadi semacam 'pemaksaan yang baik' oleh pemerintah. Lalu usia harapan hidup yang lebih panjang memaksa banyak orang memikirkan baik-baik tentang pensiun mereka. Di samping semakin meningkatnya konsumsi secara periodik dan kesadaran akan pelayanan publik yang cepat dan berkualitas,

Tentu masih banyak hal yang dapat ditambahkan. Tapi garis besarnya adalah, adanya bonus demografi disertai dengan pengetahuan yang benar akan kependudukan dan  kesadaran kualitas hidup, seharusnya menjadi momen BKKBN untuk lebih proaktif.

Proaktif yang seperti apa? Tentu proaktif dalam melaksanakan program-programnya dalam pengendalian pertumbuhan penduduk. Misalnya saja mensinergikan program GenRe (generasi emas) dengan Tupoksi PEMDA. Tidak bisa lagi menggunakan pendekatan sentralistis dan terpusat di Jakarta. Akan lebih arif bila melihat kondisi di lapangan dan berkoordinasi dengan PEMDA sekitaran kota urban seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, Makassar untuk memetakan masalah. Mengapa? Karena lansekap demografi sudah berubah. Maka arah kebijakan pun harus adaptif dan menyesuaian dengan dinamika perubahan penduduk.

Jangan sampai BKKBN menjadi macan ompong dan terancam dibubarkan seperti 9 lembaga lain oleh Jokowi. BKKBN bukan melulu lembaga edukasi. Bukan hanya sekedar melakukan edukasi terbatas kepada para pasangan muda, tapi lebih dari itu, melibatkan para pemangku kepentingan dalam pengambilan keputusan. Sebagai contoh praktis, mensinergikan pendidikan seksualitas ke tataran konseling (BK) dan menjadikan pendidikan demografi sebagai bagian dari geografi. Bila perlu ditambahkan kewenangannya, berjuanglah untuk itu. Temui teman-teman di Kementrian Kesehatan, Bapenas, dan suku dinas yang terkait.

 Akhirnya, kesadaran dan pengetahuan yang benar harusnya diwadahi dengan aksi nyata yang positif. Sekecil apa pun itu, sehingga patutlah kita merenungkan filosofis Prof. Widjojo Nitisastro yang harus menjadi nafas kehidupan setiap pegawai BKKBN;

"...Kependudukan itu penting diperhatikan dalam pembangunan."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun