Mohon tunggu...
Emmanuel Astokodatu
Emmanuel Astokodatu Mohon Tunggu... Administrasi - Jopless

Syukuri Nostalgia Indah, Kelola Sisa Semangat, Belajar untuk Berbagi Berkat Sampai Akhir Hayat,

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Filosofi Sangkan Paran

27 September 2017   16:45 Diperbarui: 27 September 2017   16:51 2477
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kebiasaan hubungan guru dan siswa yang erat dekat dan menyentuh pribadi itu juga disebabkan oleh tuntutan sisi lain dari kawruh itu sendiri. Pemahaman terhadap kebenaran realita yang mau diajarkan itu pun tidak cukup dicapai dengan dan oleh penalaran ratio, tetapi perlu mengalami dan atau dengan indera batin (Raos , inner experience). Segala sesuatu yang dicapai oleh inderawi mudah dirumuskan dengan kata sederhana, tetapi hasil dari oleh batin, olah rasa, inner experience, disampaikan dengan metafora, syombol2 dan perumpamaan.  

Methoda pembatinan ilmu terhadap obyek yang semakin dalam semakin rohani seperti jagat alit, Dhat Yang Maha Sempurna, Maunggaling kawula Gusti, (semuanya sungguh realita obyektif) dan bertemu dengan siswa yang berbeda beda kemampuan dan latar belakangnya hubungan pribadi akrab tidak bisa dihindari. Mereka juga perlu ada pembinaan manekung (meditasi dan refleksi), tapa brata, tepa slira untuk mencapai ilmu sejati, menjadi manusia sesungguhnya manusia.   

Filosofi Sangkan Paran, Manunggaling Kawula Gusti, Alam Semesta, Semesta Alam, Suwung, Harmonisasi jagat alit lan jagat ageng, Alam semesta yang tertata rapi, hirarkis, selaras, seimbang, semua merupakan sasaran Metafisika Jawa dan Ajaran moralitas orang Jawa.

Dan itu telah dalam jangka waktu lama, sehingga menjadi tampak dalam type budaya dan perilaku Jawa. Tidak jarang orang bingung lebih setia kepada budayanya daripada iman kepercayaannya. Budaya dan kebiasaan dibawah ini kiranya bisa menjadi cerminan filosofi Jawa seperti diutarakan dimuka. Yaitu seperti tampak pada perilaku kebiasaan atau adat ini :

  • Sopan Santun,  Unggah-ungguh dalam bahasa dan perilaku. Mau mengikuti hierarki di alam raya.
  • Kebiasaan gotong royong menunjukkan kebersamaan dan hamonisasi alami.
  • Nasehat dan petunjuk untuk "Eling lan waspada", agar kita selalu bertanya sebagai refleksi tentang Sangkan Paran dst. .
  • Nasehat dan petunjuk peringatan agar kita memiliki hati tepa slira, menunjukkan pentingnya keadaan yang harus serba selaras dan seimbang.
  • Nasehat dan petunjuk agar kita bisa "Sumeleh" pasrah percaya kepada kodrat wiradat Kersaning Gusti Hyang Maha Tahu.
  • Nasehat menghormati dan melaksanakan semua kebiasaan tradisi yang diwariskan oleh nenek moyang.
  • Supaya kita bisa sampai pada tahapan kebiasaan suci warisan nenek moyang itu yaitu bisa selalu "Eling lan Waspada", "Tepa slira", sarta "Sumeleh", kita perlu membiasakan diri "manekung",(refleksi lan meditasi), masuk ke suasana hening ska damai.(lumebet swasana wening).

Demikian cita cita nenek moyang. Tetapi kenyataan budaya semakin tidak diminati. Pecinta budaya kadang dianggap orang yang tidak mau maju.

O Tempora O Mores...... (Sebelum tahun Masehi, Senator Kerajaan Romawi, ahli pidato pusing dengan perkembangan zaman saat itu dia berseru,: O Zaman O Budaya.) (aspirasi : Abdullah Ciptoprawiro, Filsafat Jawa, Balai Pustaka Jakarta, 1986, )

Ganjuran , 1 Suro 1951. Emmanuel  Astokodatu

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun