Mohon tunggu...
Hasto Suprayogo
Hasto Suprayogo Mohon Tunggu... Konsultan - Hasto Suprayogo

Indonesian creative designer & digital marketing consultant | astayoga@gmail.com | http://www.hastosuprayogo.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Pernikahan Dini, Zina, dan Edukasi Seks

29 November 2017   02:23 Diperbarui: 29 November 2017   10:29 7267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pernikahan anak di Polewali Mandar. Sumber: Tribunnews

Kabar menghebohkan, sekaligus menyedihkan, datang dari Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Di mana pada Minggu, 26 November 2017 lalu, berlangsung pernikahan di bawah umur antara APA (17) dan AP (15), yang keduanya masih berstatus pelajar SMA kelas dua dan kelas satu.

Alasan pernikahan keduanya dikarenakan orang tua mereka khawatir anak-anaknya berbuat zinah dan mereka menyebut keduanya saling jatuh cinta. Sehingga, meskipun secara usia, APA dan AP belum boleh menikah, dan KUA setempat sempat menolak menikahkan keduanya, namun dengan surat putusan Pengadilan Agama, keduanya akhirnya resmi tercatat sebagai suami istri.

"Ada kekhawatiran dari orang tua bahwa anaknya berbuat zina, karena sudah sama-sama sering (pergi) ke luar," ungkap Fajrudin, penghulu dari Kantor Urusan Agama Kecamatan Mapilli, Kabupaten Polewali Mandar, yang mengurus berkas pernikahan kedua bocah ini sebagaimana dikutip dari BBC Indonesia.

Bagaimana sebenarnya aturan hukum pernikahan di Indonesia? Jika kita mengacu pada Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, usia minimal seseorang melangsungkan pernikahan adalah 19 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun untuk perempuan. 

Bagaimana dengan statistik? Ternyata, pernikahan kedua bocah di Sulawesi Barat ini hanyalah puncak gunung es persoalan pernikahan anak di Indonesia. Data BPS pada 2013 menunjukkan persentase pernikahan anak perempuan usia 13 sampai 15 tahun mencapai 20 persen dari total pernikahan keseluruhan, sementara anak laki-laki antara 15 dan 17 tahun mencapai 30 persen. 

Di luar soal perkara statistik, ada yang menggelitik saya, ketika membaca alasan utama kedua bocah tersebut dinikahkah. Yaitu kekhawatiran zina. Logika bahwa zina bisa dicegah dengan pernikahan dalam pandangan saya adalah kurang tepat.

Pertama penikahan bukan cuma perkara seks semata. Benar bahwa remaja pacaran berisiko terjerumus ke hubungan seks, namun pernikahan bukan jaminan mereka tidak akan melakukan seks bebas--dengan orang lain?

Pernikahan juga berurusan dengan masa depan kedua mempelai--yang dalam kasus ini masih di bawah umur. Bagaimana dengan kesempatan mereka meraih masa depan pendidikan dan karir. 

Pernikahan juga perkara jangka panjang. Bukan hanya soal hari H di mana keduanya naik ke pelaminan lalu seakan-akan perkara selesai, dan keduanya akan happily ever after. Padahal, ada kehidupan pernikahan yang panjang yang menanti dengan semua naik turunnya hubungan, semua masalah, semua tantangan dan semua problematika, yang orang dewasa saja banyak terantuk, terpeleset, terbanting hingga akhirnya menyerah, apalagi dengan kedua bocah di bawah umur ini.

Jika masalah utama orang tua adalah kekhawatiran akan hubungan seks bebas dalam pacaran, solusinya adalah pendidikan seks. Alih-alih menempatkan seks sebagai momok menyeramkan, mustinya orang tua, keluarga, dan sekolah memberikan pengajaran, informasi, lingkungan nyaman untuk berdiskusi tentang tema satu ini.

Sehingga anak tidak lari ke luar mencari tahu sendiri soal seks. Entah itu dari kawan sepermainan, orang dewasa lain atau mungkin kebanyakan sekarang dari internet. Yang, secara konten, angle, atau kepentingan tidak bisa dijamin "aman" buat perkembangan pemahaman dan mental mereka soal seks.

Iya, perkara bicara seks dengan anak tidak mudah, dan tidak akan pernah mudah buat sebagian besar kita, masyarakat Indonesia. Banyak yang masih memandang seks sebagai perkara tabu, dan ada pemahaman bahwa anak anak tahu sendiri pada waktunya.

Pasti mereka akan tahu sendiri pada waktunya. Namun, tahu seperti apa? Pengetahuan macam apa? Dari mana sumbernya? Dan apa dampaknya bagi mereka? Itu hal-hal yang mustinya jadi concern kita juga.

Saya paham bahwa menikahkah memberi ketenangan bagi orang tua kedua mempelai. Namun, dalam pandangan saya, ketenangan itu adalah semu. Ilusi semata. Karena bukan akar masalah yang diselesaikan, melainkan kulit luarnya saja.

Adalah butuh kesadaran dan kerjasama dari berbagai pihak, tak hanya orang tua, guru atau sekolah, namun juga publik untuk memberikan pendidikan seks yang benar kepada anak remaja, memberikan lingkungan yang sehat dan terbuka sekaligus tidak menghakimi ketika anak mulai tertarik soal seks, serta tentu saja tetap mengawasi pergaulan anak-anak kita supaya tetap sehat dan aman.

Tabik!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun