Mohon tunggu...
Emmanuel Astokodatu
Emmanuel Astokodatu Mohon Tunggu... Administrasi - Jopless

Syukuri Nostalgia Indah, Kelola Sisa Semangat, Belajar untuk Berbagi Berkat Sampai Akhir Hayat,

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Disorientasi Bangsa

17 Mei 2017   07:32 Diperbarui: 17 Mei 2017   09:20 277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Makna obyektip disorientasi : “tanpa arah” ,

makna yang dinamis: melihat kebelakang: “kehilangan arah”,

melihat kedepannya : “ngawur” atau “asal jalan”.

Pada tg 23 Maret 2010, 05:36:00 Diperbarui: 26 Juni 2015 17:15:20, saya menulis kalimat diatas,di Kompasiana ini.Kata2 mungkin tidak pas tetapi Dibaca : 961.  (Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/ astokodatu/disorientasi_54ff9b96a33311f94b510a46) Saya menulis saat itu setelah saya mengikuti tiga kasus yang menggelitik. Pertama satu laporan wawancara, seorang jurnalis senior dengan Bp.Uskup Jakarta berbincang tentang menurunnya gairah kaum muda dalam “berpolitik”. Kedua laporan dan berita oleh Lucas Adi Prasetya dan Irene Sarwinaningrum, Kompas17/03/2010, huruf J.; Gelanggang, berjudul “Aksi Mahasiswa dan Disorientasi Gerakan”. Dan ketiga saya sendiri mengamati sekitar tiga dari sepuluh kelompok kelompok kecil kaum muda di Jateng DIY yang bergerak sebagai petani muda.

Pada tg 09 April 2015 17:54:17 Diperbarui: 17 Juni 2015 08:19:46 rasanya hati ini digeluitik lagi oleh situasi memanas paska Pilpres 2014. Demikian sehingga saya menulis dengan judul : “Misteri Keseimbangan, ngono yo ngono, ning ojo ngono”,   dalam rangka menjawab pertanyaan ini :

  • Apa yang sebenarnya terjadi,
  • Mengapa terjadi dan (ada disorientasi)
  • Upaya apa untuk menciptakan Keseimbangan, Keselarasan Alam, dan Kepatutan perilaku.
  • Masa yang lalu tak perlu dibahas kembali. Saya hanya menegaskan untuk dicari alternatip sikap sebagai solusi permasalahan social, dengan : “memahami apa yang terjadi, mengapa terjadi, dan solusi :  WW solution”.  (Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/ astokodatu/misteri-keseimbangan-ngono-yo-ngono-ning-ojo-ngono_ 5535a50c6ea8347a13da4311)
  • Disamping itu saat ini tergelitik oleh kesombongan intelektual seorang pakar perguruan tinggi yang mengecilkan menghina penulis di medsos yang membaca beberapa status di Facebook telah berani beropini. Saya kira lontaran di salah satu siaran TV tg.130517 dari pakar itu merupakan juga opini yang ikut “meramaikan medsos”. Bukankah para pelontar opini itu seharusnya bertanggung jawab atas kebenaran lontarannya  meski berbeda beda focus dan tujuan mereka yang dilatar belakangi masing masing kepentingan dan kompetensi. Sementara media Facebook membuka peluang bagi semua jenjang pendidikan bahkan hoby dan kelompok pertemanan yang berhak atas persepsi, hati dan ekspresinya terhadap realita fenomena yang sama sama kita alami, kita saksikan.
  • Sekarang ini sebenarnya tidak sulit untuk menemukan statement statement yang di medsos yang mengaku paling benar paling uptodate tentang orang dan kondisi paling actual. Saya ingin pembaca menghayati itu. Oleh sebab itu saya justru ingin mengemukakan dua tiga kutipan, untuk membuktikan adanya fenomena yang mengesan bagi banyak orang. Dengan demikian kutipan itu saya ambil agar pembaca ikut merasakan apa yang terjadi dibalik yang terkutip. Jadi bukan masing masing substansi kata2 kutipan itu sendiri. Dan ini saya petik dari dua pakar intelektual, dua dari ibu-ibu. Dari sana baru opini saya dan kesimpulan pembelajarannya.
  • Mengantar sebuah tautan di Kompasiana Rekan Thamrin Dahlan menulis frase ini :  “Ditengah kebingungan saya mencari yurisprudensi dan referensi ketika menyaksikan tragedy budaya yang terjadi di Jakarta. (Th.D.tg. 110517)”
  • Apa yang dituliskan itu bagi saya itu fenomena (sebuah realita yang boleh dimaknai) :
  • Kebingungan (bisa bingungnya sendiri bisa bingungnya banyak orang)
  • Mencari yuris prudensi dan referensi (sebuah upaya cari jawab/solusi)
  • “Tragedi budaya” (rupanya kejadian di Jakarta dan dicari istilah non sara)
  • Tamrin Dahlan menyaksikan….lalu bersaksi…  (seorang yang saya kenal mantan perwira polri,sosiawan, pendidik).

Seorang Kompasianer/Facebooker  A.Boediman La Ede menulis : 

“Quote malam ini “ketika ada orang mengatakan bahwa Anda tidak cerdas sesungguhnya orang itu sedang membicarakan dirinya”, tg.10-05-17) Quote adalah semacam “catatan yang merangkum banyak pembicaraan, lontaran opini . Dengan Rangkuman itu A.Boediman menghadirkan diri sebagai pemberi “gagasan” bagi anda (pembaca) supaya  paham bila ada yang menganggap kita bodoh itu sebenarnya menunjukkan pembicara itu sedang mengakui dirinya bodoh. Ini suatu gambaran terjadinya dialog diforum itu yang mencerminkan sikap saling pembodohan dan berolok olok. Orang yang tidak mempunyai sens of humor bisa konyol, marah. 

Masih oleh penulis yang sama kesempatan berikutnya menulis : “ Quote sore ini 12/05/2017 : "jika cuma saya yg kau hina no problem.  tapi jika Agamaku yg kau hina bukan cuma saya yg marah!" Disini masuk fenomena marah dan agama. Kebencian dan sara. Itu fenomena. Itu respon atas fenomena.

Dua pribadi pria berreputasi dan tentu dari kalangan intelektual telah saya hadirkan. Berikut dua orang perempuan masuk dalam pengamatan saya ini :

Seorang Betty Dwiningsih pun membuat curhat yang sedih kecewa marah, katanya dan  itu hal biasa yg suka dirasakan oleh manusia, tetapi yg menyebabkan menjadi tidak biasa adl bagaimana sikap kita selanjutnya.....(status Facebooknya tg 110517)

Ibu sebuah keluarga  menulis pula dihari yang sama melontar kata kata yang bernada pernyataan tidak nyaman. Ada yang sibuk menebar kebencian : dst dengan menyebut adanya amarah, dendam, bingung , tumpengan, fitnah sana fitnah sini , katanya.  (Mimin Mumet tg 110517)

Terhadap pemandangan semua itu saya merespon dengan menjawab quote rekan A.Boediman La Ede di tanggal 12 itu, demikian : “Dari quote anda itu masih bernada ada perasaan permusuhan curiga dan pasang kuda2.....” dan dijawab pula olehnya : “awalnya semua baik2 saja......(krn ada yg memulai) maka hukum aksi dan reaksi spontan bekerja....”

Tidak perlu diherankan bila sangat sering lewat dimuka kita berita palsu bahwa tokoh tertentu dikatakan membuat sebuah pernyataan. Padahal tidak. Seperti Uskup Jakarta membuat pernyataan yang berbau politis. Kemudian disusul oleh klarifikasi dari lembaga Keuskupan sendiri bahwa Uskup tidak pernah membuatnya. Sementara itu juga memang MUI membuat pernyataan apresiatip tentang pembubaran HTI oleh Pemerintah. Dan disusul sebuah Pernyataan Keprihatinan dari sebuah Komisi dari Konperensi Wali Gereja Indonesia.

Perkembangan demikian cepat kemarin ternyata Presiden Jokowi diberitakan “tiba-tiba” mengundang pertemuan dengan para petinggi umat beragama resmi di Indonesia. Presiden menghimbau, dan para petinggi agama menyatakan komitment untuk diupayakan mencegah perpecahan, sebaliknya menjaga persatuan bangsa, NKRI, dengan Pancasila dan UUD 1945. Presiden juga menginstruksikan agar Kepolisian serta TNI bertindak tegas terhadap pelanggaran hokum dinegeri ini.

Saya merasa tampaknya peristiwanya sudah diujung kesudahan. Akan tetapi menyudahi semua peristiwa fenomenal tersebut diatas tidak semudah membuat tanda tangan diatas kertas putih. Kertas kita sudah penuh dengan corat coret psikologis dan masal massif.

Maka ada dalam catatan saya sebagai berikut :

  • Ada sekat2 sosial, Relasi social terbelah, oleh agama, etnis, aliran politik ; kebersamaan renggang, Pancasila dan NKRI terancam. Merupakan fenomena psikologis massa yang saya sebut Disorientasi bangsa. Kehilangan jati diri, kesetiaan terhadap komitmen awal.
  • Salah satu akar dari situasi itu adalah Pengkotakan, dikotomi kelompok dengan
     dua kata ini yang sungguh membuat ngeri dan sekarang jadi blown-up lagi akibat kasus Ahok : "mayoritas minoritas", dilengkapi dengan "intoleransi-tanpa tahan diri-tau diri, atas dasar kebebasan mengemukakan aspirasi" jadi semakin pas saja dengan memaksakan kehendak.
  • Apriori yang saya rasa sebobot dengan penistaan agama ialah istilah kafir untuk non muslim. Dari pihak seberang menyatakan Ahoker itu pendukung NKRI, seakan yang non Ahoker pasti non NKRI.
  • Toleransi secara psikologis memuat rasa dan sikap siap menerima beban, menahan diri pada situasi tertentu untuk tidak menyatakan, meski itu kebenaran demi kedamaian. Toleransi selalu bertujuan positip dan memang sikap positip bukan kekalahan.
  • Dosa Diam secara moral adalah pembiaran terhadap sikap dan situasi amoral atau situasi yang merugikan kepentingan bersama. Pemuka Agama bisa berdosa diam bila membiarkan intolerasi, pengkotakan yang apriori, atau yang lain yang sudah menjadi himbauan keprihatinan Presiden didepan para pemuka agama.

Menutup pemikiran ini perlu kiranya ada penegasan tentang Disorientasi Bangsa ini yang harus menuju Reorientasi dengan pendekatan damai, permaafan yang minim perdebatan, serentak dengan keteladanan para pemuka dan pemimpin. Semua mulai dari diri sendiri dan atau dalam kelompok, dengan harapan lainnya menyusul.

Semoga bermanfaat. Pembaca yang budiman, tolong terima salam hormat saya.

Ganjuran, 17 Mei 2017. Emmanuel Astokodatu.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun