Lantas aku terbang menjauh, meninggalkan sarang koloni lebah yang sangat aku cintai. Berat rasanya, tetapi hidup harus terus berjalan.
Dari kejauhan, kudengar suara kicauan yang merdu, kedengarannya seperti suara nyanyian. Aku menghampiri asal suara itu dan mendapati seekor burung yang rupanya persis seperti diriku.
Aku berkenalan dan bertanya kepadanya tentang nama jenis kami. Dengan wajah kebingungan, ia menjawab bahwa kami adalah burung gelatik.Â
Oh ... Burung gelatik ... Nama yang cantik.
Tapi tunggu sebentar ... Jika kami sejenis, maka aku juga dapat berkicau, kan?
Sontak saja aku mengeluarkan suara kicauan yang aneh dan berhasil membuat kawanku tertawa. Oh Tuhan, bahkan tawanya saja terdengar merdu!
Ia pun mengajariku bernyanyi hingga mahir. Sungguh pertemuan yang berkesan menurutku.
Setelah puas bernyanyi, ia mengajakku untuk bergabung dengan gelatik lainnya. Tentu saja aku mau. Kami pun terbang menuju kawanan burung gelatik yang sedang asyik bercengkerama.
Aku sedikit lega karena hidup kali ini terasa santai. Namun sayangnya, kehidupan yang santai itu seolah selesai dalam satu kedipan mata.Â
Aku ditangkap oleh manusia.
Beberapa kali aku berkicau meminta dilepaskan dari sangkar jelek ini. Tetapi manusia itu tidak peduli. Hingga sampailah kami di sebuah rumah tempat burung-burung  disekap dan diperjualbelikan. Sekilas, kulihat banyak di antara mereka yang sedang sakit, tetapi hanya pasrah menunggu giliran dipanggil Tuhan.Â