Hingga pada suatu ketika heboh keluarga kami karena kakak-kakak saya mendengar laporan kasus seorang guru. Dia mengunjungi keluarga murid dan mengaku dialah kepala sekolah.Â
Padahal ayah sayalah yang kepala sekolah. Rapat besar perempuan-perempuan rumah saya pun diselenggarakan dan akan bertanya kepada sang kepala sekolah, ayah. Ayahpun hanya tersenyum dan pergi.
Saya lalu teringat cerita saudara tua ayah saya yang bercerita kepada saya yang masih duduk di klas 4 Sekolah Rakyat saat itu. Singkat cerita tentang nasehat bahwa "Diam itu Emas, bicara itu perak mungkin besi".Â
Konon seorang Raja pun suka atau kecewa bahkan marah pun cukup tersenyum dan diam. Abdi Raja yang akan menyelesaikan masalah. Raja hanya bersabda yang sesuai dengan kebesarannya. Sebab Sabda Raja adalah Hukum dan Sabda Suci. (Sabda Pendita Ratu).
Setelah di SMA, baru saya tertarik lagi soal "Diam Itu Emas", dst.. Dua orang pengajar senior sekolah kami yang sangat dituakan dihormati Pengajar Sejarah dan Pengajar Bahasa Indonesia. Mereka memberi pencerahan bagi saya tentang segala pengalaman-pengalaman kanak-kanak saya itu.Â
Pada umumnya dinegeri tercinta ini pelbagai suku mempunyai tradisi pewarisan nilai budayanya dalam pesan-pesan yang terkemas dalam keteladanan hidup keseharian, sopan santun, karya seni, dongeng, tembang, pemeo dan pelbagai perilaku lainnya.
Terkait dengan topik pembahasan kita, Â kemasan pesan moral dalam perilaku bisa disalah tafsirkan dan bisa menyesatkan karena pesan yang hakiki tidak dipahami. Beberapa hal perlu klarifikasi atau perlu dukungan pesan verbal yang disampaikan.Â
Tetapi akan menjadi lebih hangat saya melontarkan kata pengganti untuk salah tafsir dengan kata "dipelintir". Suatu modus salah tafsir yang di sengaja biar orang terpeleset kesana. Melintir adalah memintal benang untuk menjadi tali. Materinya sama, hanya terkemas beda untuk manfaat serupa tapi beda.
Dalam sejarah banyak pemeo Jawa yang dipelintir penjajah untuk mencemooh mesikun juga berpotensi mendidik. "Dedalane guna lawan sekti; Kudu andap asor, Wani ngalah luhur wekasane, Tumungkula yen dipun dukani, Ana catur mungkur, Bapang den simpangi...." Â Â Dari sebuah pesan moral yang dikemas dalam lagu tembang.Â
Tujuan dan terjemahannya kira kira ini : Pesan pokok / tujuan, bila orang mau sakti, serba bisa bermanfaat, harus rendah hati, mengalah untuk kini untuk yang lebih bernilai dikemudiannya, Dengar baik baik ketika dinasehati, Jangan dengar gosip, hindarkan perselisihan."Â
Entah bagaimana pemelintiran itu menjadi issue bahwa orang pribumi (inlader) biasa tidak jujur, tidak berkata sebenarnya, lain dikata lain diperbuatan, lemah, malas meskipun itu dimuka dikatakan dengan sopan dan manis.