“ Sejak kakek masih kecil didesa kelahiran Kakek (bukan Desa Rangkat), ada sekitar 7 orang sakit ingatan, disebut orang gila, sepanjang beberapa puluh tahun itu, masyarakat selalu bersikap mengawasi, menjaga, mengawasi dan melindungi dari kenakalan anak-anak. Pemerintah desa mengirim ke RS Jiwa.”
“Di tempat wisata ada wanita tuna susila, dikontrol dalam rangka juga mengawasi dari penyakit kelamin…”
“Sampai sekarang semua orang melihat, mendengar, merekam dalam hati masing2”
“Disana ada fakta, ada mata masyarakat, ada mata pemuka agama, ada pemerintah, ..”
“Pada fakta ada manusia, ada perilaku, ada penyakit, ada status, ada hak ada dampak”.
“Berfikir tentang dampak, harus melihat adanya perkembangan teknologi komuniksi dan bisnis hiburan.”
“Berfikir tentang penyakit jiwa (dampak berupa kekerasan yang membawa kurban, dampak moral yang membawa pemandangan mesum terbuka). Bahwa keadaan sakit jiwa itu tetap saja seorag pasien.”
Berjikir tentang penyakit jiwa kita merekam bahwa ada pula penyakit jiwa rohani, penyakit moral garapan Pembina agama. Namun seperti kasus Mirna, apabila bisa dibuktikan Yasika sebenarnya penyandang gangguan jiwa sebenarnya temaptnya bukan penjara. Dalam hukum alam ada penyimpangan alami, dan anomala, maka penyimpangan kecenderungan yang bagi umum itu pantas dan layak, bagi penderita “kegilaan” menjadi bagian dari dirinya yang harus dieksis kan..”
“Anomala dan penyimpangan hasrat seksual seharusnya harus mendaptkan pembinaan yang solutif dan tidak asal “gebug” hokum dan penjara yang tidak akan membuat jera, alih menjadi fakultas tingkat S2 atau S3.”
“Diaspirasi oleh HOSS, melihat, mendengar, merekam, dan merefleksi kasus Gafatar Kakek menyimpulkan bahwa Pemerintah dan Pimpinan Agama sudah ada sinkronisasi dan kerjasama, tetapi Gafatar yang meminjam nama/istilah agama, mengundang sikap “mengatur” dan menguasai, bisa menjadi preseden untuk yang serupa. Jangan ada yang mengulang. Sementara terhadap fenomena LGBT kelompok agama telah bicara keras, dan bila tidak diatur oleh yang berwenang dan bijaksana kasus atau persoalan itu akan memperoleh jawaban yang tidak logis, tidak solutif. Sebab upaya itu menyentuh prinsip dan nantinya system. (siapa dan sejauh mana dibaik buruk diikat dan ditentukan).
Melihat Mendengar Menyaksikan Merekam Marenung……..inilah belajar. Biar tanpa kawan…….. menelisik substansi dan eksistensi. Sambil menanti hadir di Gubug Mimpi.
Salam hormatku,
Ganjuran, 14 Februari 2016, Emmanuel Astokodatu.
Bacaan :
1. Kembali Fatwa Sesat MUI: Bangsa, Orang atau Kelompok yang Tersesat?
2. LGBT, Bagaimana Sebaiknya Kita Harus Bersikap?
3. http://www.kompasiana.com/wepe/rabu-abu-menyangkal-diri-lalu-selfie_ 54f34b52745513a
4. Masalah (Kedaluwarsa Bukti Filsafat Ilmu) Indonesia
5. hari orang sakit sedunia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H