Pertanyaan kedua adalah : apa menurutmu yang sungguh2 paling benar harus dibenarkan dibela diperjuangkan? Dan saya ingin memberikan pertimbangan - pertimbangan ini :
A. Kesetaraan diri kita dihadapan Allah dan Hukum. Peselisihan yang dibicarakan disini khususnya diantara pihak yang memang secara sosial setara bukan antar mereka yang ada hubungan seperti orang tua dan anak. Antar sesama dalam perbedaan agama, penghayatan nilai moral, sebaiknya janganlah merasa yang paling benar. Secara sosial sesama warga negara pun dihadapan hukum selayaknya setara. Maka perselisihan dapat diselesaikan di forum yang sudah tersedia.
B. Penemuan jati diri, itulah yang harus dibenarkan dahulu.Dan dengan itu ditemukan sikap rendah hati yang benar.Kerendahan hati adalah penemuan jati diri sebenarnya.Yaitu siapa kita ini sebenarnya dalam konteks perselisihan dan beda pendapat itu. Maka tanggung jawab atas kasusperselisihan bisa lebih jernih untuk diselesaikan. Sebab kita dalam menyelesaikan masalah jangan direpotkan oleh kepentingan-2 tersembunyi.
C. Persahabatan yaitu relasi yang sebaiknya dipertahankan, karena harga diri kita tersangkut disana.
Saya berasumsi bahwa ketika kita bertemu awal bahkan bila itu dijalan antar orang yang sebelumnya tidak kenal, tetapi kemudian terjadi perselisihan dikta ada kebersamaan yang serta merta (otomatis) disepakati dalam satu jalur / forum dimana kita beradu pendapat.
Ketika pertimbangan persahabatan tidak lagi mampu menggerakkan diri kita untuk berdamai dan mengakhiri perselisihan maka masih ada dua jalur yang bisa dipilih. Satu, menyerahkan kepada Hakim Pengadilan lewat kepolisian sebagai lembaga resmi hukum. Dua, menyerahkan kepada Tuhan melalui Waktu.
Memang paling berat itu bila harus berhadapan dengan kesabaran dan Waktu, demikian omongan novelis Rusia Leo Tolstoy (1828-1910) Tetapi Kesabaran itu bermanfaat sebagai pelindung terhadap kekeliruan, seperti pakaian melindungi dari kedinginan, kata Leonardo Da Vinci, pelukis Italia (1452-1519) Kesabaran adalah nafsu yang dijinakkan, kata peribahasa kuno.
Belum lama ini pengalaman mengajarkan kepada saya bahwa hampir saja merusak proses ketika saya hampir saja tidak sabar terhadap usaha sahabat yang harus tertunda untuk kesejahteraan bersama.. Ketertundaan dan kegagalan itu punya jalan hidupnya sendiri dengan keterbatasan, sakit dan sehatnya sendiri. Sesuatu itu sungguh keras dan "luar biasa" ketika kita "melepaskan rasa diri sempurna" dan membiarkan diri sendiri dan orang lain dengan dirinya sendiri mengerjakan tugas bagiannya masing-masing. Mungkin memang kebijakan manusia itu tersimpul dalam Menunggu dan Berharap. Dan lebih indah ketika itu didasarkan pada persahabatan dan Cinta Kasih.
Karenanya tolong terima permintaan maaf saya atas segala kesombongan yang jauhkan dari rasa persahabatan dan kerendahan hati berani menulis curhatan ini.
Dan tolong terima salam hormat saya.
Ganjuran, 10 Februari 2018. Emmanuel Astokodatu.