Mohon tunggu...
Emmanuel Astokodatu
Emmanuel Astokodatu Mohon Tunggu... Administrasi - Jopless

Syukuri Nostalgia Indah, Kelola Sisa Semangat, Belajar untuk Berbagi Berkat Sampai Akhir Hayat,

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mensyukuri Buah-buah Pikir

19 Mei 2020   10:58 Diperbarui: 19 Mei 2020   10:58 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dengan sukacita dan gembira "tinggal dirumah" saya menulis ini, diharap andapun dengan senang membaca tulisan saya ini.

Buah pikir adalah hasil fungsi otak manusia. Sudah menjadi kepercayaan tradisional bahwa pikiran kita adalah hasil kerja otak yg bersyaraf syaraf. Pikiran manusia bukan hasil kerja ruas lutut ataupun bukan dari jari manis. 

Dengan otak kita merekam, mencatat, mengolah, perolehan masukan dari indera mata telinga hidung lidah.Dengan olahan yang didapat otak menggandakan menciptakan buah pikir dan atas dasar itu membuat realita baru. Dengan demikian manusia melengkapi realita Ciptaan Sang Pencipta. Itulah motivasi utama untuk bersyukur dengan buah pikir.

Dewasa ini aktual tersiar tayangan iklan suatu produk industri tertentu yang menggunakan kata "orang cerdas". Seorang pakar intelektual dari perguruan tinggi yang diminta menjadi pemeran dalam iklan itu mungkin enggan mengatakan kata cerdas itu karena kepakarannya. 

Maka dia berfilosofi dahulu kata pakar itu punya prinsip bahwa hidup itu yang penting adalah "niat" dan berikutnya "bertanggung jawab".  Saya pahami bahwa baginya bukan kecerdasan tetapi niat menjadi titik awal hidupnya, baru tanggungjawab sebagai konsekwensi sosial baik kepada Sang Pencipta maupun sesamanya.

Pengalaman serupa ketika saya baru memulai di tahun 2010 menulis di Kompasiana. Ketika itu berkecamuk perselisihan paham diantara beberapa Kompasianer dibidang agama, dan tersirat kuat latar belakang politik. 

Dan banyak teman kompasianer lain yang tidak merasa nyaman. Maka terjadi suatu grup damai dengan minat tulis puisi dan fiksi. (sampai saat ini masih ada grup tersebut di Whatshaps).

Dan dengan dinamika komunikasi antar penulis saya menghayati betapa buah pikiran itu mampu mengumpulkan orang tanpa sempat sebelumnya bertemu tatap muka. 

Saya berguru pada seorang Muhammad Armand dosen di Ujungpandang, belajar bersilaturahmi dengan seorang ibu dari Bandung, dari pengobat tradisional dari Banyuwangi. Sementara saya "tinggal dirumah"...Dan sseterusnya.!  Dosen Ujung Pandang itu memberi komentar puisi saya untuk yang kesekian kali singkat : "..... filsafat lagi!" 

Dua buah puisi, sampai untuk kedua kalinya teman itu memberi nilai "fisafat lagi". Berarti sebelumnya lagi sudah kugubah kata-kata filosofis. Saya bermaksud menyampaikan suatu realita keindahan, tetapi realita sajian saya ternyata hanya keindahan realita buah pikir. Rekan saya itu menggurui saya untuk berpuisi tentang realita keindahan nyata.

Belum lama ini seorang kompasianer menulis anjuran supaya kita menyadari dalam menggunakan kata "opini", yang sekedar mau menunjuk pengartian "pendapat". 

Opini dianjurkan sebagai suatu pendapat yang sudah lebih berkwalitas dari sisi pertanggung-jawaban ilmiah, misalnya dengan hasil riset atau penelitian tertentu. 

Buah pikir yang demikian saya memang tidak berkeberatan menerimanya dan memahaminya. Hanya mengingat istilah Opini publik / Public opinion  juga marak digunakan di kalangan pers, maka usulan dimuka susah juga dipahami pembedaannya. 

Namun itu membuat kita sadar bahwa pers, atau TV, dan media sosial dengan pelbagai lontaran issue mengaku atau tidak mengaku pasti mempunyai maksud menyampaikan pesan yang untuk mempengaruhi pendapat kita.Kalau bisa membentuk pengapat umum, public opinion. 

Setiap buah pikiran yang disampaikan dari pihak lain pasti memiliki maksud atau makna sosial, yaitu membawa pesan yang mau mempengaruhi pemikiran orang lain.

Beberapa kali Kompasiana memuat artikel tentang konsepsi "Meme". Biang buah pikiran yang membuahkan pikiran orang lain yang tiada batasnya sampai sejauh mana. 

Itu yang menjadi motivasi saya juga untuk sebanyak mungkin membagikan kebaikan. Seperti suatu ketika saya keheranan sebuah tulisan saya dikutip sebagai definisi kata kunci tulisan seorang penulis,anggota DPRD dari Sukabumi, dalam sebuah desertasinya. 

Terhadap kasus ini saya bahkan ingin mengingatkan pada adagium yang membatasinya pengaruh buah pikir dengan formulasinya : Globally thinking, locally act. Berfikirlah seluas mungkin, tetapi bertindaklah diatas bumi.

Pada tahun 1990 saya mengikuti sebuah LSM yang menggerakkan petani untuk kembali ke pertanian alami. Dari wilayah ke wilayah lain menyelenggarakan pertemuan petani. 

Setiap kali pertemuan tahunan dengan mengundang tiga pakar satu dibidang keimanan, kedua dibidang organisasi, gerakan atau sosial budaya. Dan ketiga dibidang tehnik pertanian. Setiap pertemuan tahunan diundang kelompok tani yang pada pertemuan sebelumnnya sudah dihadirkan. Mereka berdiskusi berbagi pengalaman. 

Sepulang dari pertemuan tahunan sebulan sekali mereka semua dalam kelompok kecil terus membahas bahan-bahan masukan dari pertemuan sebelumnya.  

Saya sebagai orang yang tidak pernah sebelumnya belajar tentang pertanian, bergabung dan menghantar para petani berdiskusi dan mendorong mengajak mereka melaksanakan buah pikir mereka sendiri. Dan saya menjadi ikut mahir menularkan pengalaman petani kelompok disini ke kelompok lainnya. Buah-buah pikiran itu berkembang tak ada habisnya.

Buah pikir seperti virus yang menular.Yaitu,apabila buah pikir itu inspiratif dan bermanfaat untuk yang menerimanya. Ketika sebuah pemikiran saya tawarkan tidak cocok untuk sebuah daerah pedesaan tertentu, atau gagasan itu kurang menarik bagi kelompok tertentu, maka perlu ada buah pikir alternatip. 

Dan tidak jarang para petani mendapatkan dan menemukan sendiri gagasan baru itu melalui perbincangan antar mereka. Dan gagasan yang hampir seluruhnya baru. Mereka menemukan sesuatu yang baru ketika mendapatkan kendala dan atau hambatan terhadap buah pikirnya.

Memang ada saja langkah dan pengalaman spesifik ketika kita menghadapi satu titik Keterbatasan. Pengalaman itu saya mau menyebut Pencerahan. 

Manusia memang kadang-kadang membutuhkan apa yang saya suka sebut Pencerahan. Ketika kepuasan batin tidak ditemukan lagi diharapkan datang Pencerahan. Ketika semua jalan dirasa buntu diharapkan datang Pencerahan. Pencerahan adalah terbukanya jalan buntu, terjawabnya masalah, terbukanya kemungkinan kearah solusi, ditemukan jembatan untuk melewati keterbatasan.

Apabila kita kembali pada apa yang pernah saya tulis sebelum ini : Peristiwa, Peng-alam-an, Pemaknaan, Pengakuan, Peng-amal-an. Dalam proses manusia menghadapi Peristiwa, maka Pencerahan hanya dialami setelah Pemaknaan peristiwa. Pemaknaan melalui permenungan ataupun refleksi lebih dalam untuk menemukan nilai nilai lebih hakiki dan lebih berkwalitas.

Istilah "Pencerahan" sering digunakan oleh para penasehat rohani, sehingga lebih meyakinkan didapatnya pencerahan dari Roh Yang Maha Suci. Setelah pemeluk agama sudah tidak bisa lagi menerima kepuasan batin dengan cara doanya yang biasanya dilakukan, mereka ini lalu mengharapkan Pencerahan. 

Padahal cara doa yang manapun baru berarti bila pendoa bisa mentransformasikan egonya. Sudahlan itu soal mereka. Tetapi dari pengalaman dengan kelompok tani saya yakin pencerahan hanya didapat dengan pemaknaan mendalam melalui permenungan mendalam, seseorang atau bersama-sama terhadap masalah dan atau keterbatasan. 

Bahkan dari kesaksian banyak motivator justru mereka diajak membuat kesadaran kelompok tani terhadap masalah dan keterbatasannya. Alhasil dari musyawarah mereka menperoleh pencerahan bagaikan obor pencerah kegiatan.

Buah pikiran bersama dalam kebersamaan berbagi pendapat dan pengalaman merupakan kebanggaan kelompok-kelompok petani binaan LSM kami.

Permenungan inipun sebenarnya buah pikiran dari pencerahan yang saya alami ketika diserang kepala pusing akibat vertigo. Kekuatiran akan covid 19, dan kondisi luar rumah oleh PSBB. Namun saya alami pencerahan dengan buah permenungan yang memberi penuh harapan untuk menyelesaikan tulisan ini yang sudah kuawali setelah tulisanku tarahir di Kompasiana.

Pencerahan adalah ajakan Bersyukur bagiku, karena masih dimungkinkan berfikir.. Bersyukur adalah pengakuan akan Peristiwa Kasih Allah kepada hambanya.

Wassalam,  Ganjuran, Mei, 18.2020. Emmanuel Astokodatu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun