Mohon tunggu...
Astrid Monica Hartono
Astrid Monica Hartono Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1 Ilmu Komunikasi Universitas Negeri Surabaya

Suka sekali menulis cerita fiksi tetapi untuk saat ini sedang belajar lebih dalam tentang menulis artikel dan berita yang baik.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Cerita Rakyat "Roro Jonggrang", Melawan Toxic Femininity Terhadap Perempuan Sebagai Objektifikasi

7 April 2024   19:47 Diperbarui: 7 April 2024   20:07 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Realitas Sosial Toxic Femininity: Membongkar Diskriminasi Yang Dinormalisasi

Perempuan kerap kali mendapat perlakuan diskriminatif tanpa disadari maupun tidak. Terlalu banyak label yang diberikan kepada perempuan dan juga ditanggung oleh perempuan-mulai dari label yang bersifat konstruktif hingga destruktif-semuanya melekat dalam citra diri perempuan. Perempuan selalu dibingkai sebagai makhluk yang lemah dan tidak berdaya hanya karena mereka tidak mampu melaksanakan tuntutan sosial yang dinormalisasi dalam kehidupan masyarakat patriarkis. 

Dalam hal ini, toxic femininity (feminintas beracun) adalah istilah yang tepat untuk menggambarkan realitas sosial tersebut. Toxic femininity merupakan standarisasi yang hidup dan berkembang dalam lingkungan masyarakat serta diyakini sebagai sesuatu yang seharusnya dimiliki dan dilakukan oleh perempuan pada umumnya. Padahal dalam penerapannya, tuntutan sosial yang dinormalisasi tersebut justru berpotensi menghalangi langkah perempuan untuk berkembang (Habibullah dkk., 2021).

Sebagian besar masyarakat Indonesia saat ini adalah penganut budaya patriarki, di mana hal ini dapat dilihat dari adanya pandangan umum dan potret ketimpangan gender yang memposisikan perempuan sebagai manusia kelas kedua (the second class), sehingga perempuan tidak berhak untuk menentukan arah hidupnya sendiri. 

Biasanya kondisi ketimpangan gender tersebut dapat berwujud tindakan marginalisasi atau pembatasan, subordinasi atau penomorduaan, stereotip atau pemberian label, kekerasan fisik dan non-fisik, serta tuntutan beban kerja ganda atau domestik yang diberikan kepada perempuan dan ditanggung oleh perempuan itu sendiri (Nasution & Sahira, 2021); (Amri, 2021). 

Lantas, adanya perilaku yang terindikasi mengarah pada ketimpangan gender tersebut ternyata nampak jelas dalam unsur penokohan karya sastra folklor di Indonesia, salah satunya adalah cerita rakyat yang diwariskan antargenerasi secara turun-temurun. Di samping mengandung nilai moral yang dapat dipetik dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, cerita rakyat juga dapat menjadi sarana konstruksi budaya suatu daerah (Amala & Ekasiswanto, 2022). 

Bahkan tidak menutup kemungkinan bahwa wacana patriarkat yang selama ini tumbuh dalam kehidupan masyarakat Indonesia turut disisipkan ke dalam unsur penokohan cerita rakyat secara eksplisit maupun implisit, karena dalam proses penciptaan sebuah cerita rakyat seringkali masih terikat dengan wacana bias gender (Amala & Ekasiswanto, 2022); (Juansa dkk., 2021).

Tentu menjadi sebuah pertanyaan, bagaimana selama ini cerita rakyat Indonesia memposisikan peran perempuan dalam unsur penokohan? Bagaimana penggambaran toxic femininity dalam cerita rakyat Indonesia yang selama ini tidak disadari dan justru dinormalisasi?

Mengulik Representasi Perempuan dalam Cerita Rakyat Indonesia

Cerita rakyat sebagai karya sastra merupakan hasil budaya nusantara yang menggambarkan bagaimana falsafah hidup yang dianut oleh suatu masyarakat tertentu. Meskipun tidak diketahui asal usulnya secara gamblang, cerita rakyat mengandung konteks karakter, moral dan aktual yang diperlukan demi mewujudkan kehidupan masyarakat yang bermartabat (Juansa dkk., 2021). 

Sebagai contoh, adanya cerita rakyat Ki Joko Dongos berjudul ‘Terjadinya Terowongan Air Mangge’ yang berasal dari Jawa menampilkan potret kehidupan yang penuh damai dan guyub rukun. Jalan cerita yang diperankan oleh sang tokoh utama, Ki Joko Dongos, merepresentasikan ciri khas dari masyarakat Jawa yang selalu berorientasi pada prinsip kebersamaan dan mengesampingkan kepentingan individu.

Dalam unsur penokohan, cerita rakyat selalu tidak lepas menghadirkan tokoh laki-laki dan perempuan dengan ragam karakter yang berbeda. Tokoh-tokoh yang terlibat inilah yang akan menghantarkan para pembaca maupun audiens untuk mengenal bagaimana alur sebuah cerita rakyat, termasuk juga dalam mengemban nilai-nilai moral yang ingin disampaikan kepada para pembaca maupun audiens (Wahyuningtyas & Hartati, 2023). Namun, tanpa disadari oleh seluruh pihak, isu ketimpangan gender yang melemahkan kedudukan perempuan justru turut diperlihatkan dengan adanya peran pasif tokoh perempuan yang dipengaruhi dan/atau dikendalikan oleh tokoh laki-laki.

Sebagian besar cerita rakyat Indonesia yang dikenal oleh masyarakat selama ini mengandung konsep hegemoni yang menampilkan peran dominasi laki-laki terhadap perempuan, di mana laki-laki selalu dideskripsikan sebagai pemegang otoritas (the authority) dan perempuan berada di bawah otoritas laki-laki tersebut (Amri, 2021). Hal ini sesuai dengan ideologi patriarkat yang meyakini bahwa laki-laki menempati kedudukan sebagai subjek yang bersifat sentral, sedangkan perempuan menempati kedudukan sebagai objek yang bersifat marjinal (Amala & Ekasiswanto, 2022).

Dalam cerita rakyat, objektifikasi terhadap perempuan dapat diketahui melalui penggunaan kaidah bahasa dan pengalokasian posisi perempuan dalam sebuah narasi. Salah satu contoh penggunaan kaidah bahasa untuk mengidentifikasi unsur objektifikasi terhadap perempuan yaitu adanya penggunaan awalan di- pada suatu kata kerja yang berpretensi mengubah subjek menjadi objek dalam sebuah tatanan kalimat. Penggunaan awalan di- tersebut memperlihatkan adanya peran pasif tokoh perempuan sebagai objek yang dibatasi oleh kekuasaan laki-laki sebagai subjek. Selain itu, dari segi pengalokasian posisi perempuan dalam sebuah narasi dapat diidentifikasi pula melalui pemberian karakter atau watak yang melekat pada diri tokoh perempuan yang diobjektifikasi (Amala & Ekasiswanto, 2022).

Objektifikasi terhadap perempuan ini secara sederhana dapat dipahami penggambarannya melalui cerita rakyat ‘Putri yang Berubah Menjadi Ular’ dari Sumatera Utara. Cerita rakyat tersebut sangat familiar memperlihatkan kecantikan paras seorang putri keturunan Raja Simalungun dan para pemuda bangsawan yang berniat untuk mempersunting sang putri. Pengalokasian posisi tokoh putri dalam cerita ini terlihat secara eksplisit dari penggunaan awalan me- pada tindakan aktif yang dilakukan oleh Raja Muda selaku tokoh laki-laki pemegang otoritas.

“Baiklah kalau begitu, siapkan keperluan untuk meminang putri itu.” (Amala & Ekasiswanto, 2022).

"… Raja Muda akan berangkat dari kerajaannya untuk menikah dan menjemput putri.” (Amala & Ekasiswanto, 2022).

Kilas Balik Cerita Rakyat 'Roro Jonggrang' Melawan Toxic Femininity

Kisah 'Roro Jonggrang' menjadi cukup fenomenal di kalangan masyarakat Jawa Tengah, lantaran sejarahnya menjadi latar belakang dari eksistensi Candi Sewu atau Candi Seribu yang terletak di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Kala itu, di sebuah kerajaan berlokasi di Desa Prambanan hiduplah seorang putri yang cantik jelita bernama Roro Jonggrang. Ayahnya, Prabu Saka, dikabarkan telah tewas terbunuh oleh seorang sakti bernama Bandung Bondowoso di medan perang. Usai menyatakan kemenangannya, Bandung Bondowoso berniat untuk menguasai Istana Prambanan dan seluruh isinya. Namun di saat itulah ia mengetahui bahwa Prabu Saka memiliki seorang putri yang sangat cantik dan ia berniat untuk meminang Roro Jonggrang.

Sebelumnya, telah disinggung bahwa toxic femininity selalu memperlihatkan stigma umum bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah dan tidak berdaya karena mereka tidak mampu melaksanakan tuntutan sosial. Kendati demikian, di luar konteks tuntutan sosial, stigma ‘perempuan lemah’ tersebut ternyata melekat dalam citra diri seorang perempuan, sehingga hal tersebut secara tidak langsung mempersilahkan masuknya pengaruh dominasi laki-laki terhadap perempuan, salah satunya adalah unsur objektivikasi terhadap perempuan. Namun, hadirnya kisah ‘Roro Jonggrang’ justru menampilkan perspektif baru bahwa perempuan tidak selamanya berada di bawah legistimasi maupun indoktrinasi kekuasaan laki-laki (Mustofa, 2011).

Dalam lubuk hati terdalam, sebenarnya Roro Jonggrang enggan untuk menerima lamaran dari Bandung Bondowoso, mengingat bahwa ayahnya telah gugur di tangan laki-laki itu. Akhirnya, setelah melakukan beberapa pertimbangan, Roro Jonggrang memutuskan untuk menolak lamaran itu secara halus dengan mengajukan sebuah persyaratan sebagai mahar yang amat berat bagi Bandung Bondowoso, yaitu permintaan untuk mendirikan seribu candi dan dua sumur dengan kedalaman yang cukup dalam. 

Melalui adanya penolakan tersebut telah menunjukkan bahwa Roro Jonggrang adalah sosok perempuan yang berani menghadapi karakter Bandung Bondowoso yang tamak dan serakah. Ia berani melakukan hal tersebut demi menjaga martabat dan memperjuangkan haknya sebagai seorang perempuan yang diobjektifikasi atas dasar urgensi tradisi dan politik. Sedangkan persyaratan yang dibuatnya merupakan wujud perlawanan Roro Jonggrang sebagai pihak yang dirugikan, baik dari segi politis, psikologis, maupun gender (Mustofa, 2011).

Begitu Roro Jonggrang mengetahui bahwa seribu candi tersebut hampir selesai dalam kurun waktu satu malam, ia dengan cepat mencetuskan ide untuk menggagalkan pembangunan candi tersebut. Ia membangunkan dayang-dayang di Desa Prambanan dan menghendaki mereka untuk segera menyalakan obor serta membakar jerami. Ayam pun berkokok, suasana menjadi terang benderang dalam sekejab. Para roh halus yang diandalkan oleh Bandung Bondowoso dalam proses pembangunan seribu candi tersebut meninggalkan pekerjaan mereka yang belum sepenuhnya usai. Akibatnya, Bandung Bondowoso merasa geram dan dengan kesaktiannya, ia mengutuk Roro Jonggrang menjadi batu arca untuk melengkapi satu kurangnya candi yang terakhir. Keputusan yang diambil Roro Jonggrang, termasuk transformasinya menjadi batu menunjukkan adanya pendirian yang tegas dan tidak mampu dipengaruhi oleh berbagai bentuk legistimasi laki-laki manapun. 

Dengan dikutuk menjadi batu, tentu saja menjadi akhir perjuangan Roro Jonggrang yang tidak ingin bersentuhan dengan berbagai bentuk kekerasan, dominasi dan penindasan oleh laki-laki (Mustofa, 2011).  Kisah 'Roro Jonggrang' secara harfiah membuktikan bahwa toxic femininity dapat dilawan oleh kaum perempuan demi memperjuangkan martabat dan harga diri, bahkan stigma 'perempuan lemah' dapat dipatahkan dengan melakukan perlawanan yang didasari oleh keberanian. Meskipun pada akhirnya perjuangan ini akan berujung kekalahan maupun kematian, namun hal ini menjadi wujud resistensi paling esensial untuk menolak diobjektifikasi (Mustofa, 2011).

Daftar Pustaka

Amala, B. M., & Ekasiswanto, R. (2022). Objektivikasi Perempuan dalam Lima Cerita Rakyat Indonesia: Analisis Kritik Sastra Feminis. SEMIOTIKA: Jurnal Ilmu Sastra dan Linguistik, 14(2), 139-154.

Amri, S. H. (2021). Analisis Gender dalam Cerita Rakyat (Kajian Semiotika Roland Barthes): Gender Analysis in Folklore (The Semiotic Study of Roland Barthes). Kibas Cenderawasih, 18(1), 100-113.

Habibullah, H., Aditya, D. K., & Supriadi, O. A. (2021). Perancangan Media Kreatif Pembelajaran Dan Pengenalan Mengenai Ragam Identitas Gender Dan Ekspresi Gender Dengan Memanfaatkan Media Boneka Kertas Bagi Remaja. eProceedings of Art & Design, 8(3).

Juansah, D. E., Mawadah, A. H., & Devi, A. A. K. (2021). Rekonstruksi Cerita Rakyat Pulau Jawa Berdasarkan Perspektif Kesetaraan Gender. JP-BSI (Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia), 6(1), 39-44.

Mustofa, A. (2011). Sayembara Sebagai Bentuk Resistensi Perempuan dalam Menolak Hegemoni Laki-Laki dalam Cerita Rakyat Roro Jonggrang, Roro Mendut, dan Sangkuriang. Atavisme, 14(2), 182-193.

Nasution, L. A., & Sahira, N. (2021). Studi Semiotik Feminisme Tentang Film Marlina Si Pembunuh Dalam Empat Babak. Jurnal Ilmiah Ilmu Komunikasi Communique, 4(1), 14-27.

Wahyuningtyas, S., & Hartati, U. (2023). Dimensi Gender dalam Cerita Rakyat Roro Jonggrang dan Roro Mendut. In Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (Vol. 2, No. 1, pp. 66-72).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun