Mohon tunggu...
Astrela Zara Asyifa
Astrela Zara Asyifa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Seseorang yang energik dan ambisius, lalu dapat mudah menciptakan dan memperkuat relasi yang positif, serta dapat memanajemen waktu dengan baik, dan sangat mementingkan kejujuran serta berpegang teguh terhadap keseimbangan antara perkataan dengan perbuatan

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Pengaruh Literasi Digital terhadap Pola Konsumsi Berita di Platform Instagram pada Generasi Z

28 Oktober 2024   23:23 Diperbarui: 28 Oktober 2024   23:55 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

PENGARUH LITERASI DIGITAL TERHADAP POLA KONSUMSI BERITA DI PLATFORM INSTAGRAM PADA GENERASI Z 

 

Oleh : Astrela Zara Asyifa 

NIM 2401070099

Program Studi Fakultas Pendidikan dan Psikologi

astrelaasyifa@students.unnes.ac.id

PENDAHULUAN 

Literasi digital adalah ide yang menghubungkan teknologi dengan pengguna guna memfasilitasi penggunaan efektif teknologi digital (Nugroho, 2020). Pengguna teknologi digital perlu memiliki keterampilan literasi digital agar dapat mengevaluasi informasi yang diperoleh ketika menggunakan teknologi digital dan menggunakannya secara efisien. Internet, sebagai salah satu produk teknologi digital, telah mengubah pola konsumsi informasi masyarakat (Aprinta, 2013). Internet memungkinkan individu untuk dengan mudah dan cepat menyebarkan informasi, yang menghasilkan peningkatan jumlah informasi di mana informasi yang benar maupun yang salah dapat tersebar dengan cepat ke masyarakat. Fenomena ini telah menghasilkan istilah-istilah seperti berita palsu, hoaks, dan disinformasi. Oleh karena itu, literasi digital menjadi sangat penting  agar masyarakat dapat membaca, mengevaluasi, dan memahami informasi saat melakukan pencarian.

Perkembangan jumlah penduduk di seluruh dunia telah melahirkan beberapa generasi yang berbeda, mulai dari Baby Boomers (1946-1960) hingga generasi terbaru, yang disebut sebagai generasi Z atau gen Z (1995-2010). Generasi Z, yang merupakan generasi muda saat ini, dikenal karena mereka telah terbiasa dengan teknologi sejak lahir. Mereka cenderung memiliki kecepatan berpikir dan responsif yang tinggi. Kehidupan mereka sangat tergantung pada teknologi informasi dan komunikasi, dan mereka cenderung bergantung pada smartphone dan internet.

Kemudahan akses internet melalui ponsel pintar telah menciptakan generasi yang sangat tergantung pada internet, sesuai dengan era globalisasi. Internet telah menjadi sumber utama informasi bagi generasi ini, yang semakin memainkan peran penting dalam membentuk perilaku, bahkan melebihi peran perbedaan sosio-ekonomi. Kaum muda kini memiliki pengaruh signifikan terhadap berbagai kalangan usia dan pendapatan, serta memengaruhi pola konsumsi dan interaksi mereka.

Media sosial seperti Facebook, Twitter, dan Instagram telah menjadi tempat berinteraksi bagi berbagai generasi. Jika Generasi X cenderung lebih aktif di Facebook, maka Generasi Z lebih dominan di Instagram.

Instagram merupakan salah satu platform yang amat diminati dan digunakan oleh mayoritas generasi Z. Generasi Z umumnya mengakses Instagram untuk membangun identitas digital, mempromosikan diri, dan sebagai wadah untuk berekspresi secara autentik. Mereka juga menikmati konten yang menghibur, berpartisipasi dalam interaksi sosial, dan dapat mengembangkan identitas digital mereka melalui platform ini. Pada Februari 2022, sekitar 84,8% dari total populasi internet di Indonesia aktif menggunakan Instagram, dengan jumlah pengguna mencapai sekitar 99,15 juta pengguna (We are Social, 2022). Keberhasilan Instagram terutama didorong oleh fitur uniknya yang memungkinkan pengguna untuk berbagi informasi dalam bentuk gambar dan video yang disebut sebagai feeds.

