Mohon tunggu...
Astro Doni
Astro Doni Mohon Tunggu... Lainnya - kausalitas dalam ruang dan waktu

menulis, memerdekakan!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bonus Demografi : Lansekap Kerumitan Kaum Urban

21 September 2016   23:52 Diperbarui: 21 September 2016   23:52 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rupanya hidup dalam suasana yang bising, penuh ketegangan dan tekanan di kota besar, membuat kita perlu berpikir ulang. Terutama tentang prioritas hidup dan kiek (kiat) dalam mensiasati hidup. Salah satu hal yang cukup menonjol adalah kesadaran membatasi jumlah anak dalam keluarga. Sebagai contoh, bila sebuah rumah tangga memiliki seorang anak plus cicilan rumah dan motor, maka mereka tentu harus memikirkan arus kas untuk kelangsungan hidup mereka. Setiap rumah tangga harus memiliki tabungan. Bukankah memiliki tabungan rumah tangga akan mengarah pada tabungan investasi produktif untuk membuka lapangan pekerjaan yang baru? Benar.

Jadi apakah membatasi anak adalah salah satu jawabannya? Suka atau tidak, itu adalah salah satu jawaban yang muncul karena realitas biaya yang besar di kota. Apa lagi? Kenaikan keanggotaan BPJS Kesehatan adalah contoh lainnya. Tentu ini menjadi semacam 'pemaksaan yang baik' oleh pemerintah. Lalu usia harapan hidup yang lebih panjang memaksa banyak orang memikirkan baik-baik tentang pensiun mereka. Di samping semakin meningkatnya konsumsi secara periodik dan kesadaran akan pelayanan publik yang cepat dan berkualitas,

Tentu masih banyak hal yang dapat ditambahkan. Tapi garis besarnya adalah, adanya bonus demografi disertai dengan pengetahuan yang benar akan kependudukan dan  kesadaran kualitas hidup, seharusnya menjadi momen BKKBN untuk lebih proaktif.

Proaktif yang seperti apa? Tentu proaktif dalam melaksanakan program-programnya dalam pengendalian pertumbuhan penduduk. Misalnya saja mensinergikan program GenRe (generasi emas) dengan Tupoksi PEMDA. Tidak bisa lagi menggunakan pendekatan sentralistis dan terpusat di Jakarta. Akan lebih arif bila melihat kondisi di lapangan dan berkoordinasi dengan PEMDA sekitaran kota urban seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, Makassar untuk memetakan masalah. Mengapa? Karena lansekap demografi sudah berubah. Maka arah kebijakan pun harus adaptif dan menyesuaian dengan dinamika perubahan penduduk.

Jangan sampai BKKBN menjadi macan ompong dan terancam dibubarkan seperti 9 lembaga lain oleh Jokowi. BKKBN bukan melulu lembaga edukasi. Bukan hanya sekedar melakukan edukasi terbatas kepada para pasangan muda, tapi lebih dari itu, melibatkan para pemangku kepentingan dalam pengambilan keputusan. Sebagai contoh praktis, mensinergikan pendidikan seksualitas ke tataran konseling (BK) dan menjadikan pendidikan demografi sebagai bagian dari geografi. Bila perlu ditambahkan kewenangannya, berjuanglah untuk itu. Temui teman-teman di Kementrian Kesehatan, Bapenas, dan suku dinas yang terkait.

 Akhirnya, kesadaran dan pengetahuan yang benar harusnya diwadahi dengan aksi nyata yang positif. Sekecil apa pun itu, sehingga patutlah kita merenungkan filosofis Prof. Widjojo Nitisastro yang harus menjadi nafas kehidupan setiap pegawai BKKBN;

"...Kependudukan itu penting diperhatikan dalam pembangunan."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun