Mohon tunggu...
Emmanuel Astokodatu
Emmanuel Astokodatu Mohon Tunggu... Administrasi - Jopless

Syukuri Nostalgia Indah, Kelola Sisa Semangat, Belajar untuk Berbagi Berkat Sampai Akhir Hayat,

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mencintai Perbedaan Basis Memelihara Kerukunan

23 September 2022   17:47 Diperbarui: 23 September 2022   17:55 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suara.com - Depok.suara.com - Viral sebuah masjid yang berdiri di daerah Tapanuli Utara, Sumatera Utara. Karena, masjid tersebut berdiri di wilayah yang mayoritas dihuni oleh nonmuslim. Informasi tersebut di unggah dalam akun Twitter @ruhutsitompul beberapa waktu lalu. 

Masjid tersebut berdiri di tengah masyarakat Kristen dan tidak pernah ditanya izin mendirikan bangunannya. Diketahui, mesjid yang dimaksud adalah masjid Taqwa Siborong-Borong. Bangunan tersebut berdiri di Jalan SM Raja, Kecamatan Siborong-Borong, Tapanuli Utara, Sumatera Utara. 

Saat dikonfirmasi terkait mayoritas penduduk nonmuslim, Bupati Tapanuli Utara, Nikson Nababan membenarkan hal tersebut. Ia menyebutkan, bahwa masjid itu berdiri di tengah 95 persen penduduk nonmuslim. Judul berita : Masjid Berdiri di Tengah 95% Penduduk Nonmuslim, Netizen : yang Suka Larang Harus Liat Ini. Suara Depok - 4 jam yang lalu, Senin,September,19,2022

Belum lama dari kini saya membaca artikel di Kompasiana kelupaan mencatat linknya. Tulisan dari saudara penulis Muslim dan namanya tetulis dengan huruf Arab. Tulisan itu memang bagiku cukup mengesan karena berbicara panjang lebar, actual dan historis tentang desa saya. Tak ada yang salah sedikitpun. Inti tulisan itu sangat saya suka tentang kerukunan warga di wilayah itu yang berimbas ke wilayah lebih luas dari sekedar kecamatan. Sekurangnya disebut disitu dua kecamatan yang lain.  

Hal yang berbeda  dari dugaan saya juga ada : salah tulis ejaan nama orang belanda(1), diambil nama kapenewon (kecamatan) bukan desa yang kini cukup terkenal dan pusat kegiatan yang diceritakan disitu : lokasi rumah dan pabrik gula tempat subyek-subyek diceritakan(2). Semua itu termasuk penggunaan istilah yang khas Islami sesuai agama penulis(3), istilah wali dan serani untuk tokoh orang Belanda pengembang kerukunan itu. Itu saja.

Tulisan yang mengesan itu membuat saya ingin berbagi pengalaman di desaku tentang kerukunan. Dan saya menemukan seraya ingin terlebih dahulu menimba makna-makna dari sebuah buku yang berjudul "Mencintai Perbedaan". (*) Makna pembelajaran dari buku itupun tidak akan saya tuang disini semua. Tetapi saya berharap judul tulisan saya akan menjadi lebih mantap, sebab saya juga sudah belajar dari kejadian nyata di desa saya yang bertahun tahun saya alami sendiri.

"Mancintai Perbedaan" sebuah buku yang istimewa dari Penerbit Bonet Pinggupir, Kupang NTT.Cetakan 1. 2013. Renungan Lintas Iman, Pluralisme dan Kerukunan. Oleh 28 penulis pendeta, pastur dan tokoh Muslim, diedit oleh P.Dr.Bartolomeus Bolung OCD dan Pdt.Dr.Fredrik Y.A.Doeka.(*)

Keistimewaan buku ini diantaranya adalah: (1)buah sharing refleksi bersama di Kupang (tg 9 Juni 2012) sehingga buah pikiran itu hangat dari kesadaran yang saling dibagikan antar penulis. (2)acara sengaja dibuat sambil memperingati peristiwa duka konflik antar warga beragama di NTT 1998. Dilatarbelakangi juga (3)pertemuan sejumlah otoritas Islam dan Ulama di Roma pada tg.12 Oktober 2006 dan setahun berikutnya sejumlah 138 tokoh "berdialog" dengan Sri Paus Benediktus XVI saat itu.

Pertemuan di Roma para pemegang otoritas Islam dan ulama dunia itu,menegaskan: bahwa saling menghormati adalah esensial dalam tradisi Abrahamik, dan pada tanggal 13 Oktober 2007, diulang lagi dibawah judul A Common Word : "Perintah Musa untuk mengasihi Allah dan sesama, dan diulang dalam Injil Kristani, itu dianggap sebagai kalimat bersama dan perjanjian antara Yahudi, Kristen dan Muslim , yang disebut dalam Al Qur'an 3:64 :"Katakanlah: Hai Ahli Kitab marilah berpegang pada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu bahwa tidak ada yang kita sembah kecuali Allah dan tidak kita pesekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak pula sebagian kita menjadi sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah",(hlmn VIII opcit).

Mencintai dengan jujur dan tulus kepada Allah dan sesama, disana diawali oleh kesadaran akan adanya Perbedaan.  Olah rasa olah batin dalam pendalaman diri dan bersama kita akan menemukan makna dan nilai yang sering tidak terduga harganya. Berawal Melihat perbedaan agamapun selayaknya kita bisa melihat makna-makna yang tidak ternilai untuk kehidupan bersama.

Tetapi lebih dahulu dari itu, buku Mencintai Perbedaan memberi pesan tersirat kuat bagi saya : Duc in Altum, Tebarkan lebih jauh jalamu. Dalami lebih dalam agamamu. Temukan ayat-ayat kitab secara lebih mendalam dan benar-benar bukan hanya untuk pembenaran dari maumu..

Marilah sekarang saya mencoba menghadirkan apa yang terjadi di desa saya seperti yang diberitakan dan dipaparkan diatas tentang kerukunan oleh seorang rekan Kompasianer.

Kalau anda dari Yogyakarta, Bantul terus kearah pantai, anda akan pada KM 15,lewat dusun Lipuro, dan bila lanjut akan sampai dusun Bambang. Diantara dua dusun itu disitulah letak sekarang yang disebut Kapanewon Bambanglipuro. Tetapi bila di dusun Lipuro tadi anda belok kekiri, 1 KM anda akan ketemu dusun Kaligondang, dan desa Ganjuran, dimana dahulu berdiri Pabrik Gula Gondang Lipuro. Area persawahan luas yang subur, sekarang disebut wilayah itu Kelurahan Sumbermulyo, termasuk dalam wilayah Kecamatan Bambanglipuro..

Pabrik Gula Gondanglipuro didirikan oleh Stef.Barends pada th 1860.yang meninggal pada tahun 1887, dilanjutkan oleh Frederik Barends. Selanjutnya Ibu Elise F.W.Kartuis janda/isteri Bapak Barends Sr.menikah lagi dengan Godfried Schumtzer. Dan pada tahun 1912. ketika Frederik Barends meninggal Keluarga Schmutzer membeli mengambil alih PG.Gondanglipuro untuk diserahkan kepada dua putranya lelaki: Joseph dan Julius Schmutzer. Dua orang ini yang disebut Wali Serani oleh rekan Kompasianer diatas.

Untuk sampai pada hal kerukunan yang menjadi masalah disini saya akan menyebut dua latar belakang yang menurut saya menjadi dasar awal kerukunan di Bambangpuro ini. Pertama : Empat pilar karya Joseph dan Julius, pimpinan PG Gondanglipuro, dan  kedua, Jiwa Jawa, watak dan tradisi saling menghormati dengan tatakrama (unggah-ungguh) penduduk setempat.

Empat pilar itu bisa disebut: Ekonomi ethis, Pendidikan, Kesehatan, dan Budaya Jawa. Ada dua motif yang mempengaruhi: (1) Ajaran Sosial Gereja (1850) yang sedang digalakkan diantaranya tentang hubungan buruh dan majikan (2) UU pemerintah Hindia Belanda hal Politik ethik.(1912)

PG.Gondanglipuro memberi pembagian keuntungan kepada karyawan pabrik. Dan baru pada tahun 1919  menyelenggarakan persekolahan. Dengan adagium manusia tidak cukup disejahterakan dengan ekonominya tanpa disusul dengan pendidikan.  Dan pada tahun 1926 dibidang kesehatan. Sementara dibidang budaya diperlihatkan dengan pada tahun 1924 dan tahun 1927=30  secara monumental didirikan gereja dan candhi yang menjadi tempat ibadat kristani penuh dengan rasa budaya Jawa.

Apakah dengan empat pilar itu saya mau mengkonfimasikan adanya kerukunan? Tidak! Betapapun besar ada angin besar yang mendorongnya, tetapi orangnya subyek rukun pasti lebih penting. Apalagi kalau sudah bicara kejujuran dan ketulusan.

Jiwa Jawa, watak dan tradisi yang mana, yang dapat menerima pengaruh Empat pilar gaya karya Joseph dan Julius itu.?  Jangan heran saya sebut Penduduk setempat bijak dan arif melihat perbedaan. 

Semakin hari semakin terrasa dan nampak. Perbedaan taraf hidup para pekerja dan keluarganya, perbedaan gaya hidup guru dan keluarganya, perbedaan warga yang sudah semakin maju dalam berkerja di sawah dan kebun tebu. Dan agaknya tidak tampak tetapi terrasa, perbedaan agama. 

Minimal ada 2 keluarga guru 4 keluarga pekerja pabrik desa agama, 6 keluarga guru asli setempat menjadi tonggak-tonggak perbedaan ini sejak 1925 tersebar di sekitar 2-3 km dari Ganjuran.

Gejala kesadaran terhadap perbedaan itu bukan hasil survey ilmiah tetapi pengalaman pribadi saya, sebagai seorang anak dan penulis biografi Ayah saya yang adalah guru pertama di tahun 1919 di Ganjuran. Dalam keluarganya saya dilahirkan dibesarkan diberi pengalaman. Hal mana diteguhkan yaitu ketika menulis biografi itu saya (**) mewawancarai puluhan orang mereka yang mengenal ayah saya, teman, mantan siswa dsb. Mereka itu semua pelaku dan pengamat sosial tradisional dan pedesaan.

Dari penulisan buku itu saya juga diteguhkan tentang peran tradisi keluarga, pendidikan dalam keluarga tentang sopan santun dan tatakrama menghormati pihak yang lebih tua menjadi faktor terjadinya sikap damai, dalam keluarga dan antar keluarga dipedesaan..

Kesadaran akan perbedaan itu bisa disikapi secara arif dan bijak dan tentu tidak selalu mudah. Ada rasa iri dan mencela akan adanya perubahan. Di tahun 1960 masih sering ada gejolak dan sentimen yang dibumbui aroma politis. Di tahun 2005 saat Gempa bumi di Ganjuran menjadi pusat pelayanan bantuan kurban gempa, berbau persaingan antar otorita pelayanan kurban bencana alam. Tetapi orang setempat pada umumnya benar dapat menahan diri pada posisi arif dan bijaksana. Semuanya justru sudah terbukti membuahkan percepatan berprestasi kebaikan antar semua pihak dalam damai.

Mencintai Perbedaan Basis Memelihara Kerukunan, kata judul. Mencintai itu tulus memberi dan meminta, untuk menjadi satu. Mencintai perbedaan itu menjadi tidak asing bahkan bergumul dengan pihak yang berbeda dalam suka dan duka. - Basis dimaksudkan dasar, awal dan syarat yang harus dipenuhi untuk perbuatan berikutnya.

H.Abdulkadir Makarim salah satu penulis di buku "Mencintai Perbedaan" (*) justru memberi informasi yang sangat berharga. Kata rukun berasal dari kata bahasa Arab "rukmin" yang mengandung makna : "sesuatu yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu perbuatan"  Sementara "Kerukunan antarumat beragama" di gunakan pertama kali oleh K.H.Ahmad Dahlan  pada Musyawarah Antar Umat Beragama 30 Nopember,th 1967. Dan kata itu kemudian menjadi istilah pada GBHN dan lazim hingga sekarang. Istilah itu Kerukunan Antar Umat Beragama menjadi target awal untuk pelbagai kegiatan prestasi yang sungguh mulia.

Pembaca yang Budiman, saya tutup dengan pertanyaan reflektip saja : Melihat pelbagai kiprah terpapar diatas, dalam pengalaman anda ketika mengalami perbedaan, satu dua perbedaan, lalu terlahir perbuatan atau prestasi apa yang pernah anda dapatkan ? Misalkan dalam keluarga kita.?

Demikian saja yang bisa saja sajikan.

Tolong terima salam hormat saya.

Ganjuran, September, 23, 2022, Emmanuiel Astokodatu.

Bacaan & Referensi

(*) "Mencintai Perbedaan", Renungan Liintas Iman, disunting oleh  P.Dr.Bartolomeus Bolong OCD dan Pdt.Dr. Frederik J.A.Doeka.  Penerbit Bonet Pingkupir, Kupang, 2013

(**) Em.Astokodatu, "Guru Misi Ganjuran", Penerbit Wanajati C.R. Yogyakarta, 2014.

(***)  "Terpanggil Mengemban Berkat", Buku peringatan 90 th Gereja Ganjuran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun