BEDAH DIRI 2.
Dalam kebudayaan manusia ada yang disebut permainan. Dalam permainan nyata sekali ada unsur daya cipta, rasa, dan karsa yang diramu secara khusus. Disana ada kehidupan yang murni. Seperti itu anak-anak berlatih untuk kehidupan keras yang nanti harus di dihadapi disaat sudah dewasa. Tetapi disaat berlatih itu kekerasan belum sungguh-sungguh.
Permainan anak mempunyai arti untuk semangat hidup, semangat juang, semangat menang, semangat lebih, tetapi bebas, tanpa tekanan, sebaliknya justru senang, suka, gemar. Prof.Dr.N.Drijarkoro SJ menyebut dua unsur dalam permainan sebagai EROSdanAGON. (Drijarkoro SJ.Prof.Dr.,Filsafat Manusia, Yay.Kanisius Yogyakarta. 1969. hal.71.) Eros memberi warna kesukaan, kecintaan dalam permainan, yang tak terpisahkan dari Agon yang memberi warna permainan itu penuh perjuangan dan semangat untuk menang. Ada kemenangan-kemenangan yang diukur secara fiktifdalam permainan.
Dalam perkembangan zaman permainan dikembangkan lebih berbudaya seperti dalam olahraga. Sejak zaman dahulu Negara2 kota dikawasan Yunani membudayakan permainan olahraga di kota Olimpiade. Hingga sekarang permainan dengan bolapun menjadi perkara dunia. PSSI dan FIFA bersitegang, lantaran Kongres PSSI yang gagal.
Nilai fiktif itu dalam permainan menjadi hal yang sangat penting sedemikian rupa sehingga Bapak Prof Drijarkoro itu menutup tulisannya dengan pesan ini (disalin bukan dicopy, J) :
BERMAINLAH DALAM PERMAINAN
TETAPI JANGANAH MAIN-MAIN.
MAINLAH DENGAN SUNGGUH-SUNGGUH
TETAPI PERMAINAN JANGAN DIPERSUNGGUH.
KESUNGGUHAN PERMAINAN
TERLETAK DALAM KETIDAKSUNGGUHANNYA,
SEHINGGA PERMAINAN YANG DIPERSUNGGUH,
TIDAKLAH SUNGGUH LAGI.
MAINLAH DENGAN EROS,
TETAPI JANGANLAH DIPERMAINKAN EROS.
MAINLAH DENGAN AGON,
TETAPI JANGANLAH MAU DIPERMAINKAN AGON
BARANGSIAPA MEMPERMAINKAN PERMAINAN,
AKAN MENJADI PERMAINAN PERMAINAN
BERMAINLAH UNTUK BAHAGIA
TETAPI JANGANLAH MEMPERMAIKAN BAHAGIA.
Kutipan tersalin diatas dapat menggerakkan anda berfikir tentang PSSI, silahkan. Tetapi saya sedang suka dengan “permainan” fiksi dalam sastra. Bahkan dalam seni sastra lama saya kira ciptaan sastra didominasi oleh bentuk karya sastra tentang hal yang fiktif: humor, dongeng, cerpen, prosa dan puisi dsb. Mari kita pikirkan karya tulis di Kompasiana saja. Cipta rasa dan kreasi Kompasianer dengan opini tidak kurang dibidang pendidikan, kesehatan, filsafat, politik, tetapi tidak sedikit pula penggemar fiksi dan humor. Maka saya ingin bermain bersama Prof Drijarkoro dengan manipulasi puisi diatas sbb.:
Bermainlah dalam permainan fiksi
Tetapi janganlah main-main.
Bermainlah fiksi dengan sungguh-sungguh
Tetapi jangan menganggap fiksi itu sungguhan.
Kesungguhan bermain fiksi
Terletak pada kesadaran bahwa fiksi itu sungguh fiktip
Sehingga kesungguhan fiksi yang dipersungguh
Tidak fiksi yang sungguhan.
Barangsiapa mempermainkan bermain fiksi
Akan menjadi permainan dari karya fiksi sendiri,
Bermainlah fiksi untuk kelegaan kebahagiaan
Tetapi jangan mempermainkan kebahagiaan.
BEDAHLAH HATI KARYA FIKSI ANDA SENDIRI,
JANGAN BERMAIN FIKSI DENGAN KEBOHONGAN DIRI.
Tulisan saya sebelum ini, sebenarnya satu seri pemikiran berlanjut :
21/05/2011 22:54 CUCI OTAK : PENGALAMAN SAYA
22/05/2011 12:45 Cari Aku yang Memanggilmu
24/05/2011 14:00 Mau Mengenal Lifestyle Teman
31/05/2011 09:18 KAKAK DAN ADIK
01/06/2011 12:27 Manusia, Sombong Mu Gak Ketulungan… (Bedah Diri 1)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H