Seorang dokter ditangkap tim Direktorat Tindak Pidana Siber Badan Reserse Kriminal Polri di Nagari Kayu Tanang, Kecamatan 2X11 Kayu Tanang, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat, pada Jumat, 15 Desember 2017 lalu.Â
Dokter perempuan bernama Siti Sundari Daranila tersebut dikenai tuduhan penghinaan terhadap Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto lewat unggahan di akun social media Facebook miliknya. Dalam unggahan di akun Gusti Sikumbang, dokter umum lulusan Universitas YASRI tahun 2005 menulis,Â
"Kita pribumi rapatkan barisan, Panglima TNI yang baru Marsekal Hadi Tjahyanto bersama istri Lim Siok Lan dgn 2 anak cewek cowok....anak dan mantu sama sama di angkatan udara."
Siti Sundari dijerat dengan Pasal 45A ayat (2) Jo Pasal 28 ayat 2 Undang Undang Nomor 19 tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dengan ancaman 5 tahun penjara, serta pasal 16 Jo pasal 4 huruf b angka 1 undang-undang Nomor 40 Tahun 2008 Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis dengan ancaman 6 tahun.
Ini bukan kali pertama pejabat pemerintah diserang hoax. Bukan pula pertama kali aksi ujaran kebencian terbongkar. Bukan juga pertama kali pelakunya terciduk dan pastinya bakal diproses secara hukum.Â
Satu hal yang menarik dari kasus di atas, di luar soal isi ujaran kebencian yang diunggah atau sasaran hoax yang dituju, adalah profil pelaku hoax dan ujaran kebencian tersebut. Yang dalam kasus Siti Sundari Daranila adalah seorang dokter. Yang artinya pula seorang berpendidikan dan adalah bagian dari kaum terpelajar tanah air. Jika ada kasus sejenis, adalah kasus Buni Yani yang kabarnya berprofesi sebagai dosen sebuah universitas swasta di Jakarta. Keduanya sama-sama terpelajar, dan keduanya sama-sama melakukan ujaran kebencian dan menyebarluaskan hoax.
Pertanyaan besarnya sekarang adalah, mengapa orang-orang seperti Siti Sundari menyebar hoax? Atau kalau mau ditarik lebih luas lagi, kenapa ada sebagian kaum terpelajar yang menyebar hoax?
Profesor Candida Yates dari Bournemouth University dalam kajiannya 'Understanding the dynamics of political culture and the play of emotion and power' menyebut arti penting penggunaan emosi dan sentimen sektarian dalam permainan politik belakangan ini. Dia mencontohkan kasus Donald Trump, Hillary Clinton dan Nigel Farage.
Satu kata kunci yang nampaknya bisa membantu kita memahami mengapa sebagian publik, tak terkecuali kaum terpelajar, sebegitunya aktif dalam silang sengkarut permainan politik, bahkan sampai titik membuat, mengunggah dan menyebarluaskan ujaran kebencian dan hoax adalah emosi. Permainan emosi lewat isu-isu SARA yang beberapa waktu belakangan marak di tanah air nampaknya berhasil mengguncangkan mental mereka sehingga tingkat intelektualitas yang dimiliki tak cukup mampu menjadi panduan pikir dan sikap.Â
Sebagai hasilnya, alih-alih intelektualitas mencegah mereka terjerumus ke dalam perilaku kurang beradab, seperti berbohong, menghina, menghasut dan sejenisnya, intelektualitasnya justru digunakan sebagai tool untuk memproduksi dan menyebarluaskan segala keburukan tadi lewat social media.
Adalah menyedihkan ketika hal ini dibiarkan dan bahkan sampai titik tertentu dimanfaatkan oleh para tokoh masyarakat, khususnya politikus untuk mendulang dukungan dan akhirnya kemenangan dalam kontestasi kekuasaan. Yang tak kalah mengerikan adalah dampak sosial dan kerusakan mental serta struktural yang diakibatkannya ke depan. Bagaimana sendi-sendi kehidupan masyarakat tercerai berai lantaran permainan isu yang mengaduk sentimen emosional publik.
Kaum terpelajar mustinya memposisikan diri lebih baik dari sekedar bagian masyarakat yang larut dalam pertentangan kepentingan kelompok kekuasaan. Kaum terpelajar mustinya menjadi suara jernih yang memandu publik luas untuk menuju kehidupan bermasyarakat yang lebih baik. Kaum terpelajar mustinya lebih mampu memberi contoh bagaimana intelektualitas dan akal sehat mustinya lebih diutamakan daripada emosi dan sentimen sektarian semata.Â
Hmmm..... quo vadis kaum terpelajar kita? Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H