Instagram bukan hanya digunakan untuk komunikasi personal, tetapi juga telah berevolusi menjadi platform pemasaran bagi perusahaan dan UMKM, serta menjadi sumber pembelajaran dan literasi digital. Kebiasaan konsumsi berita masyarakat, termasuk di Instagram, sangat dipengaruhi oleh pola perilaku yang terbentuk sejak remaja hingga dewasa. Cara masyarakat mengonsumsi media, termasuk berita, dapat diukur berdasarkan waktu yang dihabiskan untuk berbagai jenis media, jenis konten yang dikonsumsi, dan interaksi individu dengan konten media tersebut (Rosengren dalam Rakhmat, 2001, h. 66).

Berita yang dipublikasikan melalui platform media sosial seperti Instagram memiliki kemampuan besar untuk mencapai masyarakat karena kecepatan penyebaran yang lebih cepat dibandingkan dengan media cetak. Meskipun demikian, jumlah informasi yang melimpah di Instagram seringkali menimbulkan kekhawatiran bagi sebagian orang. Di samping itu, ada juga yang meragukan kebenaran berita yang tersebar di platform tersebut.

Beberapa riset juga menunjukkan bahwa Instagram memiliki dampak yang signifikan dalam membentuk pola konsumsi berita dan identitas generasi Z. Hubungan antara generasi Z dan platform media sosial seperti Instagram terbukti kompleks. Oleh karena itu, cara generasi Z mencari informasi dan pandangan mereka terhadap kepercayaan dalam penyajian berita dapat dipengaruhi oleh pola konsumsi berita di Instagram.

 

2.1.Penelitian Terdahulu 

Penulis membutuhkan penelitian sebelumnya sebagai landasan dalam merancang penelitian baru. Dari penelitian sebelumnya, penulis berupaya untuk mengidentifikasi persamaan yang dapat digunakan sebagai referensi, serta menemukan perbedaan yang dapat dibandingkan untuk memperkaya penelitian yang akan dilakukan. Ada empat penelitian sebelumnya yang relevan dengan topik penelitian yang akan dilakukan oleh penulis.

           Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Delmia Wahyudin dan Cardina Putri Adiputra (2019) mengenai Analisis Literasi Digital pada Konten Instagram @infinitygenre menjelaskan bahwa literasi digital tidak hanya terbatas pada keterampilan operasional dan penggunaan berbagai perangkat TIK (teknologi informasi dan komunikasi), tetapi juga mencakup pemahaman konten teknologi serta kemampuan dalam menciptakan dan menulis konten menjadi pengetahuan yang baru.

       Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Yunita Sari dan Hendri Prasetya (2022) tentang Literasi Media Digital pada Remaja di Tengah Perkembangan Pesat Media Sosial menyimpulkan bahwa remaja SMA di PKP JIS telah menunjukkan kemajuan dalam literasi media. Mereka terampil dalam menggunakan media sosial seperti Instagram, mampu mengakses berbagai fitur, memahami, menganalisis, dan menyaring informasi yang autentik, serta mengidentifikasi hoaks melalui komentar di Instagram dan mencari sumber yang terpercaya. Mereka juga mampu menganalisis konten yang mereka sukai, berbagi informasi, memberikan tanggapan, dan menciptakan foto, gambar, video, serta konten lainnya, menunjukkan tingkat kreativitas mereka dalam menggunakan media sosial Instagram.

Beberapa studi sebelumnya yang relevan dengan penelitian ini meliputi:

  1. Penelitian oleh M. Taufiq Hidayatullah dan Suyanto, yang berfokus pada Analisis Kesenjangan Motif dan Kepuasan Menonton Saluran YouTube "Kok Bisa?" di Lingkungan Mahasiswa Ilmu Komunikasi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau, bertujuan untuk menginvestigasi tingkat kepuasan penonton terhadap saluran "Kok Bisa?" di YouTube. Hasil studi ini menunjukkan bahwa rata-rata Gratifikasi Sebenarnya (GS) lebih tinggi daripada rata-rata Gratifikasi yang Diharapkan (GO). Nilai rata-rata GS untuk saluran "Kok Bisa?" adalah 3,6693, sementara nilai rata-rata GO adalah 3,6450, dengan perbedaan sebesar 0,0243. Hanya aspek informasi yang memenuhi tingkat kepuasan (GS > GO), sedangkan aspek lain seperti identitas pribadi, integrasi, dan interaksi sosial mengalami ketidakpuasan.
  2. Jurnal yang disusun oleh Timotius Arief Nugroho dan Daru Purnomo, berjudul "Motif dan Kepuasan Penonton dalam Menyaksikan Program Kick Andy" (Analisis Berdasarkan Teori Uses and Gratifications pada Mahasiswa FISKOM UKSW), mencatat bahwa aspek informasi merupakan sumber kepuasan utama. Penelitian ini menunjukkan bahwa rerata Gratifikasi Sebenarnya (GS) lebih tinggi daripada rerata Gratifikasi yang Diharapkan (GO), terutama dalam hal motif pencarian informasi (0,46) dan motif pencarian identitas pribadi (0,08). Meskipun begitu, kebutuhan akan hiburan, integrasi, dan interaksi sosial tidak sepenuhnya terpenuhi melalui program tersebut menurut persepsi responden.
  3. Jurnal yang disusun oleh Silya Christine Baracha Kaban, Ni Made Ras Amanda Gelgel, dan Ade Devia Pradipta, berjudul "Motif dan Kepuasan Penonton Video Blog di Kalangan Anak Muda Kota Denpasar", menemukan bahwa rata-rata Gratifikasi Sebenarnya (GS) lebih tinggi daripada rata-rata Gratifikasi yang Diharapkan (GO). Penelitian ini menunjukkan bahwa dua motif, yakni identitas pribadi dan integrasi serta interaksi sosial, dapat memuaskan melalui menonton video blog. Akan tetapi, kebutuhan akan informasi dan hiburan tidak sepenuhnya terpenuhi.

Tiga penelitian ini menyelidiki motif dan kepuasan menonton konten media yang berbeda, seperti Channel YouTube "Kok Bisa?", program Kick Andy, dan video blog (vlog), di kalangan mahasiswa ilmu komunikasi, mahasiswa FISKOM, dan kaum muda di Kota Denpasar. Meskipun menggunakan pendekatan Teori Uses and Gratifications, ketiga penelitian ini menghasilkan temuan yang berbeda.

Penelitian awal oleh M. Taufiq Hidayatullah dan Suyanto memusatkan pada saluran YouTube "Kok Bisa?" di Universitas Riau. Hasilnya menunjukkan bahwa kepuasan penonton cenderung terkait dengan kebutuhan informasi, sementara kebutuhan akan identitas pribadi, integrasi, dan interaksi sosial kurang terpenuhi.

Studi kedua, oleh Timotius Arief Nugroho dan Daru Purnomo, mengamati program Kick Andy di mahasiswa FISKOM UKSW. Hasilnya menunjukkan bahwa kepuasan tertinggi terkait dengan informasi, namun kebutuhan akan hiburan dan integrasi serta interaksi sosial kurang terpenuhi.

Penelitian ketiga, oleh Silya Christine Baracha Kaban, Ni Made Ras Amanda Gelgel, dan Ade Devia Pradipta, meneliti motif dan kepuasan menonton video blog di Kota Denpasar. Hasilnya menunjukkan bahwa kepuasan penonton didominasi oleh motif identitas pribadi dan integrasi serta interaksi sosial, namun motif informasi dan hiburan masih belum sepenuhnya terpenuhi.

Perbedaan antara ketiga penelitian tersebut terletak pada jenis konten media yang diteliti, demografi responden, serta fokus kepuasan penonton terhadap berbagai motif. Dengan menganalisis kesenjangan antara kepuasan sebenarnya (GS) dan kepuasan yang diharapkan (GO), penelitian ini memberikan wawasan tentang area yang perlu diperbaiki atau ditingkatkan dalam konten media yang diteliti untuk memenuhi kebutuhan penonton secara lebih efektif.

PEMBAHASAN 

Teori dan Konsep Uses and Gratification

Pada tahun 1940-an, para peneliti mulai mengembangkan teori penggunaan dan kepuasan ketika mereka tertarik untuk memahami motivasi di balik perilaku audiens dalam mengonsumsi media seperti mendengarkan radio dan membaca surat kabar. Mereka melakukan penelitian terhadap berbagai program radio dan mencoba memahami alasan di balik minat orang terhadap jenis siaran tertentu seperti kuis dan drama radio. Salah satu tokoh awal dalam penelitian tentang penggunaan dan kepuasan ini adalah Herzog, yang berusaha untuk mengklasifikasikan alasan-alasan mengapa orang lebih menyukai membaca surat kabar daripada mendengarkan radio, serta menganalisis bagaimana kebutuhan dan preferensi audiens mempengaruhi pilihan media mereka.

Teori penggunaan dan kepuasan merupakan perkembangan dari teori jarum hipodermik yang diperkenalkan oleh Herbert Blumer dan Elihu Katz pada tahun 1974 dalam buku mereka "The Uses of Mass Communication: Current Perspectives on Gratification Research". Menurut teori ini, pengguna media memiliki peran aktif dalam memilih dan menggunakan media. Mereka secara aktif mencari sumber media yang terbaik untuk memenuhi kebutuhan mereka, sehingga teori ini mengasumsikan bahwa pengguna memiliki berbagai opsi untuk memuaskan kebutuhan mereka.

Elihu Katz dan Herbert Blumer menjelaskan bahwa teori ini mengeksplorasi akar dari kebutuhan psikologis dan sosial yang mendorong harapan tertentu terhadap media. Hal ini menyebabkan variasi dalam pola konsumsi media serta partisipasi dalam aktivitas lainnya, dan juga menghasilkan pemenuhan kebutuhan serta implikasi-implikasi lainnya.

Ada 5 asumsi dasar yang menjadi inti gagasan teori penggunaan dan kepuasan, yaitu:

  1. Audiens aktif dalam penggunaan media mereka, dengan fokus pada tujuan yang ingin dicapai.
  2. Kemauan untuk memilih media tertentu sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan kepuasan bergantung pada individu dalam audiens.
  3. Media bersaing dengan sumber-sumber kebutuhan lain dalam kehidupan individu.
  4. Kesadaran diri yang kuat tentang penggunaan media, minat, dan motif individu membantu peneliti memahami dengan lebih baik.
  5. Pengambilan keputusan tentang bagaimana audiens menghubungkan kebutuhan mereka dengan media atau konten tertentu harus dipertimbangkan dengan hati-hati.

Teori uses and gratification menjelaskan bagaimana audiens memainkan peran aktif dalam mengonsumsi media dengan memilih pesan media yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Pemilihan media oleh audiens merupakan upaya untuk memenuhi kebutuhan informasi mereka. Motif-motif khusus mendorong audiens untuk mengonsumsi media guna memuaskan kebutuhan mereka. Intinya, teori uses and gratification menekankan bahwa pemilihan media oleh audiens didasarkan pada kepuasan, keinginan, kebutuhan, atau motif tertentu. Teori ini menyoroti bahwa media massa tidak memiliki kekuatan langsung untuk memengaruhi audiens, karena audiens dipandang sebagai individu yang aktif dan selektif dalam memilih media. Ini menyebabkan munculnya motif-motif dalam penggunaan media dan kepuasan terhadap motif-motif tersebut.

McQuail dan rekan-rekannya mengidentifikasi empat motif yang mendorong audiens untuk menggunakan media.

Disversion adalah fenomena ketika seseorang menggunakan media untuk menghindari kegiatan sehari-hari yang monoton.

Hubungan personal terjadi saat individu memanfaatkan media sebagai pengganti interaksi sosial langsung dengan teman-teman mereka.

Identitas personal digunakan untuk memperkuat nilai-nilai individu melalui penggunaan media.

Pengawasan mencakup cara media membantu individu dalam memperoleh informasi yang diperlukan untuk mencapai tujuan tertentu.

Dampak dari respons individu seperti perubahan emosi dan perilaku dapat digunakan sebagai indikator untuk mengevaluasi sejauh mana media dapat memenuhi kebutuhan pengguna. Pendekatan uses and gratification menyoroti peran aktif dan selektif audiens dalam memilih dan menggunakan media sesuai dengan kebutuhan mereka. Audiens telah menetapkan media mana yang sesuai dengan kebutuhan mereka, yang mencerminkan usaha mereka dalam memenuhi kebutuhan berdasarkan motif tertentu. Audiens secara aktif memilih media berdasarkan preferensi individu mereka, yang berbeda-beda antara satu pengguna dengan yang lain. Pendekatan ini bertujuan untuk mengidentifikasi motif yang mendorong individu dalam menggunakan media.

 

Platform Sosial Media Instagram

Instagram, yang menggabungkan kata "instan" dan "telegram", merujuk pada kemampuannya untuk dengan cepat membagikan informasi melalui gambar. Layanan jejaring sosial ini, yang resmi diluncurkan pada 6 Oktober 2010 oleh Kevin Systrom dan Mike Krieger, menarik 25 ribu pengguna pada hari pertama peluncurannya. Menurut definisi dari Atmoko, Instagram adalah platform fotografi yang memungkinkan pengguna membagikan momen dalam hidup mereka melalui serangkaian gambar. Dalam pandangan Bambang, Instagram adalah aplikasi ponsel cerdas yang bertindak sebagai media sosial dengan fokus pada berbagi foto, membedakannya dari platform seperti Twitter. Selain sebagai alat untuk berbagi informasi, Instagram juga dianggap mampu memberikan inspirasi dan meningkatkan kreativitas pengguna melalui fitur-fitur yang memungkinkan pengeditan dan peningkatan estetika gambar.

 

Analisis Literasi Digital di Kalangan Generasi Z

Literasi digital di kalangan Generasi Z merupakan salah satu aspek yang semakin penting dalam kehidupan sehari-hari, terutama di era digital yang ditandai dengan banjir informasi dari berbagai sumber. Generasi Z, yang lahir di antara pertengahan 1990-an hingga awal 2010-an, tumbuh di tengah pesatnya perkembangan teknologi informasi dan media sosial. Bagi mereka, perangkat digital seperti ponsel pintar dan platform online bukanlah hal baru, melainkan bagian dari keseharian yang tak terpisahkan. Namun, meskipun Generasi Z dianggap sebagai "digital native" yang secara alami akrab dengan teknologi, literasi digital tidak hanya berarti kemampuan untuk menggunakan teknologi tersebut. Lebih dari itu, literasi digital mengacu pada kapasitas mereka untuk mencari, mengevaluasi, dan menggunakan informasi secara efektif dan bijak.

Dalam konteks ini, literasi digital mencakup pemahaman yang lebih mendalam tentang bagaimana informasi dikemas dan disampaikan melalui berbagai platform, termasuk media sosial seperti Instagram. Bagi Generasi Z, yang sering mengandalkan Instagram untuk mendapatkan berita dan informasi terkini, literasi digital memainkan peran penting dalam membedakan mana informasi yang valid dan mana yang tidak. Keterampilan ini melibatkan kemampuan untuk mengidentifikasi sumber berita yang terpercaya, memahami bias dalam penyampaian informasi, serta mengevaluasi keakuratan fakta yang disajikan.

Sayangnya, meskipun Generasi Z terbiasa dengan teknologi, tingkat literasi digital mereka tidak selalu merata. Beberapa dari mereka memiliki pemahaman yang baik tentang pentingnya memverifikasi informasi sebelum menyebarkannya, tetapi yang lain mungkin cenderung menerima informasi mentah-mentah tanpa pengecekan lebih lanjut. Fenomena ini diperparah oleh karakteristik Instagram sebagai platform berbasis visual, di mana berita sering kali disajikan dalam bentuk infografis yang menarik, namun singkat dan kurang mendalam. Di sinilah tantangan terbesar muncul: bagaimana Generasi Z dapat tetap kritis terhadap informasi yang mereka konsumsi di tengah arus konten yang cepat dan penuh dengan elemen visual menarik?

Faktor-faktor seperti latar belakang pendidikan, akses terhadap sumber daya teknologi, serta paparan terhadap pendidikan literasi digital di sekolah atau lingkungan keluarga turut mempengaruhi tingkat literasi digital di kalangan Generasi Z. Mereka yang mendapatkan pendidikan formal atau informal tentang cara memverifikasi berita dan menghindari hoaks cenderung lebih kritis dan selektif dalam mengonsumsi informasi. Sebaliknya, mereka yang kurang mendapatkan pendidikan semacam itu lebih rentan terjebak dalam disinformasi dan penyebaran berita palsu.

Selain itu, kebiasaan dan perilaku penggunaan media sosial juga sangat mempengaruhi tingkat literasi digital ini. Generasi Z dikenal dengan multitasking dalam menggunakan teknologi, di mana mereka dapat melakukan banyak aktivitas secara bersamaan, seperti membaca berita, berinteraksi di media sosial, dan menonton video. Namun, pola konsumsi yang cepat dan simultan ini sering kali membuat mereka kurang mendalam dalam mencerna informasi. Alih-alih membaca berita secara lengkap atau melakukan pengecekan terhadap sumber, mereka mungkin hanya menyerap headline atau cuplikan singkat yang terlihat di feed Instagram, yang kadang bisa menyesatkan atau tidak lengkap.

Literasi digital juga mencakup kesadaran akan adanya algoritma di balik platform seperti Instagram. Generasi Z perlu memahami bahwa algoritma ini dirancang untuk menampilkan konten yang sesuai dengan preferensi mereka, yang dapat menciptakan "filter bubble" -- sebuah situasi di mana pengguna hanya melihat informasi yang sejalan dengan pandangan atau minat mereka. Hal ini bisa berbahaya jika tidak diimbangi dengan kemampuan kritis, karena dapat mempersempit sudut pandang mereka terhadap suatu isu dan membuat mereka tidak sadar terhadap pandangan lain yang mungkin lebih valid atau seimbang.

Pola Konsumsi Berita di Instagram oleh Generasi Z

Pola konsumsi berita di Instagram oleh Generasi Z mencerminkan bagaimana teknologi telah mengubah cara mereka mengakses informasi di era digital. Sebagai generasi yang lahir dan tumbuh bersama internet, Generasi Z cenderung lebih nyaman menggunakan platform digital, termasuk Instagram, untuk mengikuti perkembangan berita. Instagram bukan hanya menjadi tempat berbagi foto atau video, tetapi telah bertransformasi menjadi salah satu sumber berita utama bagi mereka, terutama karena sifatnya yang visual dan interaktif.

Di Instagram, Generasi Z lebih menyukai berita yang disajikan dalam bentuk visual menarik, seperti infografis, video singkat, atau postingan carousel yang memungkinkan mereka untuk mendapatkan informasi secara cepat dan mudah dicerna. Konten-konten ini sering kali memanfaatkan elemen-elemen yang penuh warna, didesain secara kreatif, dan disertai dengan teks singkat atau headline yang langsung menarik perhatian. Kecepatan informasi dan kemudahan mengakses berita melalui fitur seperti Instagram Stories dan Reels menjadi daya tarik utama bagi Generasi Z, yang umumnya memiliki rentang perhatian yang lebih singkat dibandingkan generasi sebelumnya. Mereka menginginkan informasi yang dapat diperoleh secara instan, tanpa harus menghabiskan banyak waktu untuk membaca artikel panjang.

Selain itu, Instagram memberikan pengalaman berita yang lebih personal dan disesuaikan dengan minat pengguna. Algoritma Instagram memungkinkan Generasi Z untuk melihat berita yang sesuai dengan preferensi dan interaksi mereka. Berita yang muncul di beranda atau Explore mereka sering kali berkaitan dengan topik yang mereka ikuti atau akun yang sering mereka interaksi, sehingga memberikan perasaan bahwa mereka selalu mendapatkan informasi yang relevan. Namun, pola konsumsi ini juga dapat menciptakan "filter bubble," di mana Generasi Z hanya terpapar pada sudut pandang yang serupa dengan pandangan mereka sendiri, membatasi akses mereka terhadap perspektif yang berbeda.

Generasi Z juga lebih selektif dalam memilih sumber berita yang mereka percayai di Instagram. Sumber-sumber berita yang terverifikasi, seperti akun-akun resmi media massa, sering kali menjadi rujukan utama mereka. Namun, di sisi lain, tidak jarang mereka juga mengikuti akun-akun independen atau influencer yang mereka anggap kredibel dalam membahas topik tertentu, mulai dari isu politik, lingkungan, hingga hiburan. Kepercayaan terhadap akun-akun ini sering kali dibangun melalui interaksi langsung di kolom komentar atau pesan langsung, yang menciptakan hubungan lebih personal antara penyedia berita dan konsumen.

Namun demikian, meskipun akses informasi di Instagram begitu mudah dan cepat, tantangan bagi Generasi Z adalah bagaimana mereka memfilter berita palsu atau misinformasi yang juga tersebar dengan cepat. Berita yang beredar di Instagram sering kali tidak diverifikasi dengan benar, dan Generasi Z, yang sangat mengandalkan visual, bisa saja tertipu oleh desain yang tampak profesional meskipun isinya tidak benar. Oleh karena itu, literasi digital memainkan peran penting dalam membantu mereka menilai mana berita yang valid dan mana yang harus dipertanyakan.

Pengaruh Literasi Digital terhadap Pola Konsumsi Berita

Pengaruh literasi digital terhadap pola konsumsi berita di Instagram pada Generasi Z sangat signifikan dan mencerminkan bagaimana perkembangan teknologi telah mengubah cara generasi ini berinteraksi dengan informasi. Literasi digital, yang mencakup kemampuan untuk mencari, menilai, dan menggunakan informasi dengan bijak, memainkan peran penting dalam menentukan bagaimana individu memahami dan memfilter berita yang mereka konsumsi. Bagi Generasi Z, yang tumbuh di tengah derasnya arus informasi digital, literasi digital bukan hanya tentang kemampuan teknis untuk mengoperasikan gawai atau aplikasi, tetapi juga tentang keahlian kritis untuk memilah mana informasi yang dapat dipercaya dan mana yang harus diragukan.

Dalam konteks konsumsi berita di Instagram, literasi digital menentukan seberapa baik Generasi Z mampu mengenali berita yang akurat, memahami konteksnya, serta mengevaluasi sumber yang menyebarkan informasi tersebut. Ketika seseorang memiliki literasi digital yang baik, mereka akan lebih cenderung mempertanyakan validitas suatu informasi sebelum membagikannya, memastikan bahwa berita tersebut berasal dari sumber yang tepercaya. Ini sangat penting mengingat Instagram, dengan sifatnya yang visual dan cepat, sering kali menjadi platform penyebaran berita yang ringkas, namun terkadang terdistorsi atau dipermainkan oleh judul sensasional.

Bagi mereka yang memiliki tingkat literasi digital yang rendah, Instagram bisa menjadi lahan yang subur bagi penyebaran informasi yang salah atau hoaks. Pola konsumsi berita di antara mereka yang literasi digitalnya kurang akan lebih rentan terhadap berita yang bersifat clickbait atau judul yang bombastis, tanpa meninjau lebih lanjut sumber aslinya. Akibatnya, mereka seringkali terjebak dalam siklus berbagi informasi yang belum diverifikasi, yang pada gilirannya memperkuat penyebaran informasi yang tidak akurat di antara teman sebaya mereka.

Sebaliknya, Generasi Z yang memiliki literasi digital yang tinggi akan lebih selektif dalam menerima berita yang mereka temukan di Instagram. Mereka cenderung memanfaatkan fitur-fitur seperti tag verifikasi atau sumber berita terpercaya sebelum memutuskan apakah informasi tersebut layak dipercaya. Mereka juga lebih terbiasa melakukan pengecekan silang terhadap berita dari berbagai sumber, serta menggunakan alat seperti situs pengecekan fakta untuk memastikan kebenaran informasi yang mereka temukan. Dengan begitu, mereka menjadi konsumen berita yang lebih kritis dan tidak mudah terpengaruh oleh tren atau desas-desus yang tidak berdasar.

Namun, literasi digital tidak hanya mempengaruhi bagaimana Generasi Z mengonsumsi berita, tetapi juga memengaruhi bagaimana mereka berpartisipasi dalam menyebarkan informasi. Mereka yang memiliki kemampuan literasi digital yang kuat cenderung lebih berhati-hati sebelum membagikan suatu berita di Instagram, menyadari bahwa tindakan berbagi informasi memiliki dampak sosial yang besar. Mereka juga lebih mungkin terlibat dalam diskusi yang lebih bermakna di ruang komentar, menggunakan berita yang valid sebagai dasar argumen dan berpartisipasi dalam percakapan yang konstruktif.

Lebih jauh, literasi digital memengaruhi pola konsumsi berita dengan cara membantu Generasi Z untuk mengenali bias dalam pemberitaan. Mereka yang memiliki pemahaman yang baik tentang cara kerja algoritma media sosial juga lebih sadar akan adanya "filter bubble," yaitu situasi di mana platform secara otomatis menunjukkan konten yang sesuai dengan preferensi pribadi, sehingga mempersempit pandangan dunia seseorang. Kesadaran akan hal ini membuat mereka lebih aktif mencari perspektif yang beragam, bahkan di luar zona nyaman mereka, demi mendapatkan gambaran yang lebih utuh tentang suatu isu.

Oleh karena itu, literasi digital bukan hanya soal kemampuan teknis, tetapi juga tentang membentuk kebiasaan konsumsi berita yang lebih cerdas, kritis, dan bertanggung jawab. Dalam era informasi yang bergerak cepat dan penuh dengan gangguan digital, Generasi Z dengan literasi digital yang baik menjadi lebih tanggap dan sadar akan peran mereka sebagai konsumen sekaligus penyebar informasi. Pada akhirnya, pola konsumsi berita mereka di Instagram tidak hanya dipengaruhi oleh apa yang mereka lihat di layar, tetapi juga oleh bagaimana mereka menggunakan literasi digital mereka untuk memahami, menilai, dan berinteraksi dengan dunia di sekitar mereka.

 

KESIMPULAN 

Literasi digital memainkan peran penting dalam membentuk pola konsumsi berita Generasi Z di Instagram. Dengan literasi digital yang baik, Generasi Z mampu memilah informasi yang valid, menghindari hoaks, dan menjadi konsumen berita yang lebih kritis. Mereka tidak hanya mengonsumsi berita secara pasif, tetapi juga aktif dalam memverifikasi dan menyebarkan informasi yang mereka anggap dapat dipercaya. Sebaliknya, rendahnya literasi digital membuat individu lebih rentan terhadap misinformasi dan berita palsu. Di tengah arus informasi yang begitu deras, kemampuan ini menjadi kunci bagi Generasi Z untuk tetap terhubung dengan dunia secara cerdas dan bertanggung jawab.

 

DAFTAR PUSTAKA

Adiputra, D. W. (2019). Analisis Literasi Digital Pada Konten Instagram @Infinitygenre. Wacana: Jurnal Ilmiah Ilmu Komunikasi, Vol. 18.

Aditiawarman, M. (2019). Hoax dan Hate Speech di Dunia Maya (Vol. 1). Lembaga Kajian Aset

Budaya Indonesia Tonggak Tuo.

Baran, S. (2011). Pengantar komunikasi massa: Literasi Media dan Budaya. Jakarta, Indonesia: Salemba Humanika.

Bungin, Burhan, "Metode Penelitian Kuantitatif", Kencana, Jakarta, 2005

Effendy, Onong U., Dimensi-Dimensi Komunikasi, Alumni, Bandung, 1991.

Eriyanto. (2011). Analisis Isi: Pengantar Metodologi untuk Penenlitian Ilmu Komunikasi dan

ilmu-ilmu sosial lainnya. In Analisis Isi: Pengantar Metodologi untuk Penenlitian Ilmu

Komunikasi dan ilmu-ilmu sosial lainnya.

Fauzi, A. (2018). Memahami Literasi Media Baru dalam Penyebaran Informasi Hoax dan hate

speech (Studi Fenomenologi Dosen Pengguna Facebook dan Whatsapp). Promedia, 2, 56--76.

Fadlizha Izzati Rinanda Firamadhina, d. H. (2020). Perilaku Generasi Z Terhadap Penggunaan Media Sosial Tiktok: Tiktok Sebagai Media Edukasi dan Aktivisme. Share: Social Work Jurnal, 2-3.

Ghozali, I. (2012). Analisis multivariate dengan program IBM spss. Articel, 3.

Gunawibawa, W. S. (2020). Pola Konsumsi Berita pada Kelompok Khalayak Digital di Kota Bandar Lampung. Universitas Lampung, 4-6.

Imran, H. (2013). Pola Penggunaan Media Komunikasi . Jurnal Studi Komunikasi & Media , 1-25.

Krisnawati, E. (2016). Perilaku konsumsi media oleh kalangan remaja dalam mencari informasi (Studi kasus perilaku remaja di Kota Salatiga dalam penggunaan media dalam persepektif teori ketergantungan media) . Komunikatif (Jurnal Ilmiah Komunikasi, 43-69.

Kincaid, Lawrence D., dan Wilbur Scramm, Asas-Asas Komunikasi Antar Manusia, LP3ES,

Jakarta, 1997.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun