Mohon tunggu...
Emmanuel Astokodatu
Emmanuel Astokodatu Mohon Tunggu... Administrasi - Jopless

Syukuri Nostalgia Indah, Kelola Sisa Semangat, Belajar untuk Berbagi Berkat Sampai Akhir Hayat,

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Filosofi Sangkan Paran

27 September 2017   16:45 Diperbarui: 27 September 2017   16:51 2477
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sangkan Paran artinya: Sangkan itu Asal-usul, aseli, atau Starting point, dan Paran itu Tujuan perjalanan. Sepasang perkataan yang akrab menjadi pertanyaan yang diajukan kepada manusia Jawa yang sedang berfikir tentang hidupnya. Darimana dan mau kemana perjalanan hidup anda ?. Pertanyaan reflectif dan filosofis yang tidak minta jawaban itu justru memang efektif mengajak berfikir dan bermenung.

Filsafat Jawa meliputi masalah metafisika dan psikologi transpersonal bahkan psikoterapi Jawa. Masalah metafisika menyangkut : pertama, Dhat atau Ens Maha Sempurna, Hyang Hana, kedua Eksistensi manusia, dan ketiga Alam Semesta. Masalah psikologi transpersonal yang mendalami peran dan fungsi fungsi manusia yang juga pada dasarnya mampu menangkap signal-signal realita metafisika. Sedangkan Psikoterapi berbicara tentang salah satu fenomena kebiasaan di Jawa mencari penyembuhan sebagai solusi problema kehidupan.

Sangkan Paran, "Sangkan Paraning dumados", Asal dan tujuan segala yang ada, seakan-akan menjadi jembatan pembicaraan panjang, atau pesawat terbang, yang menyambung dan mewarnai proses perjalanan hidup manusia dan alam semesta. Dimulai dari konsep bahwa manusia adalah "jagat alit" dan semesta alam adalah "jagat ageng", atau mikrokosmos dan makrokosmos, keduanya harus ada keselarasan, kalau tidak bisa menjadi penyakit atau bencana. Bahkan pada titik tertentu harus ada Persatuan dengan Dhat Maha Sempuna dan Kekal didalam kondisi "Suwung", yang aseli, dimana tidak terikat waktu dan tempat. 

Ki Setyo Hajar Dewantoro, lahir di Magelag 1074, pendiri dan pemimpin Padepokan Pengging, mengajarkan sebuah metoda "Meditasi Sehat Bahagia" (Medseba) untuk mencapai kesadaran akan realita suwung terebut. Dikatakan dalam bukunya berjudul "Suwung -- Ajaran Rahasia Leluhur Jawa" (Javanica, Yogyakarta, 2017)  bahwa Suwung adalah Realitas terdalam kehidupan, sumber penciptaan, sunyi dari gejolak emosi. Dipahami sebagai Kemahasadaran, Kemahakuasaan, dalam bentuk kekosongan yang memangku keberadaan.("Suwung hamengku ana"). 

Paham Sangkan Paran dari sumber bacaan lain dikatakan sampai pada ajaran tentang "Manunggaling Kawula lan Gusti". Hal itu semakin didekatkan dengan pemahaman harmonisasi microcosmos dan macrocosmos didalam kepahaman Suwungnya Ki Setyo Hajar D. diatas. Penulis sendiri melihat konsep Manunggaling Kawula lan Gusti dari aliran Theosofiyang men-"jumbuh"-kan ciptaan(kawula) dengan Sang Pencipta (Gusti), sementara menurut aliran Theologi yang penulis percayai tetap ada perbedaan dalam kemanunggalan itu. 

Adalah suatu kurnia Allah berkenan secara inkarnatif menjiwai kehidupan manusia.  Dan manusia dituntut berupaya sekurang kurangnya menurut penalaran local melakukan "lampah" tapa brata, pamatiraga (seperti petunjuk Ki Ageng Suryamentaram, dalam Ryan Sugiarto, Psikologi Raos). Dan Abdullah Ciptoprawiro, Filsafat Jawa, (Balai Pustaka, Jakarta, 1986) memberikan istilah ini : dengan Manunggaling Kawula lan Gusti sebagai lampah menuju Ens Tertinggi dan dengan demikian mencapai pengertian utuh dan mutlak, kebijaksanaan, "kawruh sangkan paraning dumadi" dalam memperoleh kesempurnaan hidup.

Ada tingkat-tingkat "lampah" menuju 'Manunggaling kawula lan Gusti' dengan menyempunakan Cipta -- Raos - dan Karsa dalam pribadi manusia demikian :

  • Raos saking pancadriya : (rasa diperoleh dari pancaindera) hasilnya Ketemu Aku
  • Raos wening : hasilnya manunggaling Cipta Rasa Karsa
  • Raos pribadi : hasilnya menemukan manunggaling Ingsun, Suksma sejati, self consciousness
  • Raos Rohani : hasilnya menemukan Aku Pribadi Suksma kawekas.

Dari bicara tentang Sangkan Paraning dumadi hingga "manunggaling Kawula lan Gusti" dalam perguruan di Jawa kadang di sebut ilmu klenik. Ilmu yang disampaikan secara pribadi dan ada konotasi negatip, sebagai non ilmiah dan mengarah kepada filsafat moral atau ajaran tuntunan hidup yang benar .

Mengenai hal ini saya mempunyai catatan pustaka yang kuat mengisyaratkan buku itu akan mencoba meng ilmiahkan Ajaran Jawa ini. Ryan Sugiarto.SPsi.,M.A. menulis buku berjudul : "Psikologi Raos, Saintifikasi Kawruh Jiwo Ki Ageng Suryomentaram" (Pustaka Ifada,Yogyakarta,2015). Demikian pula bisa disebut karya Ki Abdul Kholik,SPsi, M.A. berjudul "Psikoterapi Jawa -  Pendekatan Kawruh Jiwa K.A Suryamentaram. Sebuah Pengantar". Masih didukung oleh penulisan Ki Setyo Hajar Dewantoro, sesepuh Padepokan Pengging dan pendiri pelatihan "Training Medseba", bukunya berjudul "Suwung-Ajaran Rahasia Leluhur Jawa".  

Dari kata-kata : Ajaran Rahasia Leluhur, Psikoterapi, Kawruh Jiwa ( Psikologi = ilmu jiwa), Saintifikasi, membuat mantab tudingan awal kurangnya ilmiah Metafisika Jawa, Filosofi Jawa, bahkan metafisika yang terhubung dengan upaya terapi, penyembuhan badan seperti itu. Apa yang kurang ilmiah diupayakan saintifikasi.

Klenik berarti berbisik. Pengajaran Metafifika Jawa disampaikan dengan berbisik. Suatu tudingan kurangnya ilmiah, kurang terbuka untuk semua menjadi kurang validnya keilmuan. Pada hal sebenarnya masalahnya terletak pada cara pendekatan, cara transfer pengetahuan bukan pada pengetahuannya. Relasi dan komunikasi, hubungan guru murid itu tidak harus menjatuhkan relevansi dan obyektivitas ilmunya.

Kebiasaan hubungan guru dan siswa yang erat dekat dan menyentuh pribadi itu juga disebabkan oleh tuntutan sisi lain dari kawruh itu sendiri. Pemahaman terhadap kebenaran realita yang mau diajarkan itu pun tidak cukup dicapai dengan dan oleh penalaran ratio, tetapi perlu mengalami dan atau dengan indera batin (Raos , inner experience). Segala sesuatu yang dicapai oleh inderawi mudah dirumuskan dengan kata sederhana, tetapi hasil dari oleh batin, olah rasa, inner experience, disampaikan dengan metafora, syombol2 dan perumpamaan.  

Methoda pembatinan ilmu terhadap obyek yang semakin dalam semakin rohani seperti jagat alit, Dhat Yang Maha Sempurna, Maunggaling kawula Gusti, (semuanya sungguh realita obyektif) dan bertemu dengan siswa yang berbeda beda kemampuan dan latar belakangnya hubungan pribadi akrab tidak bisa dihindari. Mereka juga perlu ada pembinaan manekung (meditasi dan refleksi), tapa brata, tepa slira untuk mencapai ilmu sejati, menjadi manusia sesungguhnya manusia.   

Filosofi Sangkan Paran, Manunggaling Kawula Gusti, Alam Semesta, Semesta Alam, Suwung, Harmonisasi jagat alit lan jagat ageng, Alam semesta yang tertata rapi, hirarkis, selaras, seimbang, semua merupakan sasaran Metafisika Jawa dan Ajaran moralitas orang Jawa.

Dan itu telah dalam jangka waktu lama, sehingga menjadi tampak dalam type budaya dan perilaku Jawa. Tidak jarang orang bingung lebih setia kepada budayanya daripada iman kepercayaannya. Budaya dan kebiasaan dibawah ini kiranya bisa menjadi cerminan filosofi Jawa seperti diutarakan dimuka. Yaitu seperti tampak pada perilaku kebiasaan atau adat ini :

  • Sopan Santun,  Unggah-ungguh dalam bahasa dan perilaku. Mau mengikuti hierarki di alam raya.
  • Kebiasaan gotong royong menunjukkan kebersamaan dan hamonisasi alami.
  • Nasehat dan petunjuk untuk "Eling lan waspada", agar kita selalu bertanya sebagai refleksi tentang Sangkan Paran dst. .
  • Nasehat dan petunjuk peringatan agar kita memiliki hati tepa slira, menunjukkan pentingnya keadaan yang harus serba selaras dan seimbang.
  • Nasehat dan petunjuk agar kita bisa "Sumeleh" pasrah percaya kepada kodrat wiradat Kersaning Gusti Hyang Maha Tahu.
  • Nasehat menghormati dan melaksanakan semua kebiasaan tradisi yang diwariskan oleh nenek moyang.
  • Supaya kita bisa sampai pada tahapan kebiasaan suci warisan nenek moyang itu yaitu bisa selalu "Eling lan Waspada", "Tepa slira", sarta "Sumeleh", kita perlu membiasakan diri "manekung",(refleksi lan meditasi), masuk ke suasana hening ska damai.(lumebet swasana wening).

Demikian cita cita nenek moyang. Tetapi kenyataan budaya semakin tidak diminati. Pecinta budaya kadang dianggap orang yang tidak mau maju.

O Tempora O Mores...... (Sebelum tahun Masehi, Senator Kerajaan Romawi, ahli pidato pusing dengan perkembangan zaman saat itu dia berseru,: O Zaman O Budaya.) (aspirasi : Abdullah Ciptoprawiro, Filsafat Jawa, Balai Pustaka Jakarta, 1986, )

Ganjuran , 1 Suro 1951. Emmanuel  Astokodatu

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun