[ilustrasi ramainya stasiun Depok. Sumber : http://core3.oomph.co.id/api_smart/index.php/shareit/detail/6783]
Hidup di kota dengan tipikal sub-urban, macam Depok memang cukup rumit. Saban hari bekerja di daerah Sudirman dan mengandalkan kereta untuk bepergian. Bila dilanda keterlambatan kereta dan ketidaknyaman lainnya (seperti pengumuman rutin di KRL), saya hanya bisa menghibur diri dan berguman dalam hati, ' ya, namanya juga tiga ribu mau minta cepat, dasar bodoh.'
Itulah kehidupan saya, dan ribuan orang lainnya yang setiap hari melaju demi membeli beras dan sebongkah berlian. Terdengar tidak asing? Hehe.. Menggunakan moda transportasi yang aman sekaligus jauh lebih handal dibandingkan dengan mobil atau motor, yaitu kereta.
Seringkali dalam lamunan saya menuju stasiun Sudirman, muncullah angan bila naik kereta tidak desak-desakan seperti sarden. Tapi bagaimana mungkin? Setiap karyawan yang bekerja di Jakarta sangat mustahil memiliki rumah di sekitaran Benhil, Pejompongan, apalagi di Menteng. Maka saya dan (sepertinya) semua orang berlomba-lomba memiliki rumah di daerah sub-urban. Bekasi, Tangerang, Depok, Bogor menjadi pilihan yang jauh lebih realistis dengan cicilan rumah yang terukur tentunya. Apa nampak seperti pengalaman Anda? Bodo amat.
DISPERSI LANSEKAP MENGIKUTI REL KERETA
Agaknya, memang nasiblah yang membuat kaum urban untuk memilih rumah dekat dengan rel kereta. Bukan hanya alasan waktu tempuh dan jarak yang 'dekat', tapi lebih karena memang itulah pilihan yang realistis sekaligus populer. Perumahan, sekaligus sarana-prasarana lain seperti rumah sakit, sekolah, pasar kemudian tumbuh berkembang bak cendawan di musim hujan.Â
Ada gula ada semut, dimana ada permintaan maka ada pula penawaran. LIhatlah lansekap kota Depok berubah, mengikuti kemauan pasar, mengikuti kerumitan kaum urban, berserakan dan kurang tertata. Inilah salah satu kelemahan dari bonus demografi, planologi kota berubah dan berevolusi secara cepat, tanpa memperhitungkan rasio ruang terbuka hijau.
Idealnya ada batas untuk tiap kepadatan penduduk, tujuannya agar tercipta masyarakat yang madani. Lebih berbudaya dan hidup berkualitas. Tapi itu hanya sebuah utopia novel picisan. Faktanya sumber ekonomi terpusat di Jakarta dan generasi muda di kisaran usia 20-35 bertahan hidup dan berkompetisi memperebutkan kue rejeki itu.
KESADARAN KOMUNAL: PENCERAHAN BAGI POLICY MAKER