Didalam proses kehidupan dipastikan setiap manusia mengalami proses pendidikan, baik secara formal dan non formal pendidikan pasti dialami walau sedikit sekali yang paham dan mengerti hakikat pendidikan itu sendiri. Paedagogie bermakna Pendidikan, sedangkan paedagogiek berarti ilmu pendidikan.Â
Paedagogie adalah kata yang berasal dari bahasa yunani yaitu "paid" yang bermakna anak dan "ogogos" yang berarti membina atau membimbing. Jadi, secara harfiah yang dipraktikan dalam pendidikan adalah pedagogie adalah seni mengajar atau mendidik anak-anak.Â
Dapat ditarik benang merahnya bahwa pendidikan adalah proses menjadi dewasa, berarti dewasa disini menjadi manusia yang lebih baik dari sebelumnya yang asalnya tidak tahu menjadi tahu yang tidak mengerti menjadi mengerti dengan segala kemampuan dan potensinya dimana sang pendidik mempengaruhi peserta didik. Ini senada dengan yang dikemukakan oleh Ki Mohammad Said R. Yaitu handayani yang artinya "memberi Pengaruh".Â
 Dalam proses memberi pengaruh ini kita harus tahu sebenarnya apa yang menjadi tujuan pendidikan sebenarnya. Karena pada kenyataannya pendidikan seolah-olah hanya sebuah omong kosong belakang dan sekolah adalah hanya proses formalistik agar mendapat legalitas ijazah, Padahal bila kita tinjau dari tujuan pendidikan maka proses mendidik sangatlah berpengaruh dalam aspek kehidupan.Â
Seperti yang dikatakan seorang Filsuf yaitu John Dewey bahwa tujuan pendidikan adalah mengembangkan seluruh potensi yang dimiliki oleh peserta didik sehingga dapat berfungsi seacara individual dan berfungsi sebagai anggota masyarakat melalui penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran yang bersifat aktif, ilmiah, dan memasyarakat serta berdasarkan kehidupan nyata yang dapat mengembangkan jiwa, pengetahuan, rasa tanggung jawab, keterampilan, kemauan, dan kehalusan budi pekerti.Â
Jika dilihat dari pengertian pendidikan yang diutarakan Dewey bahwa ternyata pendidikan kemasyarakatanlah yang lebih penting dibandingkan pendidikan individual karena Dewey lebih mengutamakan realita kehidupan dalam bersosialisasi sebagai penentu keberhasilan proses pendidikan.Â
Bahkan dalam pengertian Dewey di pertegas dengan kata Budi Pekerti dimana nilai-nilai moral yang menjadi titik sentral bahwa pendidikan adalah proses penanaman nilai-nilai pada peserta didik.Â
 Senada dengan tujuan pendidikan Nasional, Yaitu UU sindiknas No.20 Tahun 2003 "Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.,..". Bahwa ternyata tujuan pendidikan sesungguhnya bukan hanya dalam proses kognitif saja tetapi pada wilayah afektif, sebab afektif sangatlah berpengaruh dalam kehidupan bermasyarakat.Â
Ketidak jujuran, terjadinya korupsi adalah penanaman aspek afektif yang kurang dan tidak seimbang dengan kognitif mengakibatkan banyak orang-orang terdidik dan pintar tapi korupsi. Ini menjadi PR bagi dunia pendidikan dalam mengembalikan dan menanamkan kembali tujuan pendidikan yang sebenarnya dan semestinya.Â
Â
Watak atau Karakter berasal dari kata Yunani "charassein", yang berarti barang atau alat untuk menggores, yang kemudian hari dipahami sebagai stempel atau cap. Dimana watak sebagai sebuah stempel dalam sifat-sifat yang melekat pada seseorang. Walau watak mempunyai faktor bawaan tetapi watak dapat terbentuk dari faktor eksternal.Â
Ini mengapa watak harus diajarkan kepada setiap manusia dengan menanamkan karakter atau watak maka akan terbentuk nilai moral sehingga kita dapat merasakan bermasyarakat yang aman dan tentram karena setiap orang akan berfikir kembali jika akan melakukan hal-hal yang negatif dan merugikan banyak orang karena telah tertanam nilai-nilai karakter dalam dirinya.
Â
Menurut Tadkiroatun Musfiroh, Karakter mengacu kepada serangkaian sikap, perilaku, motivasi, dan keterampilan. Karakter dalah pengaplikasian dari nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku.Â
Nilai nilai kebajikan tersebut adalah nilai moral, dan norma yang dapat di uraikan menjadi beberapa nilai nilai karakter. Ada 18 nilai yang dikembangkan pendidikan budaya dan karakter bangsa yaitu : Religius, Jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli sosial dan lingkungan serta tanggung jawab. Nilai nilai tersebut harus diterapkan disekolah sebagai pusat pembiasaan dalam membentuk karakter anak.
Â
Kita tahu Aristoteles pernah berkata bahwa manusia adalah "Zoon Politicon" yaitu hewan yang berpolitik  atau dapat diartiakan bahwa manusia membutuhkan manusia lainnya. Manusia tidak akan pernah lepas dari berinteraksi dengan sesamanya karena saling membutuhkan satu sama lain, agar tidak ada kecacatan dalam proses interaksi manusia perlu menerapkan dan memahami tentang nilai-nilai karakter.
Â
Penanaman nilai-nilai ini bisa kita lakukan melalui pendidikan, karena pendidikan adalah proses yang akan kita rasakan setiap waktunya maka pendidikan adalah cara yang tepat dalam penanaman nilai-nilai karakter. Pendidikan Karakter  memiliki makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak.Â
Tujuannya adalah membentuk pribadi anak supaya menjadi manusia, masyarakat, dan warga negara yang baik. Adapun kriteria hal tersebut secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat bangsanya. Manusia yang memiliki nilai-nilai positif yaitu bersikap jujur, toleransi, bertanggung jawab, mempunyai rasa cinta dan kasih sayang.Â
Ketika manusia hilang akan hal tersebut maka jangan heran bila terjadi keresahan di masyarakat dengan perilaku menyimpang oleh para remaja dan anak. Jadi, dapat disimpulkan bahwa pendidikan karakter adalah usaha sadar dalam mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang bermoral yaitu manusia yang peka terhadap lingkungan masyarakatnya.
Â
Guru, orangtua, masyarakat, dan pemerintah bertanggung jawab besar dalam pendidikan karakter terhadap anak. Karena kemorosotan nilai-nilai moral adalah tanggung jawab kita semua sebagai satu kesatuan elemen kemasyarakatan.Â
Jika nilai-nilai karakter rusak dalam tubuh para remaja maka akan terjadi perilaku yang menyimpang yang bahkan dapat menimbulkan keresahan masyarakat, bahkan merugikan oranglain.Â
Akhir-akhir ini sedang mewabah penyakit perilaku menyimpang di Indonesia tentang adanya Geng Motor yang merampok dan membancok orang lain yang jelas sangat berbahaya bahkan sangat meresahkan dan merugikan orang lain. Â
Pemuda yang akan menjadi penerus bangsa dalam membangun masa depan negara menjadi pemuda yang menghancurkan dirinya dan negaranya. Semakin meningkatnya angka anak berpendidikan, maka semakin maraknya juga penyimpangan penyimpangan sosial di negara ini.Â
Ini harus menjadi refleksi bersama bahwa ada yang salah dalam proses pendidikan di negara Indonesia dengan melupakan nilai-nilai moral atau nilai-nilai karakter dalam proses mendidik anak, baik oleh guru, orangtua, tetangga, dan orang orang dewasa lainnya yang ikut bertanggung jawab.
Karena pada hakikatnya manusia lahir dalam keadaan suci, baik buruknya anak tersebut tergantung pada lingkungan menurut aliran Empirisme yaitu john locke " anak lahir kedunia diumpamakan seperti kertas putih yang kosong yang belum ditulis atau dikenal dengan tabula rasa".Â
Pengalaman yang dialami oleh peserta didik atau anak adalah penentu dalam pembentukan watak anak maka lingkunganlah yang akan menulis pada kertas tersebut, sehingga dalam pembentukan karakter peserta didik adalah tanggung jawab bersama.Â
Bahkan Ki Hajar Dewantara Mengemukakan konsep Tri Centra dengan menyatakan "Di dalam hidupnya anak-anak ada tiga tempat pergaulan yang menjadi pusat pendidikan yang amat penting baginya yaitu alam keluarga, alam perguruan, dan alam pergerakan muda." jadi, hal pertama yang membentuk peserta didik adalah keluarga.
Â
Jika kita merujuk pada sekolah, apakah dalam proses penanaman nilai hanya dibebankan kepada guru Agama saja ? karena didalam sekolah yang menjadi orangtua peserta didik bukan hanya guru agama tetapi seluruh guru bahkan elemen pendidik adalah orangtua peserta didik, maka dari itu penanaman nilai harus menjadi tugas seluruh pendidik dalam mencetak anak yang bermoral. Guru dalam KBBI, bahwa sebagai orang yang pekerjaanya mengajar.Â
Sedangkan menurut bahasa Arab disebut Mu'allim dan dalam bahas inggris adalah A person whose occupation is teaching others (McLeod,1989) yang artinya guru ialah seseorang yang pekerjaannya mengajar orang lain[6].Â
Pengertian ini besifat sangat sederhana karena tidak semua guru menjadikan proses mengajar sebagai mata pencahariannya, seperti para ustadz atau ustadzah, kiyai-kiyai, pendeta dan lain-lain yang mengamalkan ilmunya tanpa meminta imbalan karena mereka juga seorang pendidik.Â
Guru yang profesional adalah guru yang mempunyai komitmen dalam untuk meningkatkan mutu pendidikan (UU sindiknas 2003 Bab XI Pasal 40 ayat 2b). Pendidik bukan hanya harus cakap dalam membentuk ranah kognitif saja tapi afektif dan psikomotorik haruslah seimbang, sebab dalam perspektif Psikologi Pendidikan mengajar pada prinsipnya berati proses perbuatan seseorang (guru) yang membuat oranglain (siswa) belajar, dalam arti mengubah seluruh dimensi perilakunya.
Â
Pendidikan kali ini lebih dominan pada mengejar pertumbuhan ekonomi dan daya saing bangsa, sehingga tidak diarahkan untuk memanusiakan manusia secara utuh lahir dan batin, tetapi lebih berorientasi materialistis, ekonomis, dan tenokratis, tidak ada sentuhan nilai-nilai moral, kemanusiaan dan budi pekerti.Â
Pendidikan lebih ditekankan pada kecerdasan intelektual, akal, penalaran tanpa diimbangi dengan kecerdasan hati, perasaan, dan emosi. Akibatnya output pendidikan terhadap nilai humanistik, keluhuran budi, dan hati nurani menjadi dangkal. Â
Pendidikan yang mengutamakan kecerdasan otak dibandingan SQ dan EQ menjadikan peserta didik manusia yang tidak bermoral. Ini dapat kita lihat tawuran antar pelajar sekolah adalah kelompok para remaja yang mengatas namakan sekolah dimana sekolah adalah tempat pembentukan peserta didik melalui nilai-nilai moral. Tidak heran banyak anak-anak muda pada zaman sekarang yang masuk pada kelompok-kelompok yang salah yaitu perilaku-perilaku menyimpang.
Â
Dalam dunia pendidikan ternyata terjadi pemisahan ilmu dimana ilmu yang membahas tentang nilai-nilai moral hanyalah ilmu agama atau Pendidikan Kewarga Negaraan sehingga ilmu-ilmu lain tidak mempunyai kewajiban dalam menanamkan nilai-nilai moral dan lebih mementingkan tentang kecerdasan intelektual atau penalaran.Â
Menurut Allport, Vernon dan Lindzey (1951) mengidentifikasi enam nilai dasar kebudayaan yakni nilai teori, ekonomi, estetika, sosial, politik dan agama.[8] Bahwa dalam proses pembentukan peserta didik kita harus memperhatikan nilai-nilai yang terkandung dalam setiap kehidupan. Jadi dalam pendidikan setiap ilmu harus mampu memberikan nilai-nilai sesuai dengan ilmunya yaitu nialai-nilai moral (nilai positif).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H