Mahsa Amini adalah perempuan dari Iran yang berusia 22 tahun dirinya dikabarkan koma berhari - hari setelah ditangkap polisi moral di negaranya sendiri.
Alasannya karena dirinya tidak mengenakan jilbab dengan benar meskipun menggunakan baju panjang berwarna hitam seperti gamis.
Hal ini membuat saya kembali teringat tentang Islamofobia dimana para perempuan islam dipaksa melepaskan jilbab akibat kejadian teroris di Amerika Serikat sehingga banyak perempuan islam yang harus menanggalkan jilbabnya agar tidak di diskriminasi.Â
Ini bukan tentang bagaiman islam memandang jilbab atau hijab sebagai kewajiban dalam agama atau perdebatan tafsir tentang hijab dan jilbab yang setiap ulama memiliki perbedaan pendapat.
Namun ini tentang bagaimana manusia memiliki pilihan atas apa yang dipakainya.Â
Pemaksaan adalah bentuk kediktaktoran yang nyata entah di negara barat atau di negara islam seperti yang terjadi di Iran, seolah hak dan kebebasan sebagai seorang muslim dirampas meyakini keyakinannya mungkin saja berbeda dengan yang lain.
Pemaksaan adalah bentuk terorisme itu bukanlah wajah islam yang sebenarnya apalagi jika kita mendengar bagaimana Rasulullah SAW berdakwah maka akan sangat jauh berbeda apa yang dilakukan di jaman sekarang.
Islam seolah berjalan mundur dari peradaban ketika agama yang lain fokus dalam pengembangan teknologi untuk menyelamatkan manusia.
Jika dilihat ini akibat terpecahnya islam menjadi beberapa golongan namun terlepas dari itu kemanusiaan adalah dasar manusia itu sendiri tidak mengenal golongan dan agama apapun.Â
Bagaimana rasanya agama yang diyakini dalam hidupnya membuat banyak luka sehingga kepercayaan dalam beragamanya pudar akibat dari perbuatan orang - orang yang tidak bertanggung jawab.
Seperti pemaksaan berjilbab di Iran atau pemaksaan berjilbab di sekolah.
Yang lebih aneh lagi mengapa sekolah negeri di Indonesia harus mewajibkan berjilbab dalam aturan sekolahnya?Â
Padahal pada dasarnya sekolah negeri adalah sekolah umum dimana sekolah tersebut didirikan oleh negara dan aturannya diatur oleh pemerintah setempat.
Tentu saja fasilitas yang diberikan negara harus netral karena Indonesia bukanlah negara dengan satu agama dan kebudayaan tapi beragam kepercayaan.
Kembali lagi kepada traumatis dalam berislam yang akhirnya membuat orang - orang skeptis dan mempertanyakan tentang keberadaan islam rahmatan lil alamin yang sering di dengar namun tidak terlihat dalam dunia nyata.
Rasa kedamaian dan penuh cinta tidak terasa secara realita dalam kehidupan yang ada hanya kebencian yang menggrogoti hati, mungkin itu yang dirasakan perempuan Iran saat ini.
Sebuah negara tentu saja tidak boleh kaku dalam memberikan kebijakan ia harus mendengar suara masyarakatnya atau bahkan tentang peraturan sekolah yang seharusnya di diskusikan bersama dengan para murid dan orangtuanya.Â
Kebijakan itu diambil atas dasar suara rakyatnya suara orang - orang yang akan menjalaninya dan tentu saja utamakan rasa kemanusiaan dan kesepakatan bersama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H