Mohon tunggu...
Emmanuel Astokodatu
Emmanuel Astokodatu Mohon Tunggu... Administrasi - Jopless

Syukuri Nostalgia Indah, Kelola Sisa Semangat, Belajar untuk Berbagi Berkat Sampai Akhir Hayat,

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ketika Persahabatan Dapat Nilai Lebih

10 Februari 2018   09:58 Diperbarui: 10 Februari 2018   10:35 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ketika persahabatan dapat nilai lebih, maka akan ada kata maaf. Itu sebuah kata akhir yang selalu menjadi harapan ketika terjadi suatu perselisihan. Perselisihan adalah biasanya karena ada perbedaan pendapat, perbedaan selera, perbedaan arah, dsb dalam kebersamaan yang memang memuat keberagaman.

Permaafan adalah peristiwa yang setahun sekali dirayakan; yaitu pada hari Lebaran. Tidak akan diulas Lebaran itu karena saya bukan ahlinya tentang Idulfitri dan Lebarannya. Tetapi dipermukaan "lebar" bahasa Jawa itu berarti selesai. Lebaran selesai ibadat puasa dan pembersihan diri dihadapan Tuhan dan sesama. Permaafan bisa membersihkan diri dari beban mental beban dosa, beban perasaan, sehingga yang terrasa hanya sukacita kasih dan persahabatan,  persaudaraan dan kedamaian.

Apabila permaafan timbul dengan motivasi keimanan dan bisa mengembang semarak minimal sebulan seputar Hari Lebaran, atau sepanjang tahun sampai datang hari Lebaran lagi. Mungkin disini diperlukan motivasi lain yang berupa permenungan. Sebab begitu berat seringkali beban perasaan dan hebatnya pemicu-pemicu baru untuk perselisihan dalam kehidupan sehari hari.

Menyebut pelbagai pemicu perselisihan dapat diambil beberapa yang berat dan sangat menggoda a.l. :

*Kasus-kasus SARA, yang sering menjadikan adanya gerakan massal.

*Kasus-kasus percintaan kecemburuan dan kehormatan keluarga.

*Peristiwa yang dibawa/disampaikan lewat media, Hoack, Issu provokatip, yang diciptakan sengaja untuk memicu perselisihan antar warga yang berragam.

*Peristiwa terbuka melawan rasa keadilan dan hak azazi manusia.

Siapa mampu menanti tetap diam sementara air dan lumpur didepan pintu rumah? Siapa dapat bertahan hingga tiba momentum untuk beraksi ?

 Ketika kita berangkat berjuang untuk kebenaran, seharusnya ditegunkan oleh pertanyaan ini :  cukup cerdaskah kita menangkap stimuli atau memahami pemicu itu, atau mempercayakan sikap anda pada pendapat orang banyak?

Pemicu-pemicu kepedulian itu biasanya sungguh merangsang, ditambah kita berpikiran tidak mau dianggap kurang peka. Pada hal kadang sengaja disajikan untuk mengundang perhatian. Dan itu bukan salah si penyaji tetapi bisa jadi kita meresponnya yang kurang cerdas memilih cara. Maka selanjutnya :

Pertanyaan kedua adalah : apa menurutmu yang sungguh2 paling benar harus dibenarkan dibela diperjuangkan? Dan saya ingin memberikan pertimbangan - pertimbangan ini :

A. Kesetaraan diri kita dihadapan Allah dan Hukum. Peselisihan yang dibicarakan disini khususnya diantara pihak yang memang secara sosial setara bukan antar mereka yang ada hubungan seperti orang tua dan anak. Antar sesama dalam perbedaan agama, penghayatan nilai moral, sebaiknya janganlah merasa yang paling benar. Secara sosial sesama warga negara pun dihadapan hukum selayaknya setara. Maka perselisihan dapat diselesaikan di forum yang sudah tersedia.

B. Penemuan jati diri, itulah yang harus dibenarkan dahulu.Dan dengan itu ditemukan sikap rendah hati yang benar.Kerendahan hati adalah penemuan jati diri sebenarnya.Yaitu siapa kita ini sebenarnya dalam konteks perselisihan dan beda pendapat itu. Maka tanggung jawab atas kasusperselisihan bisa lebih jernih untuk diselesaikan. Sebab kita dalam menyelesaikan masalah jangan direpotkan oleh kepentingan-2 tersembunyi.

C. Persahabatan yaitu relasi yang sebaiknya dipertahankan, karena harga diri kita tersangkut disana.

Saya berasumsi bahwa ketika kita bertemu awal bahkan bila itu dijalan antar orang yang sebelumnya tidak kenal, tetapi kemudian terjadi perselisihan dikta ada kebersamaan yang serta merta (otomatis) disepakati dalam satu jalur / forum dimana kita beradu pendapat.

Ketika pertimbangan persahabatan tidak lagi mampu menggerakkan diri kita untuk berdamai dan mengakhiri perselisihan maka masih ada dua jalur yang bisa dipilih. Satu, menyerahkan kepada Hakim Pengadilan lewat kepolisian sebagai lembaga resmi hukum. Dua, menyerahkan kepada Tuhan melalui Waktu.

Memang paling berat itu bila harus berhadapan dengan kesabaran dan Waktu, demikian omongan novelis Rusia Leo Tolstoy (1828-1910) Tetapi Kesabaran itu bermanfaat sebagai pelindung terhadap kekeliruan, seperti pakaian melindungi dari kedinginan, kata Leonardo Da Vinci, pelukis Italia (1452-1519) Kesabaran adalah nafsu yang dijinakkan, kata peribahasa kuno.

Belum lama ini pengalaman mengajarkan kepada saya bahwa hampir saja merusak proses ketika saya hampir saja tidak sabar terhadap usaha sahabat yang harus tertunda untuk kesejahteraan bersama.. Ketertundaan dan kegagalan itu punya jalan hidupnya sendiri dengan keterbatasan, sakit dan sehatnya sendiri. Sesuatu itu sungguh keras dan "luar biasa" ketika kita "melepaskan rasa diri sempurna" dan membiarkan diri sendiri dan orang lain dengan dirinya sendiri mengerjakan tugas bagiannya masing-masing. Mungkin memang kebijakan manusia itu tersimpul dalam Menunggu dan Berharap. Dan lebih indah ketika itu didasarkan pada persahabatan dan Cinta Kasih.

Karenanya tolong terima permintaan maaf saya atas segala kesombongan yang jauhkan dari rasa persahabatan dan kerendahan hati berani menulis curhatan ini.

Dan tolong terima salam hormat saya.

Ganjuran, 10 Februari 2018. Emmanuel Astokodatu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun