Kopi nampaknya mempunyai tempat istimewa bagi Presiden Indonesia ketujuh, Joko Widodo. Beberapa kali Jokowi menunjukkan keberpihakannya pada jenis minuman satu ini dibanding minuman lain--teh misalnya. Seperti saat presiden menggelar acara "Ngopi Sore Bersama Presiden" di Istana Kepresidenan Bogor, Minggu (1/10/2017) Â dengan mengundang ratusan insan perkopian Indonesia, mulai dari pakar, pengusaha, petani, kritikus hingga penikmat kopi biasa.Â
Beberapa kali juga Presiden dan keluarga menyambangi kedai kopi lokal, hanya untuk menikmati segelas kopi produksi anak negeri. Terakhir Minggu (2/7/2017) siang lalu, Presiden Jokowi dan keluarga mengunjungi Kedai Kopi Tuku di kawasan Cipete Jakarta Selatan, di mana Jokowi menyeruput 'kopi susu tetangga'.Â
Apakah pemilihan kopi sebagai minuman publik presiden ini kebetulan belaka? Apakah hanya karena presiden suka kopi maka beliau ngopi di tempat-tempat tadi?
Pastinya tidak. Kita yang sedikit mau awas, pastinya tidak akan memaknai aktifitas ngopi Presiden Joko Widodo ini hanya sebatas ngopi belaka. Namun, kita bisa menelaah ada pesan-pesan tertentu di balik aktifitas sederhana ini. Mari coba kita dedah satu per satu.
Kopi dan Cinta Produk Dalam Negeri
Kopi bagi banyak orang tidak hanya berfungsi sebagai minuman, namun juga penanda status dan nilai sosial yang dianut. Khususnya di kota besar, di mana Anda ngopi, atau kopi apa yang Anda konsumsi, menunjukkan di kelompok sosial apa Anda berada. Pastinya kita mahfum bahwa mereka yang ngopi di kafe jelas beda dengan mereka yang ngopi di warkop pinggir jalan.Â
Nampaknya Presiden ingin mentapping trend ngopi yang belakangan marak berkembang di tanah air dan mengarahkannya ke nilai yang lebih besar, yaitu cinta produk dalam negeri.Â
Di antara begitu banyak kedai kopi, dari kelas warkop hingga waralaba internasional, Presiden sengaja memilih kedai kopi milik pengusaha lokal. Pengusaha muda pula yang menyajikan kopi produksi dalam negeri. Jelas ini adalah pesan keberpihakan sang presiden terhadap ekonomi lokal.
Kopi dan Lintas Kelompok Sosial Politik
 Di negeri ini, kopi adalah minuman lintas kelompok, lintas budaya, lintas orientasi politik dan lintas segalanya. Kopi adalah bahasa pergaulan universal di Indonesia, sebagaimana juga kopi menyatukan mereka yang berbeda.Â
Pemilihan kopi sebagai minuman publik Presiden adalah pesan terselubung bahwa Joko Widodo, meski berasal dari partai politik tertentu, didukung kelompok sosial politik tertentu, namun menjangkau dan berusaha menyatukan  semua kelompok. Alih-alih menyatakan secara verbal, yang seringnya ditanggapi secara negatif, sang Presiden menggunakan bahasa no verbal, yaitu bahasa kopi.
Kopi dan Kerja Keras
Adalah sudah jadi pemahaman umum bahwa kopi minuman para pekerja. Lihat seberapa banyak dari kita yang menyeruput kopi sebelum berangkat kerja, saat makan siang, waktu break sore atau bahkan saat musti lembur hingga tengah malam. Memilih kopi menunjukkan preferensi etos kerja macam apa yang ingin ditunjukkan Presiden. Etos kerja para pekerja, yang tak pandang waktu, akan terus berkarya. Tak akan dihalangi lelah atau kantuk, karena selalu ada kopi sebagai pendorong stamina.
Kopi dan Kesederhanaan
Lewat kopi juga, Presiden ingin mentransferkan pesan kesederhanaan. Ya, meski Anda bisa menikmati kopi luwak seharga ratusan ribu secangkirnya, namun rata-rata kopi yang kita seruput di Indonesia harganya tak akan lebih dari beberapa lembar ribu rupiah. Kopi adalah minuman yang relatif terjangkau untuk hampir semua kalangan. Kopi adalah minuman yang sederhana dan mencerminkan kesederhanaan. Pesan kesederhanaan ini pula yang nampaknya coba ditunjukkan Presiden Jokowi.
Kopi dan Filsafat Hidup
Buat Anda yang menonton film Filsafat Kopi, tentu familier dengan ide bahwa setiap racikan kopi melambangkan satu filsafat hidup. Namun, di luar racikan apa yang Anda sukai, kopi sendiri mengajarkan kita filsafat hidup yang dalam. Kopi berasal dari biji di dalam buah, di mana lapisan luar manis, dalamnya getir. Untuk bisa mendapatkannya dibutuhkan ketekunan menanam, merawat hingga memanen.Â
Sudah berbuah musti diproses panjang, dari pemetikan, pemisahan, pengeringan, hingga penggorengan. Ada filsafat ketekunan, kerja keras dan pantang menyerah di sana.
Bahkan saat kopi sudah jadi dan siap diseruput, ada makna yang bisa dipelajari, yaitu tentang kesabaran untuk tidak tergesa-gesa menyeruput minuman yang terlalu panas, menunggu barang sesaat hingga suhunya aman di lidah dan aman diminum. Bahkan saat diminum, kita bisa berkontemplasi akan rasa pahit yang ditimbulkannya. Bahwa kopi pahit adalah pengetahuan umum, namun bahwa di balik rasa pahit, ada banyak lapisan rasa yang bisa dicercap.Â
Sebagaimana juga hidup. Akan selalu ada momen dan hal pahit dalam hidup, namu kita bisa dan akan terus menjalaninya, karena di balik semua kepahitan hidup ada layer demi layer lapisan rasa yang kita bisa rasakan.Â
Saya pandang, Presiden Jokowi amat cerdas memilih kopi sebagai salah satu bahasa politik yang digunakannya. Belum ada presiden kita sebelumnya--sejauh yang saya tahu, mohon koreksi jika keliru--yang melakukan hal serupa. Mendayagunakan hal sesederhana kopi untuk menyampaikan pesan kepemimpinan yang sebegitu luas, kompleks, lintas batas dengan sebegitu apik.
So, pertanyaan berikutnya adalah, kapan kita ngopi bersama kawan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H