The falling leaves drift by my window
The autumn leaves of red and gold
I see your lips the summer kisses
The sunburned hands I used to hold
Sepenggal bait Autumn Leaves saya gumamkan saat menulis catatan ini.  Lagu yang versi aslinya dalam bahasa Prancis berjudul Les feuilles  mortes ini saya kenali pertama kali saat membaca buku Jazz, Parfume dan  Insiden-nya Seno Gumira Ajidarma. Sejak saat itu, ia menjadi lagu jazz favorit  saya.
Mendengarkan lagu yang lirik bahasa Inggrisnya ditulis  Johnny Mercer ini, saya dulu membayangkan sebuah dunia berwarna senja  keemasan. Di mana pohon meranggas, serta dedaunan merah jatuh perlahan  untuk kemudian berserakan di tanah. Imaji saya melanjutkan dengan sosok  sepasang kekasih berpagut dalam remang petang.
Musim gugur adalah momen  yang indah. Jujur, itu harus saya akui. Apalagi, jika musim gugur  dikaitkan dengan berubahnya warna tetanaman yang ada. Bagaimana dedaunan  perlahan berganti dari hijau menjadi kuning untuk akhirnya menjadi  coklat keemasan.
Meski morbid, musim gugur amatlah indah. Bagi penyuka  fotografi, momen musim gugur tak boleh dilewatkan. Tak perlu jauh  mencari pemandangan, karena hanya ke luar rumah, berjalan singkat ke  taman, Anda akan temukan berbagai lanskap untuk diabadikan.
Jadi,  jika mau bertandang ke Eropa, datanglah di musim gugur. Di mana langit  dan alam akan menyambut Anda dengan nuansa keemasan nan mengagumkan.  Jangan lupa senandungkan Autumn Leaves untuk mengusir nuansa morbid  sebagaimana yang saya rasakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H