Mohon tunggu...
Emmanuel Astokodatu
Emmanuel Astokodatu Mohon Tunggu... Administrasi - Jopless

Syukuri Nostalgia Indah, Kelola Sisa Semangat, Belajar untuk Berbagi Berkat Sampai Akhir Hayat,

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Nilai Itu Pilihan, Hak dalam Kebersamaan

2 Februari 2022   19:58 Diperbarui: 2 Februari 2022   20:01 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

(Menghargai kebijaksanaan sesama tanpa kehilangan kepribadian sendiri)

Sekedar membuat catatan awal sekali waktu saya membuka Google menelusuri kata terkenal "media aurea". Tengah keemasan. Ada kepanjangannya Via media aurea. Khusus saran pilihan: Jalan Tengah yang keemasan.

Via Aurea Media diangkat dari temuan rumusan matematika dijadikan petunjuk hidup yang moderat menjauhkan diri dari segala pemikiran dan tindakan ekstremitas atau keterlaluan..Aristoteles filosof Yunani mengajarkan untuk siswanya, dan budaya dan peradaban Romawi mengembangkannya.

Tetapi apa yang saya temukan diantaranya ,yang membuat saya terheran heran:.. Saya menemukan tulisan saya sendiri di Kompasiana ini tertanggal 26 Juli 2012, yang berjudul: Kearifan yang tidak diarifi : Via Aurea Media. Disana saya menceritakan keluarga besar Ayah saya yang dari Jawa (Yogya-Solo) kemudian putrinya diambil isteri pemuda Batak, cucu-cucunya berpasangan dengan warga Batak, Menado, NTB. Keluarga besar kami menjadi keluarga Nusantara dimana ada suku dan peradaban Jawa, Batak, Bali, Menado, Sunda, NTB, dalam pergaulan saat reuni maupun dalam WhatsUpp-Grup. Saya kisahkan pula di tulisan itu justru dengan canda dan gurau tak ada rasa marah dan benci ketika sering tidak dipahaminya kearifan Jawa tentang Jalan Tengah yang keemasan. "Ngono ya ngono, ning aja ngongo"(Silahkan demikian tapi jangan terlalu), "Gliyak-gliyak tumindak, sareh pekoleh,"(Perlahan berjalan, tapi berbuatlah, tenang-pasti berhasil) "Alon-alon waton kelakon"(Perlahan-lahan, asal terlaksana), "Naromo ing pandum"(Menerima saja sesuai jatah) "Wani ngalah luhur wekasane(berani menunda untuk balakangnya yg lebih baik)" dan lain yang berkesan kurang perjuangan, kurang semangat kurang usaha.

Selanjutnya masih dalam ingatan dalam bentuk-bentuk tertentu ada ketegangan tertentu dinegeri tercinta ini. Dimulai dari hal penggunaan bahasa daerah(Sunda), ungkapan penghinaan daerah(Kalimantan), hingga apa yang mengkait dengan rencana IKN. (juga di Kalimantan) Disini saya mencatat penggunaan paradox nama Nusantara yang luas justru akan disempitkan untuk nama IKN yang kelak hanya diingat besarnya metropolitan IKN. Ada banyak nilai bisa dikaburkan. (terakhir kata pakar ilmuwan dari UGM) .

Ketika kita menghadiri suatu pertemuan peribadatan atau pengarahan suatu organisasi kita disodori suatu petunjuk atau pedoman perilaku. Ada pengarahan yang mendekati juklak dan bahkan perintah, tetapi kadang suatu saran dan anjuran saja. Ketika yang diberikan suatu saran maka kemungkinan perilaku akan sangat variatip. Itu seperti halnya orang membuka buku kumpulan kearifan "Kata-kata Mutiara". Jangan mencari atau bertanya buku mana, banyak ucapan Selamat Pagi kini terkemas dalam foto atau youtub pendek dihiasi ungkapan arif petuah sehari hari.

Petuah (pesan) dan atau kearifan (capaian yang dipesankan) adalah nilai. Sesuatu yang layak dikehendaki, untuk dicapai, itulah nilai. Kadang dikemas dalam "kata-kata indah dan mulia bak mutiara".  Ketika ada kemungknan beberapa nilai bisa dicapai maka harus ada yang dipilih. Pilih memilih harus atas dasar kebebasan. Bebas memilih ada batasannya, yaitu hak memilih. Dan hak itu penting sekali dan dibicarakan, ini salah satu batasan. Yaitu karena dan dalam kebersamaan dengan orang lain.

Menghindari kerumunan orang masih tidak mudah, masyarakat membutuhkan seperti "kepolisian". Masih lebih tidak mudah menemukan sikap pada kerumunan petuah dan kearifan. Lalu Instansi kepolisian macam apa lagi?

Balajar dari banyaknya kata mutiara sekarang ini beterbangan di dunia maya dan buku-buku para penasehat kehidupan, perlu kiranya kiat untuk mensikapinya dan bagaimana memahami hingga melaksanakan juga dengan arif bijaksana.

Pepatah bahasa Jawa mengatakan "Golek banyu apikulan warih, Golek geni adedamar". Memberi pesan "Mencari air berbekal air, cari api berbekal pelita". Kita harus bijak belajar kebijaksanaan orang lain. Sedikitnya bisa menghargai penulis atau penciptanya supaya membantu memahami pendapatnya tanpa kehilangan kepribadian kita..

Pertama tama adalah pemahaman terhadap frase mutiara yang ditawarkan. Bicara keharusan, atas dasar, hak, dilanjutkan pula nanti tanggung jawab; semua itu adalah Prinsip. Prinsip prinsip dasar yang tepat adalah pemikiran dan realita yang berlaku, yang mendasar, untuk banyak hal dan biasanya berlaku jangka panjang. Seperti "kebersamaan kita", sifat watak budaya dan peradaban kita, Hak Azasi Manusia,  "hukum Negara, hukum internasional" hukum alam.

Jadi ada nilai yang tidak prinsip, bukan prinsip. Diantaranya yaitu Nilai kebaikan dalam bertindak dan langsung dirasakan buahnya. Ada pula nilai yang bukan prinsip tetapi bagi seseorang misalnya pemeluk keyakinan tertentu mengambil frase itu sebagai prinsip dalam hidupnya. Seperti rumusan pesan Agama. Contoh, "Cintailah Tuhan Allahmu dengan segenap akal budimu, segenap sanubarimu, dan sesamamu seperti pada dirumu sendiri". Pesan ini dalam rumusan yang berbeda semua agama mengajarkannya. Nilai yang universal ini bisa saja bagi seseorang itu "prinsip", tidak akan ditawar-tawar.

Maka keseluruhannya ada beberapa langkah ini :

1. Untuk pemahaman dan menangkap substansi atau inti pesan, tanggalkan semua pelbagai pembalut, pengantar, tambahan, pendeknya kemasan pesan. Katakan ini abstraksi ilmiah.

2. Masih selanjutnya untuk menangkap inti, juga tanggalkan segala macam kepentingan, juga kepentingan kita sendiri untuk sementara. Kita sebisanya mengambil jarak, dibayangkan kita tidak berkepentingan dahulu dalam pesan kebijakan itu. Dengan demikian diharapkan menemukan nilai yang obyektif.

3. Berikutnya kita ciptakan semacam dialog dengan pemberi pesan sejauh kita kenal. Bila itu suatu pesan tradisi atau adab suatu kelompok, usahakan mengenal identitas sang pemberi pesan. Bayangkan seperti ada dialog, ada komunikasi dan bahkan transaksi nilai. Tukar pendapat imaginer ini bisa lebih membantu penghayatan kita akan nilai yang dipesankan.

4. Langkah berikutnya adalah refleksi, untuk menilai diri sendiri. Bisa saja kita bermegah diri, merasa tidak membutuhkan pesannya. Tetapi bisa-bisalah merasa perlu koreksi diri. Koreksi diri adalah titik kemenangan mengalahkan kepicikan kita. Dan bisa berbangga menemukan diri dengan penambahan nilai yang harus segera diperjuangkan.

5. Pertimbangkan kondisi nyata kita untuk pelaksanaannya pesan. Mungkin perlu penundaan untuk selesaikan sesuatu yang lebih mendesak. Sebab pesan kebijaksanaan biasa untuk jangka panjang.

Inilah langkah yang saya renungkan dibantu oleh kebikasanaan filosofi pitutur Kejawen : "Golek Banyu apikulan warih, goleh geni adedamar", cari air bawa sepikul air, cari api bawa pelita.

Demikian semoga bermanfaat menghadapi pelbagai peristiwa dan pelbagai kearifan lokal nasional maupun universal.

Tetapi dengan rasa hormat, kusampaikan terima kasih saya kepada ketekunan Yth Pembaca yang menelusuri jalan pikiran sederhana saya ini.

Ganjuran, Feb.02,2022. Emmanuel Astokodatu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun