[caption id="" align="alignnone" width="565" caption="ekspresi Megawati | sumber: Tribunnews.com"][/caption]
"Mereka adalah kaum oportunis. Mereka tidak mau berkerja keras membangun Partai. Mereka tidak mau mengorganisir rakyat, kecuali menunggu, menunggu, dan selanjutnya menyalip di tikungan." (cuplikan pidato Ibu Mega saat kongres PDIP di Sanur Bali 2015~detik.com)
Memang kalau senior yang berbicara lain rasanya. Itulah Ibu Mega, selaku pemimpin PDIP. Asam garam dan segudang pengalaman dalam berpolitik tidak bisa dipungkiri lagi. Beliau tegas, namun tetap menjaga perasaan. Tiga kalimat pembuka tulisan saya ini adalah kalimat yang bernas, jelas dan tepat sasaran. Ibu Mega benar-benar mempersiapkan diri dengan baik dalam kongres PDIP di Sanur.
Keterampilan Mengelola Partai
Saya sependapat dengan opini Rokhmin Dahuri, bahwasannya, banyak orang yang ingin jadi pejabat tanpa mau membesarkan partai. Rokhmin mengkritik mentalitas instan banyak orang dalam memandang karir dalam partai. Rasa capek, kesal, kecewa, sedih, pahit adalah bagian dari dinamika partai. Dus rasa bahagia, bangga, syukur, penuh asa, sukacita termasuk di situ. Tapi sebagaimana sifat dasar manusia, banyak orang menghindari kesulitan, hanya menginginkan kemudahan, kesenangan. Di situ saya merasa sedih.
Maka tak heran, PDIP bisa tumbuh dan bertahan menjadi partai yang solid dan yang terpenting memiliki ciri khas. Mari kita bandingkan dengan Demokrat atau PAN. Jauh sekali lompatannya. Saya disini menulis bukan kader PDIP. Bukan Saudara, saya di sini menulis netral. Hanya ingin menyadarkan publik bahwa mengelola partai bukan perkara yang mudah.
Keterampilan mengelola partai itu membutuhkan waktu, membutuhkan kesabaran, dan banyak pengorbanan. Jika kita membentuk satu wadah semacam klik kemudian mengadakan kegiatan-kegiatan sosial berkala, itu namanya Charity. Bila kita terikat akan satu hobi, persaudaraan, atau kesamaan minat itu namanya komunitas. Namun bila kita melampaui itu semua, berkumpul, berserikat, dan memiliki tujuan-tujuan mulia dalam berbangsa dan bernegara. Itu dia Ormas. Lalu bagaimana dengan partai? Lebih istimewa lagi, partai adalah organisasi politik, dengan ideologi tertentu dengan tujuan dan orientasi nilai kebangsaan. Oh ya, berbadan hukum dan sah menurut Menkum HAM. Jadi bukan partai abal-abal.
Nah, dari definisi itu muncul macam-macam orang yang punya tujuan dan ideologi yang sama. Ada yang perempuan, laki-laki, orang desa, orang kota, dengan latar belakang suku agama yang berbeda-beda. Mengatur, mengorganisir, membimbing orang yang macam-macam itu tentu bukan pekerjaan sehari dua hari.
Bila kemudian puluhan tahun kemudian, partai ini menjadi besar dan memiliki kekuasaan. Banyak orang berminat dan bergabung tentu dengan macam-macam motivasi. Yang paling menyebalkan kalau motivasinya hanya mencari keuntungan semata. Tanpa mau bersusah-susah berjuang, berkorban, dan merasakan 'oh, ini ya sosok partai sesungguhnya'.
Disitulah saya baru memahami makna perkataan Bu Mega.
Partai (bukan hanya) kendaraan politik
[caption id="" align="alignnone" width="614" caption="Tjahjo Kumolo | sumber: Antarajateng"]
Salah satu contoh yang nyata tentang bagaimana keberhasilan anggota partai merintis dari bawah adalah Pak Tjahjo Kumolo. Di usia yang masih muda (25 tahun) sudah menjadi ketua KNPI Jawa Tengah. Beliau berorganisasi, merintis dari bawah. Gak ujug-ujug. Jadi memahami bagaimana menghadapi banyak orang dengan ragam dan motif yang macam-macam. Terus-menerus berdiskusi, mencari solusi masalah-masalah harian partai, dan mengunjungi para kader. Itu dilakukan terus-menerus, sampai akhirnya timbul trust.
Saya tidak bermaksud, menjadikan Pak Tjahjo sebagai role model. Saya hanya ingin memberikan gambaran, bahwa orang yang bekerja keras dan konsisten melakukan hal yang sama bertahun-tahun akan menjadi ahli. Maka bila membandingkan dengan bocah-bocah kemarin sore dalam bidang politik yang sudah bermulut besar. Harusnya malulah. Kalaulah kemudian beliau menjadi menteri yang merupakan jabatan politik, resistensinya kecil. Ini sangat berbeda dengan Ahok yang resistensinya besar saat memegang jabatan publik.
Maka kongres PDIP menemukan momentum yang tepat. Menyadarkan sekaligus menegaskan bahwa tidak ada jalan pintas dalam politik. Semua harus berkeringat, bekerja keras. Jadi sebuah jabatan publik yang disandang bukanlah given (pemberian) namun struggle (perjuangan). Jadi publik pun dapat mengapresiasinya.
Maka jadilah hukum alam. Sebab-akibat dan berlangsung wajar.
Kembali ke Idealitas Murni Partai
[caption id="" align="alignnone" width="585" caption="kantor PDIP Lenteng | sumber: Hukumonline.com"]
Politik adalah panglima, itu kutipan favorit Anies Baswedan dan tentu saja masih relevan hingga kini. Lihatlah partai sebagai sebuah gerakan politik yang paling riil. Partai politik yang visinya jauh melampaui satu abad. Tidak peduli apakah ideologinya nasionalis, atau agamis. Partai yang berkarakter dan memiliki idealitas.
Maka saya merindukan dan menikmati saat-saat kader PKS memberikan penyuluhan di kelurahan Kukusan Depok. Ikhwan dan Akhwat capek-capek, panas-panas memberi pengarahan politik kepada warga. Para kader muda PKS dibentuk dan dibentuk mentalnya dengan keterampilan persuasi saat kampanye. Maka betapa sedihnya saat LHI tertangkap tangan mengkorupsi dana sapi-sapi Australia itu. Rusaklah sudah suri tauladan dan kebanggaan para kader muda di Kukusan Beji Depok. Masih teringang semangat mereka dalam syiar dan kampanye yang bersih dan santun.
Maka perlulah partai berbenah diri, melakukan langkah-langkah praktis dalam mewujudkan idealitas partai. Sekaligus berjuang agar harapan akan kebaikan selalu ada. Selalu hadir dalam berpolitik.
semoga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H