Terhadap pemandangan semua itu saya merespon dengan menjawab quote rekan A.Boediman La Ede di tanggal 12 itu, demikian : “Dari quote anda itu masih bernada ada perasaan permusuhan curiga dan pasang kuda2.....” dan dijawab pula olehnya : “awalnya semua baik2 saja......(krn ada yg memulai) maka hukum aksi dan reaksi spontan bekerja....”
Tidak perlu diherankan bila sangat sering lewat dimuka kita berita palsu bahwa tokoh tertentu dikatakan membuat sebuah pernyataan. Padahal tidak. Seperti Uskup Jakarta membuat pernyataan yang berbau politis. Kemudian disusul oleh klarifikasi dari lembaga Keuskupan sendiri bahwa Uskup tidak pernah membuatnya. Sementara itu juga memang MUI membuat pernyataan apresiatip tentang pembubaran HTI oleh Pemerintah. Dan disusul sebuah Pernyataan Keprihatinan dari sebuah Komisi dari Konperensi Wali Gereja Indonesia.
Perkembangan demikian cepat kemarin ternyata Presiden Jokowi diberitakan “tiba-tiba” mengundang pertemuan dengan para petinggi umat beragama resmi di Indonesia. Presiden menghimbau, dan para petinggi agama menyatakan komitment untuk diupayakan mencegah perpecahan, sebaliknya menjaga persatuan bangsa, NKRI, dengan Pancasila dan UUD 1945. Presiden juga menginstruksikan agar Kepolisian serta TNI bertindak tegas terhadap pelanggaran hokum dinegeri ini.
Saya merasa tampaknya peristiwanya sudah diujung kesudahan. Akan tetapi menyudahi semua peristiwa fenomenal tersebut diatas tidak semudah membuat tanda tangan diatas kertas putih. Kertas kita sudah penuh dengan corat coret psikologis dan masal massif.
Maka ada dalam catatan saya sebagai berikut :
- Ada sekat2 sosial, Relasi social terbelah, oleh agama, etnis, aliran politik ; kebersamaan renggang, Pancasila dan NKRI terancam. Merupakan fenomena psikologis massa yang saya sebut Disorientasi bangsa. Kehilangan jati diri, kesetiaan terhadap komitmen awal.
- Salah satu akar dari situasi itu adalah Pengkotakan, dikotomi kelompok dengan
dua kata ini yang sungguh membuat ngeri dan sekarang jadi blown-up lagi akibat kasus Ahok : "mayoritas minoritas", dilengkapi dengan "intoleransi-tanpa tahan diri-tau diri, atas dasar kebebasan mengemukakan aspirasi" jadi semakin pas saja dengan memaksakan kehendak. - Apriori yang saya rasa sebobot dengan penistaan agama ialah istilah kafir untuk non muslim. Dari pihak seberang menyatakan Ahoker itu pendukung NKRI, seakan yang non Ahoker pasti non NKRI.
- Toleransi secara psikologis memuat rasa dan sikap siap menerima beban, menahan diri pada situasi tertentu untuk tidak menyatakan, meski itu kebenaran demi kedamaian. Toleransi selalu bertujuan positip dan memang sikap positip bukan kekalahan.
- Dosa Diam secara moral adalah pembiaran terhadap sikap dan situasi amoral atau situasi yang merugikan kepentingan bersama. Pemuka Agama bisa berdosa diam bila membiarkan intolerasi, pengkotakan yang apriori, atau yang lain yang sudah menjadi himbauan keprihatinan Presiden didepan para pemuka agama.
Menutup pemikiran ini perlu kiranya ada penegasan tentang Disorientasi Bangsa ini yang harus menuju Reorientasi dengan pendekatan damai, permaafan yang minim perdebatan, serentak dengan keteladanan para pemuka dan pemimpin. Semua mulai dari diri sendiri dan atau dalam kelompok, dengan harapan lainnya menyusul.
Semoga bermanfaat. Pembaca yang budiman, tolong terima salam hormat saya.
Ganjuran, 17 Mei 2017. Emmanuel Astokodatu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H