Mohon tunggu...
Hasto Suprayogo
Hasto Suprayogo Mohon Tunggu... Konsultan - Hasto Suprayogo

Indonesian creative designer & digital marketing consultant | astayoga@gmail.com | http://www.hastosuprayogo.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Pasukan Siber Mustinya Tersembunyi

24 November 2021   09:46 Diperbarui: 24 November 2021   10:03 254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa waktu belakangan publik tanah air dihebohkan dengan polemik rencana pembentukan pasukan siber (cyber army) oleh sebuah LSM keagaamaan di ibukota. Tak berhenti di situ, sempat disebut oleh salah satu pimpinan LSM bersangkutan jika tujuan pembentukan pasukan siber adalah dalam rangka membela ulama dan gubernur di ibukota. 

Reaksi publik beragam, namun secara garis besar terpecah ke dalam dua kubu. Mereka yang mendukung pembuatan pasukan siber dan mereka yang menolak. Keduanya mengajukan argumen dan pembenarannya masing-masing. Tentunya juga, keduanya ngotot dengan posisinya sendiri-sendiri.

Nah, hari ini muncul berita tentang nama yang akan disematkan untuk pasukan siber yang tengah digodok pembentukannya tersebut. Disebutlah nama Mujahid Digital. 

Saya tidak akan ikut berpolemik soal pembentukan pasukan siber oleh LSM keagamaan ini. Tak pula akan ikut berdebat soal kepentingan siapa di baliknya, konstelasi politik pihak-pihak yang mendanai dan atau menjalankannya, atau proyeksi kepentingan politis ke depannya. Biarkan itu semua jadi bahasan para analis politik tanah air lain.

Saya akan fokus membahas soal bagaimana pasukan siber mustinya dibentuk dan dikelola serta perlu tidaknya keberadaan pasukan siber macam ini diketahui keberadaannya oleh publik luas.

Secara logis, pasukan siber--khususnya untuk kepentingan politik--adalah pasukan tersembunyi. Mengapa? Pertama karena nature pekerjaannya di dunia digital mengasumsikan anonimitas sebagai sebuah prasyarat penting. Kepentingan politik kelompok sendiri atau klien yang dilayani.

Kedua, karena umumnya pasukan siber berurusan dengan isu-isu sensitif, bekerja dengan semangat ofensif, serta berhadapan dengan pertarungan kepentingan yang keras dan masif, maka keberadaan tim siber itu sendiri, termasuk identitas para anggota dan pengelolanya jadi keniscayaan. Karena jika tidak, mereka amat rawan dihantam balik di dunia nyata.

Ketiga, karena di dunia siber, identitas digital yang dibentuk dan coba dikomunikasikan tidak musti berkorelasi dan atau sepadan dengan aslinya di dunia nyata. Nah, kalau keberadaan pasukan siber ini tidak disembunyikan lalu ketahuan bahwa sosok-sosok digital yang selama ini garang bersuara di ranah maya ternyata aslinya tidak seberapa, maka kepercayaan publik yang selama ini dibangun dengan susah payah lewat kampanye digital akan luntur atau bahkan ambyar--meminjam istilah Didi Kempot.

Berdasarkan argumen tersebut, rencana pembentukan pasukan siber oleh LSM keagamaan di ibukota di atas sudah gagal sejak awal. Bagaimana tidak, bahkan sebelum berhasil dibentuk, sebelum membuat agenda kerja dan apalagi menjalankan pekerjaan kampanye digitalnya, keberadaannya langsung ketahuan publik. Tak hanya ketahuan, bahkan dengan bangganya dipamerkan ke masyarakat luas.

Pasukan siber menurut saya ibarat pasukan intelijen atau pasukan khusus di militer. Layaknya intelijen atau special ops, keberadaannya tak boleh diketahui banyak orang. Hanya pihak-pihak tertentu saja yang boleh tahu. Sehingga mereka bisa bergerak dalam senyap, mengendap dalam gelap, menyerang tanpa disadari lawan dan menyelesaikan tugas dan agenda dengan gemilang.

Namun, nampaknya mereka-mereka yang berada di LSM keagamaan yang tengah membentuk pasukan siber tadi tidak atau belum paham logika tersebut. Bisa dipahami juga karena mereka mungkin bukan pihak yang punya kapasitas dan pengalaman membuat dan mengelola kampanye digital--termasuk pembuatan dan pengelolaan pasukan siber sebelumnya.

Saya ingin mengutip sebuah ujaran bijak yang sering disitir para pemuka agama; Jika sebuah urusan diserahkan ke bukan ahlinya, tunggulah kehacurannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun