Mohon tunggu...
Hasto Suprayogo
Hasto Suprayogo Mohon Tunggu... Konsultan - Hasto Suprayogo

Indonesian creative designer & digital marketing consultant | astayoga@gmail.com | http://www.hastosuprayogo.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Film dan Refleksi Mental Penontonnya

14 Desember 2017   21:43 Diperbarui: 15 Desember 2017   09:43 2111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apa film favorit Anda? Star Wars? Transformers? The Raid? Laskar Pelangi? Atau mungkin My Neighbor Totoro?

Apapun itu, coba tanyakan sejenak ke diri Anda, kenapa Anda suka film tersebut. Atau mungkin, refleksikan sejenak, kenapa Anda menonton film-film yang telah ditonton. Dan tentu, apa yang membuat satu genre film menarik bagi Anda, sementara genre lain tidak.

Di luar soal perkara supply dan demand antara industri film dan pasar penontonnya, saya masih percaya bahwa film--setidaknya sebagian diantaranya--adalah karya seni orang-orang di belakangnya. Film adalah anak intelektual sang penulis cerita, sutradara, produser, aktor dan semua pihak yang terlibat dalam pembuatannya.

Bahkan untuk kasus-kasus tertentu, film adalah anak ideologis pembuatnya. Khususnya film-film yang diproduksi di negara-negara represif terhadap kebebasan ekspresi dan intelektual. Simak film macam Children of Heaven, The Separation atau Taxi Tehran. Anda akan temukan pesan sosial politik kuat di sana.

Sebaliknya, film-film Hollywood macam Rambo, Black Hawk Down atau Inglourious Basterds adalah beberapa contoh film yang justru menjadi propaganda kepentingan politik sebuah negara. Meski kita bisa temukan kontra narasinya di film macam Apocalypse Now atau The Deer Hunter.

Film di sisi ini memainkan fungsi sebagai bagian dari stuktur besar. Baik mendukung penguatan struktur masyarakat, menguatkan nilai sosial politik tertentu, atau sebaliknya, men-chalenge status quo dan nilai yang umum dipegang masyarakat.

Film. Sumber: IMDB
Film. Sumber: IMDB
Dalam pandangan ini, publik penonton dipandang sebagai market yang tidak terlalu berdaya. Mereka hanya bisa dan boleh menelan isi dalam film. Mereka adalah pasar yang butuh dikontrol, sehingga tetap sesuai dengan semangat struktur kekuasaan.

Benarkah penonton adalah pasar tak berdaya?

Penonton sekarang, paling tidak mereka yang kritis terhadap kualitas film, menurut saya punya power yang relatif kuat. Khususnya dalam perkara memilih apa yang mau ditonton dan tidak. Penonton film sekarang, dengan bantuan social media, mempunyai kesempatan lebih luas untuk menyuarakan pikirannya, baik kesukaan maupun ketidaksukaan akan suatu film dan menyebarluaskannya. 

Kegiatan ini sedikit banyak turut membentuk persepsi publik, khususnya penonton dan calon penoton film tersebut. Yang bermuara pada penjualan tiket film tersebut.

Maaf saya melantur kemana-mana. Mari kembali ke tema awal tulisan ini. Saya percaya bahwa pilihan film merefleksikan mentalitas kita sebagai penontonnya. Saya bukan seorang psikolog, tak pula mendalami psikoanalisis, tapi sejauh refleksi saya pribadi, inilah kenyataannya.

Film adalah cerminan diri kita terdalam. Hasrat, keinginan, bahkan mungkin obsesi. Film mengisi kebutuhan kita akan suatu pencapaian yang mungkin sulit di capat pada kehidupan nyata. Atau, film memberi kita semacam eskapisme juga untuk lepas sejenak dari diri kita sehari-hari. Melebur satu dengan karakter imajiner di layar perak tontonan kita.

Film juga adalah memori. Kenangan akan tempat, masa, orang-orang, lingkungan, kondisi sosial, idealisme tertentu yang pernah ada dan hidup dalam pikiran kira. Dan lewat film kita temukan kembali nostalgia akannya.

Film pula adalah harapan. Bahwa meski hidup sehari-hari mungkin penuh kejenuhan, penuh kebosanan, penuh rintangan, namun somewhere out there, di alam pikir kita, ada harapan segalanya akan berakhir bahagia, layaknya di sinema.

Apapun film bagi Anda, ia adalah salah satu wujud produk budaya yang luar biasa. Sekali waktu, saat Anda membeli tiket bioskop untuk menonton film favorit Anda, coba luangkan sejenak saja, untuk berefleksi akan apa makna film tersebut bagi Anda. Saya yakin, setelahnya, Anda akan melihat film tadi dengan kaca mata pandang beda. 

Tabik!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun