Mohon tunggu...
Kresna Astraatmadja
Kresna Astraatmadja Mohon Tunggu... -

Still working on it...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Balada Usman dan Harun

15 Februari 2014   03:39 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:49 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Heran. Sangat sedikit komentar yang dapat mengerti dan memahami keberatan Singapura atas penamaan salah satu kapal perang Angkatan Laut Indonesia dengan nama KRI Usman Harun. Maksud saya bukan komentar pemerintah. Tapi komentar rata-rata orang Indonesia yang saya kira dapat mewakili akal sehat rata-rata orang Indonesia. Urusan penamaan kapal ini memang urusan dalam negeri Indonesia. Tapi wajarkah Singapura protes?

Usman dan Harun adalah prajurit KKO (sekarang Marinir) yang melakukan pengeboman MacDonald House di Singapura pada 10 Maret 1965. Mereka melakukan aksi ini bersama seorang lagi, Gani bin Aroep. MacDonald House adalah sebuah gedung perkantoran di daerah ramai Jalan Orchard. Sebagian gedung ini digunakan oleh Hongkong & Shanghai Bank. Selain itu MacDonald House juga menjadi kantor Komisi Tinggi Australia dan Konsulat Jepang.

Kebanyakan komentar dari Indonesia bahkan mencaci, mengolok-olok protes negara kecil yang faktanya lebih makmur dari negara besar Indonesia ini. Beberapa media bahkan menulis aksi Usman dan Harun sebagai aksi heroik. Heroik? Menaruh bom di gedung publik yang dapat dimasuki siapa saja adalah tindakan heroik? Dua orang sipil mati seketika dan seorang supir mati dua hari kemudian, lalu 33 warga sipil lainnya terluka. Tindakan heroik? Saya kira tak seheroik Teuku Umar dan istrinya Tjoet Nja’ Dhien yang berhadap-hadapan dengan bedil pasukan Belanda.

Bayangkan bila Anda adalah anak dari pegawai bank —sekali lagi pegawai bank, bukan tentara— yang tewas dalam peristiwa itu. Peristiwa 50 tahun lalu itu tentu tak mudah dilupakan 6 orang anak yang kehilangan ibunya, seorang sekretaris di sebuah bank yang tak tahu menahu soal Konfrontasi. Dapatkah mereka memaafkan Usman dan Harun yang telah membunuh ibu mereka? Saya sangsi.

Meski dapat memaafkan setelah sekian lama, tentu juga muskil untuk melupakan peristiwa ini bagi seorang pendeta yang menjadi korban. Apalagi ketika ia berkaca, sebelah matanya dapat melihat cacat tubuhnya. Bekas-bekas luka yang penuhi sekujur tubuhnya serta sebelah matanya yang buta.

Apakah mereka harus mati dan cacat karena mereka adalah boneka imperialis Barat?

Saya jadi teringat protes sekumpulan anak tentara yang orang tuanya pernah ditugaskan di Timor Leste. Kala masih bernama Timor Timur sebagai bagian dari wilayah Indonesia, banyak tentara Indonesia baku tembak melawan gerombolan separatis Fretilin. Sebagian di antaranya gugur. Di antara yang selamat, banyak yang cacat. Buta, buntung kaki atau tangan. Anak-anak tentara itu memprotes keputusan Presiden Habibie memberikan hak referendum bagi rakyat Timor Timur karena dianggap tak menghargai jasa tentara Indonesia yang bertempur di sana. Tentara yang kehilangan tangan, kaki, dan nyawa di Timor Timur.

Saya memaklumi protes mereka. Tanah yang diperjuangkan dengan nyawa itu sekarang adalah negeri orang. Meski begitu, harus dimengerti pula bahwa orang tua mereka adalah tentara. Gugur atau cacat di medan tempur adalah risiko menjadi tentara. Sebab itu, mereka diberi bintang jasa, dijadikan pahlawan bila mati. Beberapa dikuburkan di Taman Makam Pahlawan. Dan salah satu Taman Makam Pahlawan itu berada di negeri orang sekarang. Terawat, dirawat oleh warga yang saudara-saudaranya dulu ditembaki oleh si mati yang dikubur di situ.

Sementara itu, rakyat Timor Leste juga memiliki hak dan keinginan untuk merdeka. Seperti juga rakyat Indonesia yang ingin merdeka berpuluh tahun sebelumnya. Dan kemudian kita menyaksikan seorang pemberontak, pemimpin GPK (Gerombolan Pengacau Keamanan) dan mantan narapidana menjadi presden pertama negeri itu.

Sekarang soal Janatin alias Usman bin Haji Mohammad Ali dan Tohir alias Harun bin Said. Mereka adalah prajurit KKO yang ditugaskan atasannya untuk melakukan sabotase menciptakan teror dan kekacauan di pusat kota Singapura. Mereka menyusup wilayah Singapura melalui Pulau Sambu di perairan Batam, 13 kilometer dari Singapura. Konon, MacDonald House menjadi sasaran karena dianggap sebagai obyek vital. Merusak gedung ini dapat mengacaukan keuangan Singapura. Usman, Harun dan Gani masuk, menaruh bom seberat 12.5 kg di dekat lift gedung itu. Dan bom meledak pukul 15.07 sore hari. Dua perempuan pegawai bank tewas seketika. Seorang supir koma, mati dua hari kemudian. 33 orang luka berat dan ringan.

Setelah aksinya Usman dan Harun tertangkap patroli setelah perahu curian yang dipakai kabur mogok di tengah laut. Sementara tak ada yang tahu nasib Gani bin Aroep, tidak juga pihak Angkatan Laut RI. Ia menghilang entah ke mana.

Tujuh bulan kemudian, Pengadilan Singapura memutuskan hukuman gantung terhadap Usman dan Harun atas tindakannya membunuh 3 warga sipil dan mencederai 33 warga sipil lainnya. Tentu Pemerintah Indonesia keberatan atas hukuman mati tersebut. Tapi upaya Pemerintah Indonesia untuk meminta pengampunan, setidaknya menjadi hukuman seumur hidup, gagal. Bahkan penundaan hukuman agar keduanya dapat bertemu keluarga juga ditolak. Usman dan Harun tetap dihukum gantung sampai mati di pagi 17 Oktober 1968.

Saya berusaha menggunakan perspektif masa lampau untuk melihat peristiwa ini. Mencoba mengerti situasi politik saat itu, bahwa Presiden Soekarno tak menginginkan Malaysia, negara tetangganya, menjadi boneka imperialis Inggris. Bahwa Malaysia mengingkari perjanjian Manila. Sebab bila perspektif saat ini yang dipakai –sekelompok orang masuk negara lain lalu membuat keonaran yang mengakibatkan kematian— tentu tindakan mereka tak lebih dari terorisme. Pengacau. Tapi saya tak cukup pintar untuk paham. Barangkali, akal sehat orang-orang masa lampau berbeda dengan akal sehat saya sekarang. Bahwa warga sipil harus jadi korban untuk politik.

Adalah hak Pemerintah Indonesia untuk mengelu-elukan Usman dan Harun sebagai pahlawan. Memakai namanya menjadi apa saja, termasuk kapal perang yang akan menjaga kedaulatan kepulauan. Ini urusan dalam negeri yang tak bisa dicampuri negara lain, apalagi negara kecil macam Singapura.

Tapi adalah hak Singapura untuk keberatan. Hak mereka pula untuk menolak kapal ini, atau kapal apapun, masuk perairannya yang cuma secuil.

Saya? Saya tak berpihak pada Singapura. Tapi tak juga kagumi tindakan Usman dan Harun. Saya berpihak pada Elizabeth Choo, Juliet Goh,Mohammed Yasin Kesit, dan korban lainnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun