Aku benci di sini.
Hari berlalu dan penyakit itu semakin menular. Aku berusaha mengisolasi diri di sudut sangkar tanpa berbuat apa-apa. Yang kupikirkan sedari kemarin hanyalah cara untuk keluar dari neraka ini.Â
Aku sangat depresi. Hari-hari kulalui dengan penuh lara. Aku merasa tak berdaya dan tak berguna, bahkan mungkin, tak pantas untuk hidup. Ke mana semangatku yang dulu selalu membara itu?
Hey, burung parkit, apakah aku benar-benar bisa menggapaimu?
Di dalam neraka itu rasanya seperti bertahun-tahun. Sampai di suatu malam, secercah harapan muncul. Seekor burung merpati mengetuk jendela di balik sangkarku. Ada pula kunang-kunang bijak yang sudah lama tak kutemui. Mereka berkata akan membantuku kabur dari sana.Â
Dengan ajaib, tiba-tiba aku sudah berada di luar. Tapi belum sempat aku mengutarakan kebahagiaanku, sang kunang-kunang memberikan kabar duka. Katanya, aku akan berubah kembali menjadi ikan hias.
Aku terdiam, terdengar tangisan pilu dari paruhku. Kunang-kunang bijak tidak dapat berbuat apa-apa, ia dan para merpati hanya dapat menenangkanku hingga fajar mulai menyingsing. Kurasakan tubuhku akan berubah lagi. Aku melihat sisik ikan yang sudah lama tak menjadi bagian dari diriku.
Aku segera terbang menuju perairan terdekat. Tak ada waktu lagi, sebentar lagi sayapku hilang. Maka loncatlah aku ke dalam lautan yang luas dan mengerikan itu. Namun sebelumnya, para merpati memberikan informasi tentangmu. Mereka berkata bahwa dirimu bepergian ke belahan dunia lain. Aku turut berbahagia atas pencapaianmu.Â
Saat ini, aku adalah ikan hias kecil yang terjebak di lautan luas. Jika kamu bertanya soal kabarku, aku baik-baik saja. Hanya saja, aku harus mengulang semuanya dari awal.Â
Walaupun begitu, aku tetap bersyukur. Aku masih dapat bersosialisasi dengan ikan-ikan lainnya. Mereka sangat baik dan senang berbagi ilmu baru kepadaku. Kami berkelana ke sana kemari, sama-sama mencari jati diri.Â
Kurasa kali ini hidupku baik-baik saja, meskipun banyak penyesalan yang entah kapan akan berhenti mampir di kepalaku.