Pesan itu diberikan sehubungan adanya kesan dari masyarakat yang negatip terhadap UU.No.19 Th.2016.Terlebih khususnya Pasal 27 ayat (3) yang pelaksanaannya : tersangka yang dikenakan tuduhan atas pasal ini biasanya langsung ditahan oleh pihak kepolisian. Hal itu membuat kesan bahwa praktek pelaporan yang terjadi itu sebagai bentuk aksi balas dendam, barter hukum,dan membungkam kritik.Â
Padahal Guru Besar Fakultas Hukum UGM Edward Omar Sharif Hiariej (Prof Eddy ) menjelaksan, pada UU ITE pembuat Undang-Undang memang memasukkan pasal pasal yang ada di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yaitu pasal 310 sampai dengan pasal 321. Pasal-pasal itu berisi pencemaran nama baik dalam enam bentuk penghinaan. Kesemuanya dalam satu tempat saja  yaitu pasal 27 dan pasal 28 didalam UU No ITE. Dan sekarang ini diera ITE untuk membuktikan unsur menyebarluaskan sangat mudah dibandingkan dengan dieranya KUHP. Penafsiran menyebarluaskan atau diketahui banyak orang dengan cara manual dengan medsos sehingga sangat mudah untuk membuktikan. (Media Sosial dalam Pandangan Hukum (msn.com))
Berikutnya catatan dalam Mencoba Telusuri Jalan lain di Kancah Dinamika Sospol. Filosof tua mengatakan manusia itu Zo-on-politikon. Bahasa Yunani 'polis' artinya kota. Saat itu negara mereka adalah kota.Setiap orang itu warga kota. Kewargakotaan adalah sekarang kewarganegaraan. Sekarang dengan enak mengatakan manusia itu pada dasarnya manusia politik, selalu terlibat atau menjadi korban pelaku aktif politik.
Belajar dari. Teropong Republika 2020-2021 saya merasa meskipun saya bukan politisi, perlu paham akan issue penting 2020 dan berupaya memproyeksikan bagaimana issue itu berkembang di tahun mendatang.
Nashih Nashrullah, jurnalis Republika menulis antara lain bahwa Issue Agama dalam kancah sosial politik budaya  tetap semarak kedepan. Gayung bersambut dengan manifestasi politik identitas dengan agama menjadi unsur yang strategis. Politik iidentitas melahirkan gerakan berciri perbedaan kategori politik yang diam diam atau jelas-jelas menggunakan agama sebagai unsur utama tadi. Identitas agama dibicarakan oleh semua pihak juga yang berseberangan kepentingan (politik).Itukah (agama)yang disebut komoditas politik !?  (periksa :Isu Agama Masih Seksi di Kancah Politik Kita | Republika Online)
Teringat pada tahun 2012 di Kompasiana ,saat saya bergabung dalam komunitas Kompasianer Desa Rangkat, saya tergiur oleh ajakan "anti perselisihan soal agama". Saat itu banyak terjadi polemik agama di Kompasiana. Demikian Kompasianapun lalu menghapus jalur tulis "Agama".
Dalam rangka move-on dan membuat solusi tahun depan di Kompasiana ini tampaknya ada beberapa artikel. Pelbagai opini dan saran itu semua dilatar belakangi pemahaman penulis dalam hal kepribadian, hubungan sosial dan sadar atau tidak sadar dalam kaitannya hidup di era digital ini.
Tetapi memang sebanyak manusia inilah demikian jumlah nuansa perwatakan. Maka harus dihindarilah menilai orang dalam beropini, untuk tidak generalisasi atau memikat pendapat demi politik identitas. Hal ini antara lain saya membuat tiga bidang pengamatan saya: Keperibadian, Aspek sosial budaya diera digital, dan Aspek sosial politis.
Maka apa yang sudah saya rumuskan tanggal 3 yang lalu sebagai solusi move-on kedepan, baru saya rumus ulang saat ini, sekaligus kesimpulan pemenungan ini.Dan ini solusi itu bagi saya sendiri, Â belajar dari Sdr Reynal Prasetya, Prof.Eddy, Nashih Nashrullah. Serta Solusi saya sendiri di awal th 2020.: secara sederhana seperti ini :
Kesatu : Melanjutkan solusi sebelumnya(2020), meningkatkan kesadaran terhadap niat, keterpanggilan, dan belajar sampai mati
Kedua : Mewaspadai informasi dan sadar hukum dalam penggunaan medsos.