Mohon tunggu...
Astrid Setya 2
Astrid Setya 2 Mohon Tunggu... Freelancer - Wirausaha dan Public Speaker

Seneng nulis dari usia muda hingga membawa saya pernah menjadi wartawan dan penyiar. Setelah menikah lebih senang berbagi pengalaman dengan menjadi public speaker dan mengajar di beberapa tempat. Juga tertantang mengelola usaha, meskipun terkena dampak Covid, namun tetap semangat.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ajarkan Tradisi dari Budaya yang Berbeda

22 September 2020   11:05 Diperbarui: 22 September 2020   11:21 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lagi-lagi saya nemu tulisan lama saya di blog lama yang sudah lupa passwordnya.

Kali ini tulisannya panjang banget. Heran juga sih, kenapa ya saya terbiasa nulis yang panjaaaaaaang dan lama. Hehehe.....ya sudahlah, yang penting bisa dibaca, bisa berbagi cerita. Dan semoga ceritanya bermanfaat ya.

Belum ada 10 menit saya duduk, tiba-tiba Ibu saya menelpon. Pikir saya, ibu pasti masih kangen sama saya. Atau masih kangen sama anak saya. GR deh....Padahal saya baru saja pulang dari rumah ibu. Atau jangan-jangan ada barang saya yang tertinggal di rumah ibu. Dugaan saya ternyata salah. 

Saya yang terkadang masih lupa jika menaruh barang, kali ini ternyata tidak. Ternyata ibu hanya meminta saya untuk menghadiri undangan jagong manten anak dari salah seorang tukang sampah yang biasa membantu di perumahan ibu saya. Untuk menghormati ibu, saya pun segera mengiyakan undangan ibu. Kebetulan saya juga belum makan malam. Hehehehehe....Dalam hujan yang sangat deras, saya melaju ke rumah ibu. Saya tak mau berangkat sendiri. Ada bodyguard saya yang tak lain adalah putra saya yang setia menemani saya kemanapun saya pergi.

Beruntung saat ibu menelpon, saya sedang berada di toko saya. Sehingga saya tak perlu pulang ke rumah. Bergegas saya menuju rumah ibu untuk mandi. Karena jarak yang jauh antara rumah saya dan rumah ibu, saya tak mungkin mengambil baju untuk pergi ke jamuan pernikahan. Niat saya hanya satu, menjalankan tugas yang diberikan orang tua. 

Jadi saya tak berpikir mau pakai baju apa nanti. Saya tak mempersoalkan pakaian yang akan saya kenakan. Paling-paling saya akan meminjam baju ibu yang saya anggap up to date untuk saya pakai. Toh ukuran badan saya sama dengan ukuran badan ibu.

Pucuk dicinta ulam tiba. Ternyata di rumah ibu, saya ketemu adik saya yang kebetulan sedang menginap di menginap di rumah ibu. Tanpa basa basi saya segera meminjam baju adik saya. Jadilah saya berangkat ke acara pernikahan dengan menggunakan baju adik.

Tapi sebelum berangkat, ibu memberikan 2 opsi. Berangkat malam ini atau besok siang. Kebetulan akad nikahnya keesokan harinya.

Nah tulisan ini lanjutan yang kemarin ya.

Kalau malam ini kamu berangkat, nanti kamu pulangnya pasti dapat bungkusan dari daun jati berisi nasi," ujar ibu sambil menjelaskan kebiasaan orang-orang desa saat acara pernikahan.

"Tapi kalau besok, waktunya bisa lama. Karena besok acara sesungguhnya," kata ibu.

Hujan memang masih deras. Bahkan tampaknya hujan semakin deras. Rasanya malas juga pergi saat hujan deras. Belum lagi saya masih harus mencari rumahnya yang hanya diberi ancer-ancer (tanda-tanda). Saya tak bisa menjawab. 

Saya hanya berpikir, kalau malam ini hujan masih deras. Sementara jika besok siang, berarti saya harus meninggalkan pekerjaan sementara waktu. Biasalah, acaranya bukan weekend jadi sedikit merepotkan bagi pengusaha kecil seperti saya. Akhirnya keputusan saya serahkan pada anak saya. Dan anak saya lebih memilih malam ini.

Ditemani hujan deras dan malam yang semakin larut, akhirnya saya menghadiri undangan. Tapi sebelumnya saya tanya-tanya ke ibu, seputar tata cara serta hal-hal yang harus saya lakukan saat menghadiri undangan pernikahan yang acaranya baru dimulai besoknya.

NYASAR KE KUBURAN

"Pertama, kamu beri salam dulu sama yang punya hajatan. Habis itu kamu duduk, terus dipersilahkan makan yang ada di depan kamu. Habis itu kamu pamitan sambil menyerahkan amplop itu," kata ibu mengajari saya. Maklum saya hampir tidak pernah menghadiri acara semacam ini. Mungkin saya terbiasa menghadiri saat hari H di gedung, hotel atau tempat lain sesuai jadwal resepsi.

"Tapi kalau malam sebelum resepsi biasanya ada yang datang kan bu?," tanya saya lagi.

"Ada, pasti ada orang lain yang datang," sahut ibu.

Ditemani angin malam dan hujan yang sangat deras saya akhirnya berangkat berdua bersama anak lelaki saya. Di sepanjang jalan saya memberitahu anak saya agar tidak kaget saat bertamu di kampung. Karena suasananya tidak seperti di gedung atau di hotel. Saya juga mengajarkan anak saya agar memberi jabat tangan. Senyum dan selalu sopan.

"Yang, kamu pokoknya tiruin yang Mama lakukan ya, jangan sampai tidak," ujar saya menggurui.

Dalam perjalanan saya juga sepakat dengan anak saya, jika malam ini sepi tidak ada yang datang, berarti harus pulang dan dengan terpaksa datang saat resepsi besok siang.

Saat perjalanan menuju rumah pemilik hajatan, awalnya saya merasa tidak perlu bertanya pada penduduk sekitar. Saya merasa yakin dengan tanda-tanda yang diberikan ibu. Seperti kebanyakan orang, saya yakin jika pemilik hajatan selalu memasang janur kuning di jalan masuk dekat rumahnya. Eh...ternyata dugaan saya salah. Saya mencoba mencari-cari janur kuning. Tak satupun saya temukan janur kuning. Iseng saja akhirnya saya belok kiri. Tiba-tiba saya berhenti karena ragu.

"Lho.....kok malah  ada kuburan besar banget. Gelap lagi," ucap saya pada anak saya.

Jangan-jangan kita nyasar ya nak....," ujar saya lagi.

Saya tidak takut sama setan, tapi yang saya takutkan adalah jika saya nyasar dan salah arah. Apalagi saya tak mengenal wilayah itu.

MENGAPIT JERAMI

Lega....ternyata ada beberapa sorot lampu neon dan suara musik dari speaker besar. Saya yakin, jika saya tidak salah jalan.

Saat tiba di depan rumah pengantin pun, saya masih ragu untuk masuk. Saya khawatir tidak ada yang datang malam itu. Saya berusaha tengok kanan kiri mencari-cari tamu yang lain. Untunglah tak berapa lama, ada rombongan ibu-ibu yang sudah berdandan rapi untuk menghadiri acara malam itu. Ibaratnya seorang bodyguard, anak saya berjalan di belakang saya.

Saya cari-cari Pak Ndiman, tukang sampah yang saya kenal sejak dulu. Akhirnya saya ketemu juga sama orangnya. Memang sih orangnya sudah lupa dengan saya. Tapi sejurus kemudian saya menyebutkan nama orang tua saya dan meminta maaf lantaran orang tua saya tidak bisa datang. Jadi saya lah wakilnya. Jurus basa basi pun dimulai. Padahal jujur, saya nggak suka basa basi.

Ada pemandangan aneh yang saya dapati dari acara malam ini. Orang tua mempelai perempuan, saya perhatikan dari tadi tidak pernah lepas mengapit jerami padi yang sudah diikat menyerupai sapu yang diberi beberapa daun-daun. Tadi ibu saya juga sedikit menyinggung soal tradisi itu. 

Tapi ibu saya juga tak tahu arti dan maknanya. Jika ibu saya tidak tahu maknanya, apalagi saya. Begitu juga anak saya yang memandang aneh tradisi itu. Mereka dari tadi saya lihat tetap saja mengapit jerami. Tidak hanya
saat berdiri, saat duduk juga demikian.

Begitulah tradisi, dilakukan secara turun temurun dari tahun ke tahun. Meski terasa aneh, saya menghormati tradisi itu. Saya senang menghadiri acara ini.

Setidaknya ada tambahan pelajaran budaya bagi anak saya yang masih duduk di bangku SD grade 4. Serta mengajarkan pada anak saya agar selalu menghormati orang lain tanpa melihat pekerjaan, jabatan, suku, agama dan perbedaan lainnya. Pak Ndiman memang hanya tukang sampah, tapi dia juga manusia yang diciptakan sama sederajat dengan saya dan dengan siapapun, tak terkecuali raja dan presiden.

Selesai berbasa basi dan menyantap makanan yang disudah dipersilahkan, saya pun berpamitan. Tadinya saya bingung menanti waktu untuk berpamitan. Saya katakan pada anak saya, jika ibu-ibu yang secara kebetulan bersamaan masuk dengan saya mulai berpamitan, maka artinya saya dan anak saya pun harus segera berpamitan. Benar juga, mereka pun berpamitan. Dan lega rasanya, akhirnya saya bisa pulang.

Perkenalan saya akan tradisi pernikahan di desa pada anak saya tak berhenti pada jerami itu saja. Beberapa langkah setelah berpamitan, seseorang memanggil saya.

"Mbak...mbak...tunggu....," sahut seorang perempuan.

"Ya...ada apa mbak ?," tanya saya sambil menggandeng erat anak saya.

"Ini ada angsal-angsal buat dibawa pulang," jawabnya.

"o....gitu ya...," jawab saya.

"Iya...," balasnya lagi

"Ya sudah, terima kasih ya," jawab saya lagi.

Saya pun menuju tempat parkir dan melanjutkan perjalanan pulang.

Anak saya tak sabar ingin tahu isi bungkusan yang ada di dalam tas kresek hitam ini.

Tas kresek hitam pun dibuka anak saya. Wow...ternyata isinya sebungkus nasi putih, sebungkus bakmi jawa plus tahu bacem. Kata suami, biasanya orang desa membungkusnya dengan daun jati. Karena musim hujan, bisa jadi daun jati tak kunjung kering. Jadi diganti saja dengan kertas coklat. O ya ada krupuk, rengginang juga jadah (ketan putih).

Satu pelajaran buat anak saya. Anak saya pun mengangguk-angguk sambil menikmati nasi bungkus oleh-oleh sebuah acara kawinan. Makanan yang sederhana, tapi cukup mengenyangkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun