Mohon tunggu...
Astro Doni
Astro Doni Mohon Tunggu... Lainnya - kausalitas dalam ruang dan waktu

menulis, memerdekakan!

Selanjutnya

Tutup

Money

Pertalian Multikulturalisme dan Bisnis di TMII

1 April 2015   00:15 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:42 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Saya tentu masih ingat betul kenangan berkunjung ke TMII. Pada medio 90an, ketika kami sekeluarga memutuskan untuk melihat keong mas. Ya, suatu bangunan ikonik yang lekat dengan TMII. Dengan mobil kredit dan peta seadanya saya, bapak, ibu dan kedua adik saya memutuskan untuk pesiar ke TMII. Tipikal keluarga dari kampung yang baru jalan ke Jakarta. Hahaha..

Jadi tentu ini adalah pengalaman yang mengasikkan. Bisa melihat TMII dan menuntaskan rasa penasaran kami, bocah-bocah pinggiran Jakarta ini. Tentu saja di TVRI atau koran, saya sudah mendengar cerita TMII. Entah itu rumah-rumah adatnya, museumnya, atau pun istananya yang menjadi kover album anak-anak. Tapi mengunjungi TMII langsung dan merasakan hiruk pikuk secara langsung adalah yang 'fantastico'.

Lagi pula, ayah menjanjikan akan mengenalkan budaya Flores (NTT) di sana. Sesuatu yang tidak pernah kami bayangkan sebelumnya. Mengapa? Karena sebagai keluarga yang merantau ke Jawa, mengenal budaya daerah asli Flores sangatlah sulit. Itu karena pada tahun 90an tiket pesawat sangatlah mahal. Pun ketika itu, kami, anak-anak terlalu takut untuk pergi naik kapal laut berhari-hari.

Jadi untuk tahu seperti apa nuansa dan budaya flores kami cukup ke TMII. Cukup kreatif dan murah bukan? Kalau tidak dikatakan pelit. Ketika tahun 90an, kami sebagai kaum urban yang tinggal di daerah Karawang hanya mengenal Ancol dan TMII. Selain mudah dijangkau dengan tol, hiburannya cukup lengkap dan legendaris sekali. Rasanya kalau belum ke TMII ada yang kurang begitu.

Rambutan rapiah, eskrim dan bunga kamboja

Lalu dimulailah perjalanan itu. Mulai dari Karawang Barat, Cikarang, lalu keluar di Cawang. Waktu itu jalan tol Cikunir belum dibangun. Jadi kami lewat jalan lama melalui Cililitan. Sekalian beli rambutan rapiah. Konon rambutan itu manis, mungil, dan kalau dimakan tidak akan terasa kulit bijinya. Kami bocah kampung ya percaya-percaya saja. Haha..

Dulu keadaan menjelang masuk TMII sangat semrawut, banyak penjual rambutan di sisi kiri dan kanan jalan. Jadi gampang membelinya. Sambil membeli rambutan sambil mengantri masuk TMII yang ramai. Tapi memang dasar kami orang kaya baru beli rambutan dari mobil. Tentu saja harganya dipatok oleh pedagang mahal sekali. Satu ikat rambutan Rp 5.000. Berhubung sudah berjanji, ya kami akhirnya dibelikan juga. Lucu juga kadang mengenang kejadian itu.

Setelah membayar tiket untuk masuk TMII berikut dihitung tiap orang dan mobilnya. Sampailah kami di gerbang TMII, kami lihat replika monumen nasional. Tidak mirip sama sekali. Tapi ya sudahlah toh, cukup tahu. Bukankah kita sudah melihatnya di televisi ucap ayahku? Maka bergegaslah kami menuju Teater Keong Mas yang melegenda itu. Sampai di sana, astaga naga. Antrinya luar biasa. Karena kami datang pada hari minggu, jadi antri panjang seperti ular naga panjangnya. Apalagi cuaca cerah dan panas sekali.

Maka diputuskanlah kami kembali dan membeli eskrim di kedai dekat pintu masuk. Sambil makan eskrim, kami pergi ke Anjungan NTT. Melihat rumah adat NTT, melihat seperti apa di dalamnya, dan mendengarkan ayah bercerita panjang lebar. Ya, untuk kami yang saat itu belum pernah pulang kampung ke Flores. Cerita itu cukup menggambarkan identitas dan jati diri kami. Sesuatu yang agak luntur saat tinggal di perkotaan.

Kami pun bergegas menuju ke Anjungan Bali. Di sana, suasan begitu ramai, dan banyak orang berfoto-foto dengan mengenakan bunga kamboja di telinganya. Kami bocah-bocah lugu, meniru mereka dan meminta ayah dan ibu untuk berfoto bersama. Oh ya saat itu belum ada kamera digital. Jadi kami meminta tukang foto keliling polaroid untuk memfoto kami.

Itulah kenangan kami tentang perjalanan ke TMII.

Wawasan Nusantara di TMII

Dalam perjalan berikutnya, kami menyusuri kolam nusantara di bagian tengah TMII. Melihat gambaran besar kepulauan Indonesia dalam danau buatan. Saya takjub, merasa keheranan, bagaimana mungkin di dalam kolam yang besar ada pulau-pulau rumput yang indah. Hehehe.. Namanya juga bocah bodoh.

Bahkan sampai hari ini, saya baru singgah di tiga pulau besar Indonesia. Pulau Kalimantan, Sulawesi, Jawa. Sementara Sumatera dan  Papua. Saya belum pernah mengunjunginya. Ternyata Indonesia itu luas, besar, dan dalam waktu yang tersisa ini. Saya belum sempat mengunjungi pulau-pulau kecil lainnya.

Perjalanan ke TMII membentuk persepsi tentang Indonesia. Tidak sempurna memang, tapi setidaknya membantu untuk ukuran kami keluarga kecil yang baru saja kredit mobil. Tiket pesawat mahal pada jaman itu, dan akses informasi sangat minim. Hanya mengandalkan koran dan televisi saja, berbeda dengan sekarang. Saat jaman internet dan mudahnya akses informasi lewat internet diperoleh.

TMII menawarkan wisata edukasi, pengetahuan antropologi, geografi, sekaligus sosial yang lengkap. Kami pun jadi tahu (walau belum paham benar) perbedaaan suku-suku di Indonesia. Lewat corak budaya, bahasa, kebiasaan, arsitektur dan itu bisa dilihat sekali jalan. Jalan ke TMII.

Maka tercapai jualah cita-cita visioner mendiang Ibu Tien saat membangun TMII. Suatu tempat dimana keluarga bisa bercengkrama bersama sambil menikmati indahnya nusantara 'mini'. Saat kembali menelusuri kenangan-kenangan itu, saya disadarkan akan kekayaan sejati bangsa Indonesia.

Bahwa pelajaran sekolah mengajarkan bahwa kita adalah negara yang berlimpah sumber daya alam, manusianya banyak, dan alamnya indah. Itu adalah kekayaan. Benar. Tapi ketika mengingat kembali TMII, saya teringat bahwa persepsi tentang kekayaan bangsa terletak pada keragaman budaya dan multikulturalisme.

Multikulturalisme adalah suatu paham yang terus-menerus berkembang sesuai jaman namun tak pernah lekang oleh waktu. Dalam tahap-tahap awal itu TMII sudah berhasil membangun citra itu pada masyarakat Indonesia.

Tantangan 40 Tahun TMII

Jaman sudah berganti, tunas-tunas baru bermunculan.Kelompak bunga dan angin perubahan sudah mekar. Ketika TMII sudah semakin tua dan regenerasi kepemimpinan negeri hadir. Maka TMII harus kembali menemukan jati dirinya yang baru. Mendefinisikan kembali makna TMII baik secara kultural, ekonomis, maupun sosial.

TMII bukan hanya menjadi wahana kongkret pemersatu bangsa. Namun perlu juga dipikirkan tentang aspek-aspek manajemen modern di dalamnya. Ketika properti-properti baru dibangun, disewakan, dan dikembangkan untuk kegiatan yang bernilai ekonomi, harus ada kesadaran lain tentang identitas TMII.

TMII bukan sekedar taman, sebuah tempat yang indah dan sejuk, tapi sudah berkembang menjadi entitas bisnis yang ajeg. Bila perlu kerjasama dengan pemerintah daerah untuk mengembangkan komoditas budaya kriya, kulinari, maupun sendratari, maka lakukanlah. Bila perlu mengembangkan fasilitas teknologi dan website yang mendukung lakukanlah. Bila perlu promosi dan pengaturan kembali dengan para penyewa tenant, lakukanlah.

Karena TMII sudah bertransformasi, bersaing dengan wahana yang lain. Tidak bisa dipungkiri. Wahana bermain, berenang, dan edukasi lainnya bermunculan di pinggiran Jakarta, Bandung, dan kota besar lainnya. TMII harus berani melakukan terobosan, tanpa melupakan identitas keIndonesian. Identitas yang menjadi ruh dalam bisnis yang telah ditanam pondasinya oleh Ibu Tien tercinta.

Dirgahayu TMII.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun