Mohon tunggu...
Astrid Setya 2
Astrid Setya 2 Mohon Tunggu... Freelancer - Wirausaha dan Public Speaker

Seneng nulis dari usia muda hingga membawa saya pernah menjadi wartawan dan penyiar. Setelah menikah lebih senang berbagi pengalaman dengan menjadi public speaker dan mengajar di beberapa tempat. Juga tertantang mengelola usaha, meskipun terkena dampak Covid, namun tetap semangat.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Catatan dari Sangiran (9 Tahun Berlalu)

6 Oktober 2020   14:45 Diperbarui: 6 Oktober 2020   15:00 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Travel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Jcomp

Sangiran bukan tempat asing bagi masyarakat Indonesia. Bahkan di mata internasional, Sangiran selalu menjadi salah satu pusat perhatian. Selain menjadi sasaran para arkeolog dan sejarawan, Sangiran juga menjadi sasaran bagi wisatawan. Museum yang menyimpan fosil-fosil peninggalan jaman purbakala ini mengingatkan aku pada masa lalu. 

Lebih dari 10 tahun lalu, saat masih kuliah, aku sering ke museum ini. Tak lain adalah mencari tahu peninggalan-peninggalan jaman purba yang sudah ditemukan di Sangiran. 

Beberapa kali aku pernah mengunjunginya untuk mencari jawaban atas tugas-tugas kuliah yang diberikan dosenku. Meski tidak terlalu lengkap, aku cukup puas dengan pencarianku. Dengan seksama aku dan beberapa teman kuliah mendengarkan penjelasan rinci dari petugas museum.   

Kini, Sangiran tak lagi seperti dulu. Aku cukup bangga dengan keberadaan museum Sangiran kini. Bangunannya kokoh dengan arsitektur yang up to date. Bersih dan rapi. Sekarang bahkan aku bisa menikmati animasi slide show di bioskop mini yang berada di Sangiran. 

Sayangnya, bioskop mini ini letaknya masih terpisah dengan bangunan museum. Kira-kira 1 kilometer atau tepatnya di lantai 1 Menara Pandang Sangiran. Bioskop mini lumayan bisa menampung lebih 80an penonton. 

Kunjunganku ke Sangiran Rabu 28 September 2011 kala itu, memang hanyalah mendampingi putraku mengikuti outing class di sekolahnya. Kebetulan semester ini jadwal outing class ditetapkan di Sangiran. 

Aku begitu senang melihat putraku antusias belajar jaman prasejarah. Tidak hanya putraku yang tampak antusias. Teman-teman anakku pun tampak bergairah mempelajari jaman pra sejarah. 

Ini memang kali pertamanya anakku melihat peninggalan jaman purba. Seperti aku waktu sekolah, sambil mendengarkan tak lupa mencatat setiap detil penjelasan dari guide. 

Bahkan anak-anak tak mempedulikan penulisan bahasa Perancis, bahasa Belanda atau bahasa Jerman yang benar, saat petugas menjelaskan nama-nama penemu. Beberapa saat kemudian keseriusan anak-anak berubah menjadi gelak tawa, tatkala mereka melewati patung-patung manusia purba yang disetting di museum ini. 

Anak-anak tidak lagi memperhatikan perbedaan fisik manusia purba dengan fisik manusia kini. Mereka justru menertawakan patung-patung yang telanjang. Bahkan ada yang berkomentar "Ihhhhh jorok....nggak pake baju....malu...". Beberapa anak perempuan bahkan ada yang menutupi matanya saat mereka melewati patung telanjang itu. Anak-anak benar-benar tak mau terlibat dalam pornoaksi. 

Kemegahan bangunan Sangiran kini rasanya belumlah sepadan dengan jumlah fosil yang dipajang. Jumlah fosil yang dipajang tak lebih dari 2 ruang. 

Sepertinya masih ada beberapa ruang yang belum dimanfaatkan untuk ruang pamer. Ah......bisa jadi ruangan yang lain masih dipersiapkan atau belum ditata rapi. Semoga saja di waktu lain banyak ruang di museum Sangiran yang sudah dimanfaatkan. 

Sehingga tak sia-sia menempuh perjalanan dari Solo ke Sangiran. Melongok ke gedung bawah di museum Sangiran, puluhan penjual souvenir sudah siap menawarkan berbagai cinderamata khas. 

Puluhan kios berjejer rapi dan tampak rindang di bawah pohon beringin raksasa. Cinderamata yang ditawarkan beragam. Ada gantungan kunci dari batu, patung manusia purba, alat pijat dari batu, gelang, kalung batu dan lain lain. Harganya pun beragam dari 2500 sampai ratusan ribu. Putraku tak mau kalah dengan teman-temannya. 

Mereka mulai menyerbu para penjual cinderamata. Senyum para penjual pun mulai mengembang, ketika anak-anak memborong cinderamata. Bahkan ibu-ibu yang ikut mengantarkan anak-anaknya pun tak mau ketinggalan memborong cinderamata. 

Sangiran, sepertinya masyarakat di sekitarnya telah menjadikannya sandaran hidup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehati-hari. Mengelola Sangiran menjadi lebih profesional juga menjadi sebuah jawaban manis bagi para pengusaha lokal di sekitarnya. 

Dari pengamatanku kemarin, pada saat yang hampir bersamaan beberapa sekolah juga mengunjungi Sangiran. Bahkan beberapa turis dari Jepang juga ikut ambil bagian menikmati kemegahan Sangiran. Mempelajari asal usul bumi dan isinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun