Mohon tunggu...
Emmanuel Astokodatu
Emmanuel Astokodatu Mohon Tunggu... Administrasi - Jopless

Syukuri Nostalgia Indah, Kelola Sisa Semangat, Belajar untuk Berbagi Berkat Sampai Akhir Hayat,

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Take And Give: Memberi dan Menerima

17 Agustus 2022   11:50 Diperbarui: 17 Agustus 2022   11:55 386
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Take and Give = Menerima dan Memberi.  Sebuah semboyan atau adagium yang sangat sering kita dengar. Ada nada sumbang memaknai sinis sebagai semboyan di dunia perdagangan semacam "ada barang ada harga", "ada duit bawa ini barang".Take and Give dalam hubungan bisnis adalah adagium dalam transaksi jual beli yang saling mengntungkan. Harmoninya hubungan yg saling diuntungkan.

Hal itu agak berbeda bila dibandingkan dengan nasehat bagi persahabatan atau pasangan dalam menjalin hubungan pranikah sampai berkeluarga nantinya. Demikian Henri JM Nouwen membuat judul salah satu bukunya:   "Memberi dan Menerima".(*)

Google membisikkan ini : "Take and give di dalam hubungan (antar pribadi dalam pertemanan dan atau pernikahan) artinya adalah kesediaan untuk menerima atau merelakan pendapat, materi, perhatian, ataupun kasih sayang, yang merupakan dinamika penting di dalam membangun suatu hubungan yang sehat. Take and give akan membuat hubungan lebih seimbang dan sehat" 

Pada suatu waktu saya mendapat kiriman gambar/foto sepasang kijang. Entah pejantan dan betina, atau mungkin induk dan anaknya. Indah ditepian hutan dilatar belakangi semak dan pohon besar. Spontan foto saya simpan di Hp dan lain hari saya posting di Facebook dengan komentar: "Bagaimana pilihan upaya anda: Siap menjadi pemburu kijang si pelari kilat, atau Sabar seperti petani menanti panen, atau seperti ibu menanti kelahiran buah kasihnya ?"

Saya menangkap lalu merespon sajian (foto) dengan sanubari saya dan menindak lanjuti mengirim foto dan memberi catatan bebas. Catatan itu sebuah pengembangan bicara-hati yang melebar dari kijang kepetani dan kepada ibu hamil. Diantara saya dan foto terjalin sebuah komunikasi dari adanya relasi. Selanjutnya saya mengembangkan lagi relasi dan komunikasi dalam Facebook.

Apa yang terjadi disitu adalah Relasi, komunikasi, pengembangan catatan pada tindak- lanjut. Pengembangan dapat dengan penambahan jumlah relasi dan perilaku, atau sekedar kwalitas data, misalnya menambah kejelasan foto dst. Dalam adegan perilaku saya diatas saya memasukkan perilaku yaitu tantangan dalam "memilih". Pilihan ! 

Sangat Pentinglah memahami dan meneliti semua unsur/factor, sudut pandang, sampai pada paradoksal nya. Penting untuk sikap kritis dan membuat respon yang pas. Cara berfikir kritis sebenarnya selalu diuji dalam hidup sehari hari. Sebenarnya tidak tajam perbedaan penggunaan kata-kata bila disadari perbedaan sudut pandang atau tempat penggunaannya.

Sekarang ini Kompasiana sedang cukup marak pembahasan Perjanjian Pranikah.  Kompasianer Evridus menulis "Perjanjian Pranikah, Keberadaannya diwilayah samar-samar".(**)  Rekan Riana memulai dengan bertanya Pentingkah? (***) Ibu Henny Triana meskikun dengan rasa iba bila harus bicara hal perceraian menjawab mantab Pentingnya Perjanjian Pranikah untuk Pernikahan beda bangsa bagi anak.  Ketika saya baca sudah dinilai 39 orang dan 23 orang komentator (****) Berikut Kompasianer Khoirul Taqwim, pengamat kemasyarakatan, berpiusi yang bagi saya bernada tidak suka dan membuang energi saja bagi orang me "yakini" pernikahannya. Masih terus bergulir artikel dengan topik ini. Hampir sesibuk pengamat kasus Sambo dan opini-opini ramalannya.

Dari baca tulisan Yth Rekan-rekan kompasianer itu rupanya memang pernikahan di Indonesia ada banyak variasi sesuai adat-istiadat, agama, dan peluang antar pribumi dan bangsa lain. Sementara selain ada motivasi tertentu, seperti melindungi yang lemah, anak-anak, pewarisan harta, dan kekayaan yang diperoleh bersama, juga disebut sudah diatur oleh undang-undang. Alhasil sekurangnya dapat dikatakan Perjanjian Pranikah itu tidak masalah ada atau tidak pada suatu pernikahan.

Mengutip puisi Saudaraku Khoirul Taqwim : "Perjanjian pranikah. Penting bagi mereka yang ingin memastikan jalan pernikahan sesuai rencana dalam hati dan nalarnya. Namun bagi mereka yang ikhlas dan yakin tentang sebuah rajutan pernikahan ........" (https://www.kompasiana.com/khoirultaqwim/62f9feda08a8b511685b0852/perjanjian-pranikah?).......(perjanjian pra nikah tidak dibutuhkan)...

Nikah itu sudah merupakan "perjanjian resmi", pilihan, niat, tata kehidupan Cinta, berdasarkan iman diatur oleh agama dan moral. Dalam Agama Katholik misalnya tidak dibenarkan adanya perceraian. Apa yang sudah dipersatukan oleh Allah, jangan ada yang menceraikannya. Di wilayah gereja lokal (paroki saya) ada berkala setahun dua kali sekolah pranikah. Tidak ada bahkan jauh dari pemikiran perihal perceraian pernikahan. Yang dijelaskan tentu dasar keimanannya, moral, hukum negara dan hukum gereja,  komunikasi, seksualitas, pendidikan dan ekonomi rumah tangga.

Oleh karena itu ada maknanya bahwa Henri JM Nouwen bicara Take and Give (T&G) dengan judul  "Memberi dan Menerima"(*). Sebab sikap itu dapat menjadi jawaban penting tidaknya Perjanjian Pranikah. Dengan mengubah T&G dengan  Gave and Take. Menekankan terlebih dahulu Memberi, setelahnya baru Menerima. Yaitu karena Henri memang bukan mau bicara perihal relasi transaksional dalam perdagangan, tetapi dalam keluarga.

Dalam buka kecilnya yang berjudul Memberi dan Menerima terdiri dari 3 bab. Yaitu Belarasa, Keluarga, Relasi.   

Dengan "Belarasa", Henri mengarahkan pembaca untuk berjiwa yang bersiap untuk berkorban. Terbuka terhadap sesama. Menghilangkan sikap individualistik. 'Memberi' itu menerima atau mendapat nilai positip bagi diri sendiri. Orang Jawa bilang "tepo-sliro". Disini kita dibuat berhadapan dengan Diri Sendiri untuk siap menerima pihak lain untuk memberikan diri. Dan dengan Memberikan diri kita Menerima.

Dalam bab "Keluarga", ditegaskan bahwa Keluarga adalah relasi dalam bentuk Formal bukan tanpa bentuk, keluarga sebagai medan komunikasi alami, kodrati dimana paling tepat dibutuhkan T&G , dan adagium ini jusrtru menjadi panggilan kehidupan. T&G jadi bisa dikuatkan oleh sakitnya cinta dan memberikan diri sepenuhnya bagi yang lain.

Membaca bab ketiga : "Relasi"  dari awalnya saya diingatkan pada temuan dari Google : "Take and give....   adalah kesediaan untuk menerimakan atau merelakan melepas pendapat (tidak terpakai), materi, perhatian, ataupun kasih sayang, ...itu...adalah dinamika penting di dalam membangun suatu hubungan yang sehat. ...............Take and give akan membuat hubungan lebih seimbang dan sehat"   Akan tetapi Henri JM Nouwen memberi kelanjutan bahwa untuk T&G itu bisa sempurna bila dituntaskan dalam persatuan barsama Hyang Illahi, sampai tuntasnya panggilan menuju keabadian.

Merenungkan semua ini dalam kehidupan sepertinya harus menulis catatan-catatan ini :

(satu) Take and Give bila dipahami bener merupakan adagium yang komprehensip banyak menjawab dan memberi solusi banyak hal yang stategis. a.l. Kwalitas T&G sangat menentukan kwalitas pernikahan.

(dua) Untuk optimalisasi kehidupan kita harus tidak lepas dari komunikasi relasi kita yang sehat keatas, kepada Tuhan, kesamping, kepada sesama, keluarga dan masyarakat luas, dan kebawah katakan semesta alam.

(tiga) Penggunaan pola pikir yang bisa komprensip diperlukan langkah keheningan  agar mindfulness, Eling Sangkan Paran, dan kesabaran: Bersakit sakit dahulu menjalin cinta sebelum mengemban bayi, berkeringat dahulu sebelum memetik panen, seperti menganyam tikar merajut tali sebelum menggelar permadani, membaca dahulu sebelum menulis untuk berbagi.

Dan jangan lupa :  Para Proklamator Kemedekaan.... Berjuang dulu baru "upacara Bendera......dst"

Pembaca yang budiman, Menutup permenungan ini , tolong maafkan bila ada salah kata dan pemikiran, Semoga dari loncatan-loncatan pemikiran saya ini Pembaca justru menemukan aspirasi bermanfaat.

Tolong terimalah salam hormat saya. Dan salam kemedekaan :  Merdeka, Merdeka !!

Ganjuran, Agustus 17, 2022. Emmanuel Astokodatu.

Buku Bacaan dan Referensi :

(*)Hanri JM Nouwen: Memberi dan Menerima, Penerbit Kanisius Yogyakarta, 2003.

(**)https://www.kompasiana.com/evridus1636/62f8fc7c08a8b527e87b6b03/perjanjian-pranikah-keberadaannya-di-wilayah-samar-samar.

(***)https://www.kompasiana.com/rianayus2755/62f8caba08a8b5032c4b5e34/perjanjian-pranikah-pentingkah

(****)https://www.kompasiana.com/hennietriana/62fa67a53555e422d15f0692/perjanjian-pranikah-beda-bangsa-penting-untuk-anak. 

(*****)  https://www.kompasiana.com/khoirultaqwim/62f9feda08a8b511685b0852/ perjanjian-pranikah  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun