Tujuh bulan kemudian, Pengadilan Singapura memutuskan hukuman gantung terhadap Usman dan Harun atas tindakannya membunuh 3 warga sipil dan mencederai 33 warga sipil lainnya. Tentu Pemerintah Indonesia keberatan atas hukuman mati tersebut. Tapi upaya Pemerintah Indonesia untuk meminta pengampunan, setidaknya menjadi hukuman seumur hidup, gagal. Bahkan penundaan hukuman agar keduanya dapat bertemu keluarga juga ditolak. Usman dan Harun tetap dihukum gantung sampai mati di pagi 17 Oktober 1968.
Saya berusaha menggunakan perspektif masa lampau untuk melihat peristiwa ini. Mencoba mengerti situasi politik saat itu, bahwa Presiden Soekarno tak menginginkan Malaysia, negara tetangganya, menjadi boneka imperialis Inggris. Bahwa Malaysia mengingkari perjanjian Manila. Sebab bila perspektif saat ini yang dipakai –sekelompok orang masuk negara lain lalu membuat keonaran yang mengakibatkan kematian— tentu tindakan mereka tak lebih dari terorisme. Pengacau. Tapi saya tak cukup pintar untuk paham. Barangkali, akal sehat orang-orang masa lampau berbeda dengan akal sehat saya sekarang. Bahwa warga sipil harus jadi korban untuk politik.
Adalah hak Pemerintah Indonesia untuk mengelu-elukan Usman dan Harun sebagai pahlawan. Memakai namanya menjadi apa saja, termasuk kapal perang yang akan menjaga kedaulatan kepulauan. Ini urusan dalam negeri yang tak bisa dicampuri negara lain, apalagi negara kecil macam Singapura.
Tapi adalah hak Singapura untuk keberatan. Hak mereka pula untuk menolak kapal ini, atau kapal apapun, masuk perairannya yang cuma secuil.
Saya? Saya tak berpihak pada Singapura. Tapi tak juga kagumi tindakan Usman dan Harun. Saya berpihak pada Elizabeth Choo, Juliet Goh,Mohammed Yasin Kesit, dan korban lainnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H