Dalam kehidupan sehari hari kita, tidak selalu kita menonton kejadian yang masuk akal. Sebab seringkali Hati orang lebih berbicara daripada akal budi. Menurut gagasanku Peduli-Simpati dan Cinta itu termasuk bahasa Hati itu. Dan sebenarnya barisan itu dimulai dari Abai,Cuek, Jengah atau Sinis. .
"Jengah" aku kutip dari berita Tempo,Jkt. Chairman Institute for Policy studies, Â Fadli Zon, mengatakan masyarakat tidak perlu jengah dengan kehadiran Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI). "Gerakan masyarakat sipil memang tak sepantasnya direspon dengan penilaian menyudutkan," kata dia dalam keterangan tertulis, Sabtu, 29 Agustus 2020. (msn.com)
Ternyata di negeri kita in ada bahasa politik kritik dan oposisi, bahasa politik dinasti, bahasa politik kesehatan, bahasa politik hati, dan mungkin ada pula khusus bahasa politik khotbah  .
Karena sudah tertulis pada judul Tiga Kata: Peduli, Simpati dan Cinta maka kembali jalur utama kita ikuti bahasa hati. Untuk ketiga kata itu (Peduli,dst) 'bahasa hati' sebenarnya tidak mewakili seluruh kandungan makna dan arti didalamnya. Bahasa hanyalah salah satu sarana komunikasi.
Memang tiga kata Peduli, Simpati dan Cinta adalah dari/oleh manusia merupakan respon positif dalam komunikasi dengan situasi dan atau obyek sekitarnya, yang layak menurut manusia.
Manusia merespon positif menggunakan indera mata telinga hidung lidah, budi, perasaan dan atau intuisi memori dan seluruh tubuhnya bila perlu. Semua sesuai dengan fungsi/peran masing-masing.
Nah bahasa hati itu ketika perasaan lebih berperan dari akal budinya ketika manusia dalam "mempertimbangkan hingga merespon dengan perilaku" Dan itulah spesifiknya Peduli, Simpati dan Cinta sebagai sikap batin, dan perilaku manusia. Itulah alasan dikatakan Peduli, Simpati dan Cinta itu bahasa hati.
Sebelum berlanjut saya ajak pembaca mengikuti kutipan berita yg belum terlalu usang juga ini :
 Kebijakan Presiden Joko "Jokowi" Widodo selama pandemi COVID-19 mengundang banyak perdebatan dan kritik.....Banyak pihak telah mengkritik kebijakan Jokowi yang dianggap terlalu mengutamakan sektor ekonomi dan terkesan mengabaikan keselamatan warga negaranya.Â
Di saat banyak orang menghujat Jokowi yang dinilai lebih mementingkan aspek ekonomi di masa pandemi covid-19 ini, Surahmat mampu menunjukkan hal yang sebaliknya. Melalui pidato tersebut, peneliti di Pusat Kajian Budaya Pesisir ini justru menemukan kenyataan bahwa Jokowi ternyata amat peduli terhadap kesehatan!Â
Analisis yang ditawarkan Dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Semarang , Â Surahmat, Â amat menggelitik untuk dicermati. Hasil telaahnya terhadap 2.357 kata yang diucapkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada pidato kenegaraan yang disampaikan di sidang paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada 14 Agustus lalu ternyata mampu menawarkan perspektif segar." (Surahmat adalah Peneliti pragmatik dari Al-Najah University Palestina Sufyan Abuarrah) msn.comÂ
Dari kutipan berita tersebut saya ingin menunjukkan bahwa kita adalah manusia sosial yang semakin komunikatip. Sebagian hidup kita adalah pertama tama respon dalam komunikasi kita terhadap obyek, peristiwa, situasi, kondisi, orang lain, barang atau obyek lain. Â
Dan respon iti bisa positip (misal Peduli, Simpati, Cinta) bisa negatip (misal : Abai, cuek, jengah, sinis, beda pendapat, sanggah tolak) Sementara terhadap Kritik masih bisa positip bisa negatip. Sebagai misal kritik yang pada dasarnya netral dalam prosesnya bisa menolak, menyanggah, ataupun mendukung.
Kritik selalu harus membuka perspektif lain atau cara pendekatan yang spesifik dan dipertanggung jawabkan misalnya dari sisi BAHASA. Pencermatan Bahasa secara ilmiah memang ternyata dapat "menguliti" realita obyek yang jadi pembahasan.
Demikian pula Peduli, Simpati dan Cinta adalah respon positip terhadap peristiwa (peduli terhadap bencana,) respon positip terhadap situasi dan kondisi ( simpati kepada korban bencana), respon positip terhadap realitas yang baik yang dekat yang menjadi milik berharganya.(cinta keluarga, cinta tanah air).
Sasaran juga adalah pemicu pemanggil atau penentu spesifiknya bentuk respon yang diberikan (cinta kepadaTanah Air beda dengan kepada keluarga, cinta kepada sahabat beda daripada kepada isteri.).
Setelah kita cermati sasarannya atau hal hal yang sungguh diluar dirinya Peduli, Simpati dan Cinta  sebagai perbuatan manusia juga ditentukan oleh faktor didalam diri orang. Niat, Pilihan, Pertimbangan, Mindset, kekuatiran, ketakutan, motivasi, aspirasi. Pendek kata latarbelakang kehidupan akan memberi warna terhadap adanya Peduli, Simpati dan Cinta.
Menilik fungsi/peran faktor-faktor dalam diri orang maka Peduli Simpati dan Cinta sebagai sikap batin mapun perilaku manusia akan semakin tegas dibedakan dan dipelajari. Dan sebagai bahasa hati suka abaikan hukum logika. Ada orang melihat korban kecelakaan dan memberi pertolongan, dibawa ke R.S. terdekat.
Ternyata orangnya miskin dan sopan penuh rasa terima kasih dan sang penolong memberi simpati, mau rela menanggung pengobatannya. Dirumah sakit perlu rawat inap. Relawan tadi dengan rela mengikuti perkembangan penyembuhan kurban kecelakaan itu selama perawatan. akhirnya jatuh cinta.
Cerita pendek ini menunjukkan proses dampak awal perilaku yang diambil. Itulah bahasa hati yang di katakan oleh orang Jawa : Witing tresa marga saka kulina. Awal cinta karena terbiasa, menaruh kepedulian, menunjukkan simpati dan akhirnya jatuh Cinta.
Perilaku berbeda dari seorang yang lebih mengandalkan pengambilan keputusan dengan pertimbangan rational dan refleksi. Penulis sendiri mengambil keputusan memilih dan menikah atas dasar pertama rekomendasi orang terpercaya,kedua, komunikasi jarak jauh per surat (belum ada HP,WA,th 1967),ketiga, kunjungan 5x dalam satu setengah tahun.Domisili saat itu Jakarta dan calon bekerja rumah sakit.di daerah DIY.
Dasar keempat adalah refleksi dan niat. Dampaknya setelah nikah harus berlatih banyak kebiasaan hidup bersama dalam bahasa hati, bersimpati, menaruh perhatian dan peduli pada hal hal yang sederhana.
Sejak SD SMP di asrama sekolah,hingga dewasa dilatih mandiri dan melayani diri sendiri. Merasa asing makan dilayani, diambilkan nasi oleh isteri. Namun pada tahun 2018 kami sudah bersyukur 50 tahun menghidupi Peduli, Simpati, Cinta dalam pernikahan.
Menghadapi budaya cerai dan pelbagai penawaran perselingkuhan saya hanya melihat bahwa persiapan terpenting & pemeliharaan kelangsungan pernikahan adalah dialog dan pengkajian akan niat dan tanggung jawab. Adakah pasangan itu rutin berdialog dan rutin refleksi niat & tanggung jawabnya?. Â
Demikian pembelajaran yang saya ambil dari permenungan bahasa hati. Charles Dicken pernah menulis : Â Milikilah hati yang tak pernah mengeras, perilaku yang tak kenal lelah, serta sentuhan yang tak pernah menyakiti.Â
Dan orang Malagasy menesehati : Jadikanlah Cinta kasihmu seperti gerimis tipis berkabut, lembut, tetapi tiada henti menetes mengairi sungai dari atas pegunungan. Sebab : Dengar, belajar cinta hanya dengan bercinta, simpati dan peduli.
Tolong terima salam hormat saya.
Ganjuran  September 05.2020. Emmanuel Astokodatu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H