"Engkok, dangno maneh yo!" Beliau minta dikukuskan lagi. Saya kukus lagi sejumlah salak. Setengah jam kemudian saya matikan kompor.
"Mi ambune salak e sedep." Iya juga ya, sejak mengukus pertama saya juga membau sedapnya salak kukus tersebut. Namun karena pikiran saya mengatakan tidak lumrah, saya tidak ingin mencoba.
Saya ambil salak satu persatu. Baunya memang sedap khas salak. Teringat kata suami kalau rasa manisnya keluar terasa seperti madu, saya coba satu.
"Lho iyo e enak!"Â Saya baru ambil satu siung. Sebelum yang lain saya sajikan untuk suami, saya habiskan salak incip-incipan tadi.
"Bi, kulo nyuwon gih?" Saya minta izin beliau untuk ikut memakan juga, yang di dapur tadi kan " incip", hehehe.
"Iyo."Â
"Kulo mundut kalih gih?" Saya izin mengambil dua biji. Beliau mengangguk.
"Enak temen, Mi." Â Beliau memberi penegasan.
Sejak saat itu, saya juga suka salak kukus. Kalau anak-anak mau beli makanan kesukaan mereka tanya saya
"Umi, adik sama kakak mau beli makanan, umi dibelikan apa?"Â
"Abi biasanya suka salak. Belikan salak saja. Umi juga suka." Ehehe, ini kesekian kalinya saya ketularan menu makanan kesukaan suami.