Mohon tunggu...
Asti Sundari
Asti Sundari Mohon Tunggu... Lainnya - Berfikir adalah salah satu cara bersyukur telah diberi akal. Sebab keunggulan manusia dari akalnya.

Nikmatilah proses yang ada, karena setiap proses yang dilalui mengajarkan banyak hal.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kepemimpinan Perempuan dalam Perspektif Islam

22 Oktober 2021   10:22 Diperbarui: 22 Oktober 2021   13:11 412
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

1. Warga negara Mesir;

2. Keturunan dari pasangan warga negara Mesir;

3. Tidak sedang dicabut hak politik dan hak sipilnya; dan

4. Umur minimal 40 tahun hitungan Masehi.

Perubahan pola pikir ulama Mesir terhadap keikutsertaan perempuan dalam berbagai lini kehidupan khususnya aspek politik tidaklah muncul dengan sendirinya. Akan tetapi, melalui proses yang panjang dengan perjuangan yang gigih dilalukukan oleh sejumlah pemikir-pemikir pembaharu Mesir seperti Rifa'ah al-Thahthawiy, Qasim Amin, Malak Hefni Nashif, Huda Sya'rawi dan Munirah Tsabit Musa. Mereka benar-benar melakukan aksi dalam berbagai bentuk dan gerakan demi memperjuangkan harkat dan martabat kaum perempuana yang lebih dikenal dengan istilah "emansipasi" atau "kesetaraan jender".

Al-Thahthawiy (1801-1877 M) misalnya, telah mencurahkan waktu, tenaga, dan pikirannya untuk memperjuangkan hak-hak perempuan. Ia menulis buku berjudul : al-Mursyid al-Amin li al-Banat wa al-Banin pada tahun 1872 M. Dalam buku tersebut, ia menggambarkan betapa pentingnya emansipasi wanita, namun ia tidak sepakat dengan kebebasan perempuan ala Barat. Kebebasan yang ia maksudkan adalah kebebasan dalam kerangka ajaran-ajaran Islam yang hanif.

Tokoh emansipasi wanita lainnya adalah Qasim Amin. Ia sangat gigih memperjuangkan kesetaraan jender melalui beberapa karya tulisnya antara lain : Tahrir al-Mar'ah, al-Mar'at al-Jadidah, dan Halat al-Mar'at fi al-Hay'at al-Ijtima'iyat Tabi'at li Halat al-Adab fi al-Ummah. Khusus buku Tahrir al-Mar'ah, telah menimbulkan kontroversial di kalangan masyarakat Mesir ketika itu karena dianggap sebagai propaganda penanggalan kerudung wanita.

Demikian halnya dengan para ulama di Pakistan. Pada awalnya, pandangan mereka tentang kedudukan perempuan tidak jauh berbeda dengan pandangan ulama di negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Dalam artian, pada umumnya para ulama dahulu tidak menerima keikutsertaan kaum perempuan dalam berbagai aktivitas kemasyarakatan apalagi untuk diberi kesempatan menduduki jabatan-jabatan strategis dalam pemerintahan teristimewa sebagai kepala negara atau kepala pemerintahan.

Akan tetapi, persepsi ulama Pakistan benar-benar telah berubah pasca presiden Zia-ul-Haq. Hal itu ditandai dengan terpilihnya Benazir Bhutto sebagai Perdana Menteri (kepala pemerintahan). Perubahan pandangan ulama Pakistan tentang posisi wanita tersebut tentunya tidak dapat dipisahkan dari perkembangan dan kemajuan yang dialami oleh kaum perempuan sebagai dampak dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama gerakan emansipasi wanita yang merambah dari negara-negara maju.

Tidak dapat dipungkiri bahwa kemajuan yang telah dicapai oleh perempuan tersebut telah berperan bahkan menentukan perubahan persepsi ulama Pakistan terhadap aplikasi hukum Islam khususnya mengenai kepemimpinan perempuan. Apa yang terjadi di Pakistan, juga terjadi di negara Bangladesh yang penduduknya mayoritas beragama Islam. Pada awalnya, ulama dan masyarakat Bangladesh memposisikan kaum perempuan di sana pada keadaan yang marginal. Mereka (wanita) kurang mendapatkan apresiasi (kesetaraan jender) dari ulama dan masyarakat terutama dalam mengisi posisi strategis di pemerintahan. Akan tetapi, situasinya telah berubah seiring dengan perubahan perkembangan hidup masyarakat yang semakin maju sebagai dampak dari era globalisasi dunia.

Perubahan pemikiran ulama Banglades h tentang kepemimpinan perempuan dari tidak boleh menjadi boleh ditandai dengan naiknya seorang wanita bernama Khalidah Ahmad menduduki pucuk pimpinan sebagai Perdana Menteri. Peristiwa seperti ini menunjukkan bahwa ulama Bangladesh telah menerima kepemimpinan perempuan sehingga dengan demikian, kesetaraan jender di Bangladesh benar-benar telah teraplikasikan. Perempuan tidak lagi dipandang sebagai makhluk yang rendah derajatnya dari laki-laki sehingga mengantarkan mereka pada posisi marginal dalam kehidupan masyarakat. Mereka (wanita) telah menjadi partner laki-laki yang kedudukannya setara tanpa adanya diskriminasi terhadap salah satu pihak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun