Kasus pelecehan seksual tidak hanya terjadi pada perempuan, bisa juga bisa terjadi pada laki-laki, anak-anak atau dewasa. Namun pemerintah sepertinya tutup mata soal kasus-kasus seperti ini. Mereka enggan memikirkan bagaimana keselamatan masyarakat bisa terpenuhi.
Hal ini terbukti dari draft RUU PKS yang dirubah oleh para DPR, belum lagi penanganan kasus KPI yang sangat alot sampai saat ini. Seperti hal yang sudah biasa, kasus pelecehan seksual atau kekerasan seksual memang selalu saja menjadi kasus yang alot ditangani. Banyak korban yang akhirnya menyerah dan tidak ingin menempuh jalur hukum.Â
Atau mereka mulai berani speakup dengan menggunakan sosial media sebagai senjata untuk menyerang pelaku. Tapi sepertinya itu tidaklah mudah, sebab ada UU karet yang akan menjadi senjata para pelaku untuk balik menyerang.
Seperti yang dilakukan oleh para pelaku kekerasan di KPI, mereka melaporkan balik atas pencemaran nama baik. Belum lagi investigasi tertutup internal KPI yang membuat semua orang bertanya-tanya kesungguhan KPI dalam menangani kasus ini. Sebesar lembaga KPI yang harusnya lebih paham soal isu gender , pelecehan dan kekerasan seksual, menjadi sarang dari kasus tersebut. Apakah ini juga alasan soal kinerja KPI yang selalu kontoversi?
Apa aja sih yang jadi permasalahan dalam menangani kasus pelecehan atau kekerasan seksual?
1. Bukti
Kita tahu, yang paling sulit dalam kasus kekerasan seksual dan pelecehan seksual adalah bukti yang di pegang korban. Karena rata-rata pelaku yang mempunyai bukti sebagai alat manipulatif kepada si korban.
Dan terkadang kasus seperti ini akan menyalahkan korban ketika korban tidak bertindak saat terjadinya kekerasan dan pelecehan seksual. Seolah korban tidak berupaya, padahal dalam kasus seperti ini mental korban harus menjadi perhitungan.
Bukti biasanya berupa visum yang tentunya sebagai alat bukti dipengadilan. Dan untuk mendapatkan proses ini perlu melaporkan kepada pihak kepolisian. Lalu apakabar jika para polisi enggan menanganinya?
2. Perlindungan korban
Dalam menangani kasus seperti ini sebenernya perlindungan korban adalah yang paling utama. Namun jarang sekali disadari, apalagi jika ngobrolnya keatasan sendiri. Perlindungan korban diabaikan, seperti di KPI sang atasan hanya menegur para pelaku, malah dibeberapa kasus akan menempuh jalur kekeluargaan. Mereka berfikir bahwa disakiti tanpa luka adalah biasa, padahal luka psikis juga sama berbahayanya.
3. Budaya menyepelekan
Menganggap kekerasan dan pelecehan sebagai candaan tanpa memikirkan akibatnya adalah sesuatu yang paling sering kita dengar. Menganggap sepele dan menyalahkan korban baperan dan lemah adalah suatu bentuk diskriminasi untuk korban.
Bahkan sekelas aparat aja belom tentu mendukung dalam menangani kasus begini. Mereka akan menganggap hal itu sebagai kasus internal, padahal kejadian itu terjadi di internal lembaga. Lalu korban harus berlindung disarang harimau, bukan dari petugas kepolisian sebagai pelayan masyarakat yang siap melindungi.
4. Kekuatan hukum
Kita tahu dalam penanganan kasus kekerasan dan pelecehan seksual akan menggunakan KUHP pasal pencabulan dan UU PKDRT. Namun, kekuatan hukum tersebut masih lemah ketika dikaitkan dengan kasus kekerasan dan pelecehan seksual yang tentunya sangat luas persoalannya.Â
Karena menyangkut fisik dan psikis.Â
Terkadang kekuatan hukum juga dipengaruhi pemahaman aparat dalam kasus yang terjadi. Sesuai dijelaskan dalam bagian budaya, dan menganggap sebagai masalah internal. Maka undang-undang tidak punya kekuatan ketika manusianya sendiri tidak memahami tentang kasus pelecehan dan kekerasan seksual.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H