Asyiik membaca kembali catatan perjalanan batin sederhana ini mengikuti perbicangan santai tentang kehidupan sehari-hari : Beda Pendapat - Kritik- Masalah- Solusi.
Dalam sidang pengadilan terjadi debat antara Jaksa penuntut umum dengan Pembela perkara dan ditutup oleh ketuk palu Vonis Sang Hakim. Dalam forum resmi perkara besar maupun kecil harus dilalui prosedur yang terkadang rumit jadinya. Disana ada 'perkara' tuduhan 'perbuatan' yang dipertimbangkan untuk hakim mengambil keputusan 'penyelesaian' perkara. Beda pendapat bentuknya sering tak terduga bagi orang lain yang sudah menganggap begitu pasti.
Dalam kehidupan bermasyarakat, terlebih dengan tersedianya peluang oleh medsos, terjadi kebiasaan lontaran kritik dari mata- telinga- hati, dan nalar pemirsa terhadap perbuatan dari/oleh warga lain yang dianggap kurang pas. Orang biasa mengatakan tentang kritik yang membangun dan kritik yang tidak membangun. Kritik yang tidak / kurang membangun timbul dari beda pendapat yang bersih murni. Tetapi lebih banyak beda pendapat yang diwarnai oleh sentiment tertentu, seperti latar belakang sejarah, pribadi, keluarga, kelompok, golongan atau kepercayaan dan lain-lain. Beda pendapat melahirkan kritik.
Dalam dunia politik yang kurang sehat kritik dan kritik adalah kebiasaan yang lebih banyak kurang membangun. Sebab kritik biasanya bertujuan membesarkan gengsi kelompok pemberi kritik daripada saran solusi seperti semestinya. (harapan warga).
Kritik itu berlindung pada pasal hokum kebebasan berpendapat. (titik). Dalam pergaulan sehari hari kebebasan berpendapat biasanya bisa terkendali oleh hokum tidak tertulis sebut saja 'rasa keadilan', 'rasa ke-hormat-an', sopan santun, persaudaraan dan seterusnya.
Kritik melahirkan masalah baru, masalah "kedua", setelah ada masalah sumber beda pendapat. Masalah kedua ini mendapat tantangan dari ungkapan klasik abad pertama dari tokoh pakar moral yang mengatakan : "Mengapakah engkau melihat selumbar di dalam mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu sendiri tidak engkau ketahui?" (Lukas 6:4) Â Kritik yang dikritik. Pemberi kritik ini seharusnyalah memberi solusi, seperti hakim menyelesikan debat dipersidangannya. Â
Petuah Jawa dalam kemasan :"Tepo Sliro", mengatakan : "Jangan katakan buruk orang lain seperti halnya kau tak mau dikata demikian" Â Seperti tulisan Lukas bab 6, ayat 4 tersebut tadi terlepas dari konteksnya baru merupakan kritik terhadap motivasi dan latar belakang Kritik.
Psikologi terbaru yang dianut banyak Lifecoach lebih lagi menegaskan bagaimana kritik mengkritik itu harus diselesaikan. Masih tidak jauh dari saran Lucas dan Petuah Jawa, hanya lebih dikupasnya kedalam terhadap pemberi kritik.
Seorang Teman di salah satu WAG menulis "Berdasarkan pemahaman saya hingga saat ini. Mohon dikoreksi jika saya salah. Apa yang terjadi pada diri kita saat ini adalah proyeksi dari dalam diri kita. Jadi jika kita sering kali berjumpa dengan orang2 yang dalam tanda kutip, menyebalkan. Itu adalah proyeksi dari dalam diri kita." Dijelaskan lagi : "The unconscious is projecting that shadow side outside, onto other people." demikian kata Carl Jung. Jadi kita perlu ambil tanggung jawab pribadi, untuk bereskan apa yang ada di dalam diri kita. Ini adalah inside job kita.( Lifecoach, Fredy Sutanto)
Teman yang lain menegaskan : "Dlm NLP kami mengartikannya sbb: Respon kita itu jauh lebih penting, dibanding stimulus yg terjadi pd kita. Otak kita hanya bekerja berdasarkan Stimulus-Respon. (Coach Krisnamurti)
Terhadap perdapat dua teman tersebut saya menulisinya : "Pada awalnya kita tadi mengetengahkan , dua hal yg berebut mau dipentingkan. Apa yang terjadi dalam diri (Peristiwa 1), dan  APa terjadi dari luar terhadap kita (Peristiwa 2 )  yg perlu direspon. Menurut saya dua peristiwa harus dinilai masing2 hakiki dan urgensinya untuk dipentingkan dan direspon. Dan simpel saja bagaimana suara hati kita.
Selanjutnya masih harus dijawab bagaimana didekatkan pada "keputusan hakim" yang menyelesaikan debat, kritik atas kritik, dan solusi yang menyelesaikan masalah.
Pendekatan menuju solusi itu memang benar harus ada proses "Tahu diri mawas diri buka mata hati" Â Mau membangun kepribadian, belajar dari para bijak, memang tidak sesederhana menyanyikan lagu, Membahasakan mental orang dalam ekosistemnya perlu berproses sendiri, mengalami dan mengkritisi dengan segala kecerdasan.
Paul G Stoltz Ph.D dalam salah satu bukunya (Adversity Quotient, Grasindo,Jkt 2000. halaman 375 dst) mengajarkan pada saya : Â 5 langkah/ sikap dalam orang menghadapi permasalahan dengan kecerdasan melawan hambatan (AQ), singkatnya yaitu :
1. Jaga diri, nilai diri menghadapi permasalahan, jangan tergesa bilang tak mampu.
2. Jaga diri, pahami sumber masalah, belum tentu bersumber dalam dirimu saja.
3. Pahami benarkah bahwa banyak atau sedikit akibat dari permasalanan yang anda hadapi itu menjadi tanggung jawabmu? Kalau ada benarnya maka Tanggung jawabmu mencari solusi.
4. Pahami benar-benar sampai sejauh mana sebenarnya keluasan permasalahan yang harus kauhadapi.
5. Pahami seberapa lama permasalahan yang kauhadapi, bersifat sementara atau menjadi tetap sebelum diadakan perubahan yang perlu.
Apabila bisa menemukan solusi, peristiwanya akan berubah menjadi momentum berkah. Hambatan menjadi Peluang positip.
Jadi menurut saya semua itu akan terwujut sebagai solusi atau penyelesaian rantai beda pendapat, bila terjadi : Tegur sapa korektif yang penuh persaudaraan. Dan terlebih lagi untuk keseharian adalah keteladanan oleh pemberi saran korektif seperti tak dmasalahkan dari Guru kepada para muridnya.
Demikian permenungan, perjalanan batin saya mengikuti peristiwa-peristiwa keseharian yang mungkin manjadi obyek papar para juru berita. Semoga berguna.
Dengan rendah hati saya mohon terimalah salam hormat saya.
Ganjuran, September  12, 2021. Emmanuel Astokodatu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H